Minggu, 03 Januari 2016

Kebahagiaan di Bantaran Cikapundung (Sebuah catatan tentang taman, penggusuran, rumah, dan kebahagiaan)

Siang itu saya menuju daerah Ciroyom dengan angkutan kota hijau-oranye Caheum-Ciroyom. Saat melewati daerah Babakan Siliwangi, tepatnya di jembatan setelah Sabuga, pandangan saya tertuju ke keramaian di kanan jembatan, di bantaran Sungai Cikapundung.

“Jembatan merah, jembatan merah...” ujar aa’ supir angkot.

Tentu yang dia maksud bukan Jembatan Merah di Surabaya. Angkot yang saya naiki melewati tempat dengan papan nama ”Teras Cikapundung” yang sepertinya merupakan salah satu “taman cantik” di kota Bandung yang dibangun di masa jabatan Ridwan Kamil alias Kang Emil itu. Yah, sekarang saya tidak tahu banyak mengenai tempat-tempat “hits” baru di kota ini. Maklum, mahasiswa tingkat akhir. Harus jadi tikus di lab pengap yang penuh bau uap kloroform dan zat-zat berbahaya lainnya. Saya pun berpikir, “Jadi ini, ruang publik di bibir Sungai Cikapundung yang mengorbankan salah satu kampung di tepi sungai ini?” merujuk tulisan seorang kawan yang sempat membicarakan masalah ini.

Belum lepas dari ingatan, pemandangan di tempat itu sekitar tiga bulan yang lalu. Kampung di bantaran sungai yang biasa saya lihat sekilas apabila menuju arah Ciumbuleuit itu tinggal puing. Di tengah puing itu, ekskavator berwarna hijau toska berdiri dengan gagahnya. Sekarang, tempat itu sudah berubah menjadi taman (saya tidak salah sebut, kan?) di tepi sungai. “Jembatan merah” yang tadi disebut si aa’ melintang di atas sungai, di tengah taman itu. Kanan-kiri jalan dipenuhi oleh parkiran motor, entah liar atau tidak. Pedagang cilok, balon, dan batagor memenuhi tempat itu. Mungkin, minus parkiran dan pedagang yang menjamur di tempat itu, Pemerintah sepertinya berambisi membuat bantaran Sungai Cikapundung seperti bantaran Sungai Seine di Paris yang terkenal cantik itu.


Taman "Seine" Teras Cikapundung. Maaf, kamera saya tidak sebagus itu.

Flashback ingatan sekilas tiap naik motor lewat daerah itu, ingatan tiga bulanan lalu hingga apa yang saya lihat tadi siang membuat saya berpikir – bukan dengan pikiran ahli tata kota, sosiolog, psikolog masyarakat, aktivis, atau malah filsuf. Saya berpikir dari sudut pandang orang yang kebetulan lewat daerah itu. Belum lepas juga dari ingatan saya tentang pernyataan Kang Emil sebagai walikota yang ingin meningkatkan indeks kebahagiaan warga Kota Bandung. Salah satunya dengan membuat banyak “taman cantik” di sekujur kota ini, salah satunya Teras Cikapundung ini. Okelah, membuat taman. Mungkin sebagian warga kota akan berbahagia dengan taman-taman yang dibangun ini. Tapi bagaimana dengan mereka yang kampungnya digusur? Apakah mereka bahagia dengan adanya Teras Cikapundung ini? Pemenuhan indeks kebahagiaan melalui taman ini diikuti dengan hilangnya tempat tinggal sebagian warga kota yang ingin ditingkatkan indeks kebahagiaannya itu, dan saya kesulitan melogika bahwa warga yang dipaksa pergi dari tempat tinggalnya akan merasa bahagia, atau paling tidak tersembuhkan kesedihannya dengan Teras Cikapundung. Ironis.

Betapa mudahnya, sekelompok orang (baca: elit) mengatur kehidupan seseorang, bahkan menentukan di mana sekelompok orang lainnya harus melanjutkan hidup setelah dipaksa pindah akibat agenda kelompok yang disebut di awal. Memang, setelah digusur saya dengar warga kampung itu direlokasi ke rumah susun di daerah Sadang Serang. Namun saya rasa permasalahan tempat tinggal ini tidak sesederhana itu. Warga kampung yang sudah menetap di sana puluhan tahun lamanya tentu sudah memiliki keterikatan dengan tempat itu. Tidak hanya masalah administrasi, pekerjaan, maupun tempat berteduh belaka. Rumah juga berarti identitas, tempat pulang, dan tempat segala ingatan yang pernah dilewatkan di rumah itu ditinggalkan. Dan kampung yang digusur itu saya rasa tentu adalah rumah bagi para (mantan) penghuninya. Pemikiran seperti ini membuat saya menganggap penggusuran dan pemindahan paksa ini adalah masalah serius. Atau sebenarnya tidak seserius itu? Bagi pembaca yang merasa pemikiran saya kurang tepat, beritahu saja saya.

Jika memang kegelisahan saya benar, maka masalah penggusuran bantaran Sungai Cikapundung ini adalah potret kecil tentang pembangunan negeri ini. Apakah ada kompensasi yang setimpal untuk mereka yang menjadi korban pembangunan? Bahkan apabila ditarik lebih jauh lagi akan ditemui pertanyaan baru: apakah pembangunan ini cukup merata sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang seharusnya berhak menikmatinya? Apakah kita yang mungkin tidak mengalami penggusuran dapat merasakan juga apa yang dirasa oleh mereka yang tersisih akibat pembangunan?


Seorang kawan berpose dengan kampung yang digusur, warga setempat, dan ekskavator hijau toska.

Semoga kebahagiaan dapat menjadi milik seluruh warga. Bukan hanya pemerintah, pengunjung taman, para pedagang, dan juga pengelola lahan parkir dadakan. Dan semoga tulisan ini dapat menjadi renungan di awal tahun ini.



Bandung, 3 Januari 2016