Saat saya membaca calon judul
kumpulan cerpen ini, rasa penasaran menghampiri kedua belah otak saya. Ikhwan
Nan Fikrahnya Pahala. Saya berpikir, dari pengajian manakah Asra Wijaya
memperoleh judul ini? Judul empat kata ini sekilas terdengar sangat islami. Namun
saya agak kesulitan menangkap maksud utuh dari judul ini. Setelah saya
konfirmasikan kepada Asra, ternyata saya cukup mengambil huruf pertama dari
tiap-tiap kata judul itu untuk memahami maksud judul itu. Rupanya, melalui
singkatan judul itu Asra hendak “memperkenalkan dirinya” dengan tipe kepribadian
Myers-Briggs yang dia miliki :INFP. Tipe kepribadian yang acap saya temui pada
kawan-kawan sesama penulis. Tipikal manusia penuh mimpi yang selalu tertarik
dengan ide-ide besar. Memang demikianlah Asra. Ia selalu tertarik dengan
keindahan dunia sastra dan narasi-narasi besar tentang kehidupan yang
terkandung di dalamnya.
Setelah berhasil bersabar menelisik
lebih dalam makna per katanya, saya menemukan bahwa ternyata judul ini lebih
dari sekedar perkenalan seorang Asra Wijaya secara umum. Melalui judul ini,
Asra juga hendak memperkenalkan sebuah fase kehidupan yang telah ia lewati.
Lebih tepatnya, sebuah fase yang ditutup oleh penulisan cerpen-cerpen yang
terkumpul dalam buku ini: seorang ikhwan yang selalu mendedikasikan segenap
pikiran dan perbuatanya untuk mencari pahala dari Tuhan.
Judul ini juga menggambarkan
bagaimana Asra seolah hendak melakukan otokritik terhadap semua batasan yang ia
pegang teguh sebelumnya, yang tergambarkan dengan sangat baik melalui tiap
cerita dalam kumpulan ini. Hidup di kalangan yang cukup religius dan mengenyam
pendidikan di sekolah menengah semi-pesantren, Asra tumbuh menjadi sesosok
pemuda agamis yang rajin mencari pahala, lengkap dengan batasan-batasan agama
yang ia pelajari dari keluarga, guru-guru, dan kakak-kakak mentornya.
Asra pada masa itu mengambil posisi
yang cukup tegas dalam memandang hidup. Posisi yang tegas ini jelas berasal
dari pemahaman pribadi Asra terhadap agama Islam. Ini bertahan kira-kira hingga
setahun lalu, saat Asra semakin dalam berkenalan dengan betapa beragamnya
manusia selama ia berkuliah di Bandung. Perkenalan ini juga dibarengi oleh
sebuah kesadaran, atau lebih tepatnya keresahan, yang Asra alami. Pada suatu
titik, Asra menyadari bahwa selama duapuluh tiga tahun kehidupannya ia merasa
sudah terlalu banyak menelan kekalahan. Pengalaman dan kekalahan yang telah
Asra rasakan ini membuatnya mulai merenungkan bahwa pada akhirnya kebaikan
dalam hidup tidak dapat melulu dinilai dengan seberapa banyak pahala yang ia
kumpulkan. Bagai katak yang keluar dari tempurungnya, Asra mulai bersentuhan
dengan dunia dan dimensi-dimensinya yang sangat luas, yang ke depannya
memunculkan lebih banyak perenungan tentang hidup. Asra, seorang ikhwan yang
pada awalnya sekedar mendamba pahala, akhirnya dihadapkan dengan masa-masa
penuh konflik batin dan perenungan tentang kehidupannya.
Fase Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala
mungkin memang sudah dilewati oleh Asra. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pandangan dan pemikiran Asra di masa itu sangat mempengaruhi kepenulisan Asra
saat itu dan ke depannya. Demikian pula kekalahan-kekalahan yang mulai secara
samar ia rasakan: seluruhnya mengendap dan teramu dengan baik menjadi kumpulan
cerpen ini.
***
Asra Wijaya sudah bergelut cukup
lama di dunia sastra dan literasi. Semenjak SMP, Asra sudah biasa membaca
majalah sastra Horison dan karya-karya sastra lainnya, di samping menulis
sajak-sajak lepas yang beberapa di antaranya pernah dimuat oleh koran lokal.
Beberapa karya awalnya terkumpul dalam antologi Sajak-Sajak Luka yang ia
terbitkan secara swadaya di penghujung masa SMA-nya dan disebarkan sebanyak
sepuluh eksempelar kepada kawan-kawan dan guru mata pelajaran Bahasa
Indonesianya. Sebenarnya, dibandingkan dengan bentuk-bentuk sastra lainnya, Asra
lebih akrab dengan puisi. Hal itu ditunjukkan oleh Asra dengan
antologi-antologi yang terbit setelahnya, Wasiat (2015) dan AH (2015),
yang memuat puisi-puisi Asra medio 2009 sampai 2015, juga sajak-sajak lepasnya
yang lain. Walau demikian, Asra juga berusaha mengakrabi tulisan dalam bentuk
cerpen. Cerpen yang sudah ditulis oleh Asra dapat dibaca dalam kumpulan ini dan
kumpulan lain berjudul Pungutan Ingatan yang akan terbit bersamaan
dengan buku ini.
Berbeda dengan Pungutan Ingatan
yang seluruh isinya dibuat pada tahun 2016, Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala
kebanyakan memuat cerita-cerita yang ditulis antara tahun 2011 dan 2012,
kecuali cerita tambahan “Iwan dan Keluarga Kebunnya” yang ditulis Asra pada
2015 sebagai cerita bersambung di laman Facebooknya. Membandingkan kedua era
kepenulisan ini, kita dapat melihat perkembangan Asra dalam menulis cerita
pendek, mulai dari teknik, topik yang diangkat, hingga penokohan dan konflik
cerita. Dibandingkan dengan Pungutan Ingatan, Ikhwan Nan Fikrahnya
Pahala memuat topik yang belum terlalu beragam: berputar-putar antara
hubungan dengan keluarga (seperti pada cerita “Sepeda Sore” dan “Cinta di
Sekotak Kurma Tunisia”), teman (“Hukuman Alfa”, “Pengen Hidup Seratus Persen
Aja”), kehidupan asmara (“Payung Biru, Kamera, dan Lelaki Biola”, “Tujuh Hari
Penasaran Tigaperempat Mati”), atau perpaduan dari topik-topik tadi (“Salah
Paham”, “Aku Diculik, Bang!”). Pemilihan topik tadi tidak terlepas dari gaya
bercerita Asra yang cenderung bersifat recounting. Apa yang Asra tulis
dalam kumpulan ini tidak pernah terlepas dari apa yang ia alami sehari-hari.
Asra sendiri mengakui bahwa kebanyakan cerita yang ia tulis terinspirasi dari
pengalamannya dengan keluarga, kawan-kawan, juga hubungan asmaranya.
Tentunya, terdapat masalah utama
yang mengemuka dari topik-topik tersebut. Permasalahan-permasalahan pada
cerita-cerita ini dikupas dengan pisau yang cenderung normatif dan bersifat
monokromatik, di mana Asra membedakan secara tegas sesuatu yang dinilai baik
dengan yang buruk dan menghadapkan keduanya secara frontal. Hal ini sangat
terlihat misalnya pada cerita “Cinta Hakiki?”, di mana diperoleh kesimpulan
akhir dari nasehat ayah Anton yang menyimpulkan, “...jangan sampai kalian kehilangan cinta kalian. Cintailah keluarga
kita ini. Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka, begitu kata Tuhan
dalam Al-Qur’an. Cintailah sesuatu yang halal dengan cara yang halal, niscaya
kemudian Allah akan membimbing kalian menemukan cinta yang sesungguhnya.” Dari kesimpulan ini, terlihatlah posisi moral yang diambil
Asra dalam menyampaikan isi ceritanya. Pola-pola penyimpulan seperti ini juga
acap dijumpai pada cerita-cerita lainnya dalam buku ini. Metode dan posisi
moral seperti itu tidak lepas dari bahan bacaan Asra di waktu itu, seperti
tulisan-tulisan Habiburrahman El-Shirazy, Tere Liye, dan Salim A. Fillah, yang
juga acap menyampaikan cerita secara normatif dan monokromatik dari sudut
pandang Islam.
Seperti
yang telah disebut di atas, Asra gemar menyampaikan cerita secara recounting
tanpa terlalu banyak mengkreasi plot-plot tambahan yang melenceng terlalu jauh
dari apa yang ia alami sendiri. Selain pengalaman-pengalaman yang bersifat
menyenangkan atau inspiratif, Asra juga tak segan menyampaikan suasana canggung
yang ia rasakan (sebuah bentuk kekalahan?) dalam cerita-ceritanya. Salah satu
contoh yang gamblang terlihat pada cerita “Penyair, Pemalu, Pencemburu”. Pada
cerita ini, Ahbab, sang tokoh utama, digambarkan mengalami kegagalan dalam
urusan asmara dan mengalami kecanggungan yang tak tertahankan saat bergaul
dengan kawan-kawannya di sekolah. Contoh lain tampak pula pada cerita “Salah
Paham”, saat dengan canggungnya Andi mengajak Shalika menikah untuk menghindari
pacaran, padahal mereka berdua baru bersekolah di bangku SMA. Seperti
kebanyakan cerita lainnya, kedua cerita ini diselesaikan dengan langkah yang
cenderung monokromatik. Pada kisah Ahbab, ia dikisahkan bertemu dengan seorang
“wali” yang menasehati dia untuk meningkatkan kualitas dirinya, karena “...perempuan
yang baik itu untuk lelaki yang baik...”, juga menyuruh berhati-hati agar
cintanya tidak bercampur dengan nafsu. Sedangkan untuk Andi, dalam cerita ia
digambarkan berhasil menyelesaikan masalahnya berkat bantuan dan nasehat dari
kawan-kawan serta orang tua-orang tua yang bijak.
Hingga
titik ini, makin terlihat bagaimana Asra memandang masalah-masalah yang terjadi
sehari-hari di sekitarnya sesuai dengan posisi moral yang diambil Asra pada
waktu itu. Namun dalam kumpulan ini juga ditemui beberapa cerita yang mulai menunjukkan
pergeseran pandangan Asra, di mana dia mulai sedikit menjauhi pandangan
monokromatik yang menjadi ciri utama Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Cerita
“Salah Paham” sendiri juga mulai menunjukkan bahwa pandangan kaku seorang Andi
terhadap hubungan pria-wanita dapat membawanya pada kesulitan. Selain itu,
kisah “Balada Pil Pintar 119” juga menunjukkan bahwa untuk memperoleh hasil
yang maksimal tidak hanya dibutuhkan kejujuran—seperti yang berkali-kali
ditekankan oleh Iwin dalam cerita itu—namun juga kerja keras menuju apa yang
diharapkan tersebut. Secara per se, kedua cerita tadi memang terlihat
monokromatik. Namun apabila disandingkan dengan cerita-cerita lainnya, kedua
cerita ini memperkaya sudut pandang moral yang diambil oleh Asra dalam Ikhwan
Nan Fikrahnya Pahala. Kedua cerita ini pada akhirnya juga menonjolkan
dimensi otokritik yang dikandung Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala terhadap
pandangan monokromatik yang sebelumnya dipegang teguh oleh Asra.
Dari
segi teknik, dalam kumpulan cerpen ini Asra beberapa kali melakukan eksperimen
dengan plot twist, seperti pada “Penyair, Pemalu, Pencemburu”, “Dalam
Kerangka”, “Ada yang Tidak Bisa Dikopi?”, “Hukuman Alfa”, dan masih banyak yang
lainnya. Dapat dilihat bahwa di sini Asra terinspirasi dari berbagai karya yang
menggunakan teknik-teknik sejenis. Malahan, sangat terlihat bahwa alur
bolak-balik yang digunakan pada cerita “Dalam Kerangka” dan “Ada yang Tidak
Bisa Dikopi?” sangat terinspirasi oleh Memento Mori (2001) karya
Jonathan Nolan yang selanjutnya diadaptasi dalam film Memento pada tahun
yang sama oleh Christopher Nolan. Sayangnya, masih terdapat banyak plot hole
dan kurang sinkronnya alur yang beberapa kali ditemui pada beberapa cerita.
Eksperimentasi yang dilakukan Asra dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala ini
memang belum dapat dikatakan matang, terlebih mengingat kurangnya jam terbang
Asra dengan cerpen apabila dibandingkan dengan puisi.
Ada
yang menarik dari seri penutup kumpulan cerpen ini, “Iwan dan Keluarga
Kebunnya”. Pada cerita yang relatif lebih baru dibandingkan dengan
cerita-cerita lainnya ini, Asra menggunakan teknik figuratif dengan melakukan
personifikasi terhadap objek-objek alamiah dalam cerita. Dalam seri ini, objek-objek
tadi digambarkan bermonolog menyampaikan nasib mereka di bawah “rezim” manusia
yang mengeksploitasi mereka kepada pembaca dengan sangat terang. Teknik
figuratif ini seolah merupakan perpanjangan tangan dari kemampuan Asra mengolah
bahasa puitik dan menggali keindahan dari dalamnya. Tema yang diambil pun juga
agak berbeda dibandingkan dengan cerita-cerita sebelumnya. Walau pada awalnya
masih berkutat pada tema keluarga, permasalahan dalam cerita ini mulai berani
merembet ke ranah konflik manusia dengan lingkungannya. Saat menulis cerita ini
sebagai cerita bersambung, kebetulan Asra juga mulai mendalami masalah
ekofenomenologi. Di saat itu, Asra sepertinya terpengaruh oleh tulisan-tulisan
karya Saras Dewi dan lagu-lagu Sisir Tanah yang banyak membicarakan permasalahan
ekofenomenologi dan relasi antara manusia dengan lingkungan tempatnya tinggal.
Pada akhirnya, sebagai penutup, cerpen berseri ini—juga cerpen-cerpen
lainnya—menunjukkan bahwa seorang penulis memang tidak akan pernah lepas dari
kondisi sekitar yang ia geluti. Tinggal bagaimana kepekaan penulis tadi
terhadap kondisi-kondisi itu dan mengolahnya menjadi karya-karya yang bermutu.
***
Asra
sendiri pun mengakui bahwa masih banyak kekurangan di sana-sini dalam
cerita-cerita di buku ini. Walau demikian, saya tidak merasa bahwa pengumpulan
cerpen-cerpen dalam Ikhwan Nan Fikrahnya
Pahala ini kehilangan manfaatnya begitu saja. Dalam kumpulan cerpen ini
dapat dijumpai pandangan-pandangan dan gaya kepenulisan yang khas dari Asra di
masa-masa penulisan ke-20+1 cerita ini. Ikhwan
Nan Fikrahnya Pahala pun menjadi dokumentasi yang representatif bagi
jejak-jejak kepenulisan Asra medio 2011-2012 (+2015) dalam menulis cerpen. Gaya
kepenulisan Asra mungkin mengalami pergeseran. Ikhwan yang keras
berjihadmenggeluti dunia pemikiran, literasi, dan sastra ini memang tidak
mengharamkan pacaran lagi, seperti yang acap ia lakukan via cerpen-cerpennya. Namun, bukankan manusia memang selalu akrab
dengan perubahan? Johann Wolfgang von Goethe pernah menyebutkan, “yang lalu
biarlah berlalu, kematian ada di setiap kata-kata”. Bagi saya, perubahan yang
terjadi pada manusia adalah sebuah kematian yang diikuti oleh lahirnya sosok
baru dari manusia itu. Proses dokumentasi dari kematian tadi dilakukan tidak
hanya sebagai obituari yang layak baginya, namun juga sebagai cermin yang
jernih bagi diri sendiri untuk mempersiapkan diri menyambut perubahan-perubahan
selanjutnya.
Bandung,
3-4 November 2016
Rilis Eka Perkasa
Pengamat Lalat Yang Terperangkap Dalam Segelas Es Jeruk
Rilis Eka Perkasa
Pengamat Lalat Yang Terperangkap Dalam Segelas Es Jeruk
ISH
Tiang Bendera ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar