Perjalanan hidupku adalah perjalanan pikiran. Ya, pikiran. Pikiranku, tanpa mengajak raga dan perbuatanku sudah berjalan jauh. Jurang tergelap di bumi? Puncak-puncak tertinggi? Semua sudah lunas ia datangi, tanpa mengajak siapapun. Ragaku, perbuatanku - aku cemburu.
***
"Rilis itu kebanyakan mikir sampe nggak kerja-kerja anaknya."
Baru tadi seorang teman bercerita tentang komentar mantan dosen pembimbingku tentang aku. Kebetulan teman ini dulu satu bimbingan denganku. Memang banyak alasan yang (bisa dibuat-buat yang) membuatku memutuskan pindah pembimbing dan mengganti topik tugas akhirku. Entah itu tidak cocok dengan topiknya, entah bapak pembimbing yang sulit ditemui, dan lain-lainnya. Namun apa yang Beliau katakan sama sekali tidak salah. Aku sudah hampir menjalankan satu percobaan, namun karena terlalu banyak perhitungan akan semua kendalanya, aku ragu untuk melanjutkannya. Hal ini, beserta puluhan alasan lainnya, akhirnya memicuku untuk menghentikan bimbinganku dengan beliau
catatan: pada akhirnya percobaan ini dijalankan oleh anak bimbingan lain dengan mudahnya.
Apa? Ternyata begitu saja? Akh... keraguan, oh keraguan. Begitu buruknya kacamata yang kau tawarkan untukku memandang masa depan.
Entah sudah berapa orang mengatakan padaku akhir-akhir ini. Kamu terlalu banyak mikir, Lis. Kamu ragu-ragu ya, Lis? Sudahlah, jalani saja dulu. Westalah, lakoni ae, engko sing pengen mbok goleki lak ketemu-ketemu dhewe. Dan entah apa lagi. Nggoleki? Mencari-cari? Sebenarnya apa sih yang ingin dicari oleh keraguanku? Hmmm. Kondisi ideal? Idealisme paling sempurna? Mencarinya saja aku (ehm, lebih tepatnya keraguanku) tidak pernah bisa melakukannya dengan benar. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari pencarian ini? Setan alas.
Seorang teman yang lain pernah berbicara padaku. "Hiduplah dengan penuh tenaga. Penuh tindakan agar kamu tidak mati. Sekali berhenti, habis sudah". Tidak sekali ini segala usahaku terhenti karena keraguanku. Berpindah-pindah interest akibat terlalu memikirkan baik-buruknya, menggalaukan mengapa aku harus melakukan semua ini?, stress menghadapi tetek-bengek baik kecil maupun besar dari apa yang aku jalani, sampai berhenti menjalaninya. Semua berpangkal dari keraguan akibat terlalu banyak berpikir. Jadilah aku tanpa tenaga, tanpa tindakan. Mati sudah.
Yah, bagaimana. Aku bisa menciptakan beribu alasan atas sikap terlalu banyak berpikirku ini (Luar biasa kamu, wahai pikiran yang budiman. Sialan). Didikan sedari kecil. Pengalaman di masa sekolah menengah. Terlalu banyaknya pilihan. Terlalu sedikitnya waktu. Pengalaman buruk lainnya lagi. Terlalu sulitnya memilih. Terlalu lemahnya aku. Akh, sudah.
Aku tidak ingin mengalami penolakan lagi. Aku tidak mau denial. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku sudah terlanjur berada di titik ini. Puluhan, mungkin ratusan, mungkin lebih, pilihan, kiprah, tanggungjawab, dan mimpi menghampar di depan mata. Semuanya takkan kudapatkan bila aku diam saja, tidak berbuat apa-apa.
Bagi sebagian orang masalahku ini tentu bukan masalah besar. Namun bagiku ini masalah besar. Tindakanku sering terjegal permasalahan ini. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana rasanya bertawakkal. Lupa bahwa Sang Maha ada.
I need to move on. Dan sudah terbukti, keraguanku tidak pernah membawaku kemana-mana.
Kata Rene Descartes, cogito ergo sum. Ndasmu a mbah, Aku sudah terlalu banyak berpikir.
Bandung, 2.02 WIB
Riliiis, aku baca... Kadang-kadang aku punya permasalahan yang sama. :""
BalasHapusHahaha. Manusia itu keren karena bisa mikir. Tapi kalo kebanyakan mikir kok jadinya nggak keren juga ya?
Hapusjiahahahahahahahaahahahaahahahaha
BalasHapustawa lu
HapusTerimakasih Rilis, atas tulisannya. Sekarang saya justru sedang mengalami situasi yang berlawanan. Saya merasa sangat lelah dan tidak bisa menikmati eksperimen yang porsi berpikirnya sedikit, namun sangat menguras tenaga fisik. Dulu saya melakukan eksperimen komputasi. Cukup membuat skrip, lalu submit ke komputer, dan komputer yang bekerja. Tapi sekarang saya merasa seperti buruh kasar, mengikuti protokol rutin untuk mendapatkan data. Sempat terpikir untuk kembali ke bidang komputasi. Tapi setelah membaca tulisan ini, saya rasa kita tidak bisa seterusnya menghindar dari "pekerjaan fisik". Ada hal-hal yang mau tak mau memang hanya akan membuahkan hasil jika kita mau menggunakan "tangan" kita. Kalau kata jargon merk sepatu ternama, "Just do it."
BalasHapusHalo kak! Hahaha. Malah ada di situasi berlawanan ya? Hmmm. Bener sih kata komen di bawah kak Gaby ini, semua yang berlebihan itu nggak baik - mungkin sedikit revisi, bukan "nggak baik", tapi "nggak menyenangkan". Mie Aceh paling enak pun berasa hambar kalo sudah dimakan lima kali seminggu. Hahaha.
HapusSoalnya di sini kak Gaby malah harus melakukan itu. Mungkin gaenak ya kak kalo ritme pekerjaan juga ritme konsep diri kita begitu-begitu saja. Tapi yah gimana, kalau sudah harus dikerjakan harus diterjang hahaha (Beda dengan aku yang harus "pindah lautan" haha). Lebih-lebih gimanapun perubahan adalah milik orang yang bertindak. Dan, emmm... aku lebih ingat quote ini versi Fluxcup:
"Engggghhhh, errrrghhh... coklat!"
"The philosopher have only interpreted the world in various ways; the point, however, is to change it." - Karl Marx
Ngomong-ngomong senang hatiku kalo tulisanku bisa berguna juga buat orang lain. Aku cuma berusaha menumpahkan isi kepala tanpa peduli bagus-jelek, baik-buruk, dan tata titi berbahasa.
HapusAku suka tulisan kakak wkwkwk
BalasHapusTerlepas dari apakah mikir berlebihan itu buruk, biasanya yang berlebihan itu nggak baik wkwkwk. Tapi justru itu yang ngebuat karakter manusia; pasti ada aja yang kelebihan. Dan di kakak kelebihan mikir
Gutlak TA-nya kak. Take it at your pace aja, pelan-pelan asal kelakon. Kakak tetep keren kok mau kelebihan mikir atau nggak haha -F
Halo Far, akhirnya main juga elo kesini. wakakakak.
HapusKebetulan, di sini gue ngerasa "kelebihan" gue malah agak menghambat. Atur-atur porsi sih kali ya, hehehehe.
Yep, makasih Far. Sukses juga buat elo dan kiprah lo, di manapun itu. :)