Selasa, 03 November 2015

Hujan Dalam (de)Komposisi, 4

Mengapa hujan turun sewarna darah? Di kotaku, pria wanita tua muda bersujud, menagih hujan yang dijanjikan oleh musim. Agaknya dahaga bangsa kali ini cukup parah hingga teh gelas yang biasa dijajakan pengasong di macet Dago tidak mampu membanjurnya lagi. Terlebih, lima hari ini aku tidak melihatnya di perempatan. Barangkali ia ikut bersujud dan menagih. Ia sudah sering dihutangi.

Mengapa hujan turun? Sesekali ia turun, namun hanya sayat tajamnya di wajahku yang diabadikan oleh rintik. Begitu pula asap. Ia turun dari cerobong-cerobong pabrik tukang bikin kefanaan. Kurang pedihkah hidup warga kota dan desa hingga kefanaan harus diproduksi tanpa henti? Para bos, tukang sewa tanah dan kontraktor tidak sadar pekarangan bungalo mereka memerah darah.

Mengapa? Ah, sudahlah. Seorang ayah tergolek di setapak merah darah. Kepalanya digergaji.
Paling tidak, hujan sesekali turun. Sesekali tagihan kami dibayar.

Bandung, 3 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar