Untuk ST.
Kupandang tubuh yang pulas di hadapanku itu. Anarki terpampang di lengannya. Tegas dan keras.
Anjing! Segumpal jiwa berbalut raga di depanku. Ia tidak sedang kelelahan. Hanya saja, ide dan tenaga juga butuh diam, mundur sejenak sebelum menghantam lebih kejam, hingga lebam berdebam.
Ia, yang rajin menggunting dan menempel potongan-potongan hidupnya, menjadi bentuk kehidupan lainnya. Ia, yang melafalkan bait "Tuhan Sudah Mati" dari Also Sprach Zarathustra selepas Al-Fatihah di penghujung tiap rakaat tahajudnya. Ia, yang akan menikammu dengan akustik dan semantik tepat di jantungmu. Matilah. Darahmu akan habis mendidih karenanya.
Anjing!
Hidup, terbentang di antara sudut-sudut ufuk, tak henti mencambuk. Siang penuh perang, berganti malam penuh cinta. Tak henti mendera. Dan ia bukan manusia tanpa luka. Digaraminya bekas-bekas kehidupan agar makin merdu rintihnya. Kau pasti paham, kehidupan tidak boleh berhenti karena luka yang digarami.
Anjing!
Dengarlah lolong anjing di penghujung pesing malammu. Apakah ia sedang memimpikan anjing-anjing bersenandung merdu dalam pulas sesaatnya?
Om.
Bandung, 4.04 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar