Kebetulan kemarin aku berulang tahun. Menjelang petang, seorang kawan mengirim chat lewat Line kepadaku,
"Ambu-ambune onok sing menua iki" ("Bau-baunya ada yang menua nih")
Aku hanya bisa cengengesan dan menyeletuk bahwa setiap detik semua orang toh mengalami proses penuaan. Tidak perlu menantikan suatu tanggal ulang tahun untuk menyatakan bahwa dirimu menua. Tanggal-tanggal itupun tinggallah sebuah artefak penanda zaman yang dibuat orang agar masa lalu tidak meninggalkannya. Mungkin tidak mengapa sejenak mengamati keindahan artefak itu – senyam senyum menerima ucapan selamat dari beberapa kawan sambil berharap tahun depan akan lebih baik, namun bagaimanapun waktu dan kehidupan seseorang terus berjalan secara kontinyu, bukannya diskret. Berhenti pada suatu titik diskret, tidak peduli apakah itu karena kau merasa keenakan di titik itu atau takut melangkah lebih jauh, berarti sebuah dekadensi. Hidupmu mandek sampai di situ saja.
Mundur beberapa jam di siang harinya, aku mengobrol dengan seorang kawan yang menggeluti filsafat Nietzsche dan rutin mengadakan "kelas filsafat" di tongkrongan kami. Aku tidak akan panjang lebar berbicara mengenai filsafatnya karena aku memang tidak begitu memahaminya, yang aku ingat adalah menurut Nietzsche dalam buku Zarathustra, tahap akhir dari tiga tahap metamorfosis seseorang adalah tahap yang digambarkan sebagai tahap "kanak-kanak". Baginya, seorang anak selalu mengambil tindakan dengan dilandasi oleh kejujuran, tanpa adanya pretensi apapun yang membatasi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pada titik ekstrem bahkan sudah melampaui nilai-nilai baik-buruk. Hanya ada kejujuran dan kepolosan. Si anak ini mungkin akan sedih saat mengalami suatu kemalangan, tapi apabila si anak ini adalah kanak-kanak sejati, dia tentu akan melupakan kesedihannya dan menuruti insting penjelajah kanak-kanaknya. Pandangan seperti ini buatku jauh lebih menyegarkan daripada pandanganku sebelumnya tentang pemikiran Nietzsche yang selalu terlihat vital, gagah, adikuasa, atau bahkan bengis. Seorang anak dapat dengan polosnya beristirahat dari penjelajahannya dengan dalih kelelahan, ngambek, atau apapun. Mana bisa seorang Singa-Alfa-Nietzschean yang harus selalu garang bersikap seperti ini?
Alegori seorang anak yang lugu tanpa pretensi ini menyentilku, kalau tidak boleh dibilang menjewer dengan ganasnya. Kontinuitas hidup acap diganggu pretensi alias sikap berpura-pura. Kejujuran diri kalah oleh anggapan umum. Namun lebih celaka lagi apabila pretensi itu dilakukan di hadapan diri sendiri. Perasaan malu menerima kekurangan diri, atau malah enggan menerima perasaan-perasaan seperti kemarahan dan kesedihan justru lebih samar dibandingkan rasa malu di hadapan khalayak. Inilah yang menyebabkan pretensi di hadapan diri sendiri bagi beberapa orang justru lebih membunuh. Orang-orang ini membunuh dirinya di hadapan arca ideal dirnya yang mereka bangun sendiri tanpa sedikitpun ingin memafhumi, semua hal (yang selalu disebut) negatif itu manusiawi. Memang terdengar klise, tapi tidak ada seorang pun yang sempurna. Pun arca sempurna yang terbuat dari blok-blok ekspektasi dan paranoia itu.
Aku menarik persoalan pada diriku sendiri. Belum lama sejak aku akhirnya bisa menerima diriku sebagai aku yang mikiran. Aku sadar, mungkin hanya sepuluh persen pikiran dan ketakutanku yang berhasil menjelma menjadi kenyataan. Sialnya, kesadaran itu masih saja dibarengi oleh membuncahnya kekhawatiran bahwa aku tidak cukup baik untuk apapun.
Gambaran yang dibangun megah oleh kekhawatiranku justru menyebabkanku berpura-pura dan hendak mencapai sesuatu yang aku sadar tidak akan bisa dengan mudahnya kugapai, malah beberapa sebenarnya tidak ingin kugapai sama sekali. Mau contoh? Baca saja tulisan ini. Mungkin Pembaca sekalian bisa merasakan keringnya tulisanku seperti sebuah jurnal ilmiah, atau malah lebih tandus lagi. Bahasannya pun mungkin tidak terlalu intelek dibandingkan dengan tulisan kawan-kawan yang sudah biasa menulis. Padahal aku berharap tulisan ini dapat lebih hidup dibaca dan lebih... berbobot, di kacamataku. Hampir aku berpretensi dengan berusaha menulis sari pikiran Nietzsche tentang ubermensch yang sebenarnya aku benar-benar paham saja tidak. Aku berusaha ndakik, namun gagal. Paragraf ubermensch-ku amburadul. Hasrat menulis lepas pun sudah lama keok di hadapan kesibukan mahasiswa tingkat akhir yang terlalu banyak membaca dan menulis tulisan saintifik. Gaya bahasaku yang sejak semula kaku pun jadi lebih kaku lagi. Aku rasa tulisan-tulisanku sebelumnya juga terserang penyakit berpura-pura ini. Akhirnya, kuputuskan: kali ini kucoba menerima kekurangan-kekurangan tadi, dan pengakuan adalah cara yang paling efektif bagiku untuk menerima kenyataan. Perasaan tidak puas boleh saja muncul, namun bukan untuk menggelayuti proses berkarya, melainkan menyempurnakannya.
Namun seberapa besar hati seseorang untuk menerima kenyataan-kenyataan lain yang lebih besar dan pahit? Seberapa jauh batas kesabaran mengizinkannya berbuat lugu menerima apa yang ia punya? Aku takkan tahu jawabannya sebelum menjelajah kontinuum kehidupanku lebih lanjut. Pada akhirnya aku hanya berharap sisi kanak-kanakku mendapat lebih banyak ruang dalam kesadaranku dan mengalahkan kerasnya hati dan arca-arca megah ekspektasi yang belum sepenuhnya runtuh.
Bandung, 2016