Kamis, 17 November 2016

[Sebuah Pengantar] Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala: Jejak Jihad Seorang Ikhwan

Saat saya membaca calon judul kumpulan cerpen ini, rasa penasaran menghampiri kedua belah otak saya. Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Saya berpikir, dari pengajian manakah Asra Wijaya memperoleh judul ini? Judul empat kata ini sekilas terdengar sangat islami. Namun saya agak kesulitan menangkap maksud utuh dari judul ini. Setelah saya konfirmasikan kepada Asra, ternyata saya cukup mengambil huruf pertama dari tiap-tiap kata judul itu untuk memahami maksud judul itu. Rupanya, melalui singkatan judul itu Asra hendak “memperkenalkan dirinya” dengan tipe kepribadian Myers-Briggs yang dia miliki :INFP. Tipe kepribadian yang acap saya temui pada kawan-kawan sesama penulis. Tipikal manusia penuh mimpi yang selalu tertarik dengan ide-ide besar. Memang demikianlah Asra. Ia selalu tertarik dengan keindahan dunia sastra dan narasi-narasi besar tentang kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Setelah berhasil bersabar menelisik lebih dalam makna per katanya, saya menemukan bahwa ternyata judul ini lebih dari sekedar perkenalan seorang Asra Wijaya secara umum. Melalui judul ini, Asra juga hendak memperkenalkan sebuah fase kehidupan yang telah ia lewati. Lebih tepatnya, sebuah fase yang ditutup oleh penulisan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku ini: seorang ikhwan yang selalu mendedikasikan segenap pikiran dan perbuatanya untuk mencari pahala dari Tuhan.
Judul ini juga menggambarkan bagaimana Asra seolah hendak melakukan otokritik terhadap semua batasan yang ia pegang teguh sebelumnya, yang tergambarkan dengan sangat baik melalui tiap cerita dalam kumpulan ini. Hidup di kalangan yang cukup religius dan mengenyam pendidikan di sekolah menengah semi-pesantren, Asra tumbuh menjadi sesosok pemuda agamis yang rajin mencari pahala, lengkap dengan batasan-batasan agama yang ia pelajari dari keluarga, guru-guru, dan kakak-kakak mentornya.
Asra pada masa itu mengambil posisi yang cukup tegas dalam memandang hidup. Posisi yang tegas ini jelas berasal dari pemahaman pribadi Asra terhadap agama Islam. Ini bertahan kira-kira hingga setahun lalu, saat Asra semakin dalam berkenalan dengan betapa beragamnya manusia selama ia berkuliah di Bandung. Perkenalan ini juga dibarengi oleh sebuah kesadaran, atau lebih tepatnya keresahan, yang Asra alami. Pada suatu titik, Asra menyadari bahwa selama duapuluh tiga tahun kehidupannya ia merasa sudah terlalu banyak menelan kekalahan. Pengalaman dan kekalahan yang telah Asra rasakan ini membuatnya mulai merenungkan bahwa pada akhirnya kebaikan dalam hidup tidak dapat melulu dinilai dengan seberapa banyak pahala yang ia kumpulkan. Bagai katak yang keluar dari tempurungnya, Asra mulai bersentuhan dengan dunia dan dimensi-dimensinya yang sangat luas, yang ke depannya memunculkan lebih banyak perenungan tentang hidup. Asra, seorang ikhwan yang pada awalnya sekedar mendamba pahala, akhirnya dihadapkan dengan masa-masa penuh konflik batin dan perenungan tentang kehidupannya.
Fase Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala mungkin memang sudah dilewati oleh Asra. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan dan pemikiran Asra di masa itu sangat mempengaruhi kepenulisan Asra saat itu dan ke depannya. Demikian pula kekalahan-kekalahan yang mulai secara samar ia rasakan: seluruhnya mengendap dan teramu dengan baik menjadi kumpulan cerpen ini.

***

Asra Wijaya sudah bergelut cukup lama di dunia sastra dan literasi. Semenjak SMP, Asra sudah biasa membaca majalah sastra Horison dan karya-karya sastra lainnya, di samping menulis sajak-sajak lepas yang beberapa di antaranya pernah dimuat oleh koran lokal. Beberapa karya awalnya terkumpul dalam antologi Sajak-Sajak Luka yang ia terbitkan secara swadaya di penghujung masa SMA-nya dan disebarkan sebanyak sepuluh eksempelar kepada kawan-kawan dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesianya. Sebenarnya, dibandingkan dengan bentuk-bentuk sastra lainnya, Asra lebih akrab dengan puisi. Hal itu ditunjukkan oleh Asra dengan antologi-antologi yang terbit setelahnya, Wasiat (2015) dan AH (2015), yang memuat puisi-puisi Asra medio 2009 sampai 2015, juga sajak-sajak lepasnya yang lain. Walau demikian, Asra juga berusaha mengakrabi tulisan dalam bentuk cerpen. Cerpen yang sudah ditulis oleh Asra dapat dibaca dalam kumpulan ini dan kumpulan lain berjudul Pungutan Ingatan yang akan terbit bersamaan dengan buku ini.
Berbeda dengan Pungutan Ingatan yang seluruh isinya dibuat pada tahun 2016, Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala kebanyakan memuat cerita-cerita yang ditulis antara tahun 2011 dan 2012, kecuali cerita tambahan “Iwan dan Keluarga Kebunnya” yang ditulis Asra pada 2015 sebagai cerita bersambung di laman Facebooknya. Membandingkan kedua era kepenulisan ini, kita dapat melihat perkembangan Asra dalam menulis cerita pendek, mulai dari teknik, topik yang diangkat, hingga penokohan dan konflik cerita. Dibandingkan dengan Pungutan Ingatan, Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala memuat topik yang belum terlalu beragam: berputar-putar antara hubungan dengan keluarga (seperti pada cerita “Sepeda Sore” dan “Cinta di Sekotak Kurma Tunisia”), teman (“Hukuman Alfa”, “Pengen Hidup Seratus Persen Aja”), kehidupan asmara (“Payung Biru, Kamera, dan Lelaki Biola”, “Tujuh Hari Penasaran Tigaperempat Mati”), atau perpaduan dari topik-topik tadi (“Salah Paham”, “Aku Diculik, Bang!”). Pemilihan topik tadi tidak terlepas dari gaya bercerita Asra yang cenderung bersifat recounting. Apa yang Asra tulis dalam kumpulan ini tidak pernah terlepas dari apa yang ia alami sehari-hari. Asra sendiri mengakui bahwa kebanyakan cerita yang ia tulis terinspirasi dari pengalamannya dengan keluarga, kawan-kawan, juga hubungan asmaranya.
Tentunya, terdapat masalah utama yang mengemuka dari topik-topik tersebut. Permasalahan-permasalahan pada cerita-cerita ini dikupas dengan pisau yang cenderung normatif dan bersifat monokromatik, di mana Asra membedakan secara tegas sesuatu yang dinilai baik dengan yang buruk dan menghadapkan keduanya secara frontal. Hal ini sangat terlihat misalnya pada cerita “Cinta Hakiki?”, di mana diperoleh kesimpulan akhir dari nasehat ayah Anton yang menyimpulkan, “...jangan sampai kalian kehilangan cinta kalian. Cintailah keluarga kita ini. Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka, begitu kata Tuhan dalam Al-Qur’an. Cintailah sesuatu yang halal dengan cara yang halal, niscaya kemudian Allah akan membimbing kalian menemukan cinta yang sesungguhnya.” Dari kesimpulan ini, terlihatlah posisi moral yang diambil Asra dalam menyampaikan isi ceritanya. Pola-pola penyimpulan seperti ini juga acap dijumpai pada cerita-cerita lainnya dalam buku ini. Metode dan posisi moral seperti itu tidak lepas dari bahan bacaan Asra di waktu itu, seperti tulisan-tulisan Habiburrahman El-Shirazy, Tere Liye, dan Salim A. Fillah, yang juga acap menyampaikan cerita secara normatif dan monokromatik dari sudut pandang Islam.
Seperti yang telah disebut di atas, Asra gemar menyampaikan cerita secara recounting tanpa terlalu banyak mengkreasi plot-plot tambahan yang melenceng terlalu jauh dari apa yang ia alami sendiri. Selain pengalaman-pengalaman yang bersifat menyenangkan atau inspiratif, Asra juga tak segan menyampaikan suasana canggung yang ia rasakan (sebuah bentuk kekalahan?) dalam cerita-ceritanya. Salah satu contoh yang gamblang terlihat pada cerita “Penyair, Pemalu, Pencemburu”. Pada cerita ini, Ahbab, sang tokoh utama, digambarkan mengalami kegagalan dalam urusan asmara dan mengalami kecanggungan yang tak tertahankan saat bergaul dengan kawan-kawannya di sekolah. Contoh lain tampak pula pada cerita “Salah Paham”, saat dengan canggungnya Andi mengajak Shalika menikah untuk menghindari pacaran, padahal mereka berdua baru bersekolah di bangku SMA. Seperti kebanyakan cerita lainnya, kedua cerita ini diselesaikan dengan langkah yang cenderung monokromatik. Pada kisah Ahbab, ia dikisahkan bertemu dengan seorang “wali” yang menasehati dia untuk meningkatkan kualitas dirinya, karena “...perempuan yang baik itu untuk lelaki yang baik...”, juga menyuruh berhati-hati agar cintanya tidak bercampur dengan nafsu. Sedangkan untuk Andi, dalam cerita ia digambarkan berhasil menyelesaikan masalahnya berkat bantuan dan nasehat dari kawan-kawan serta orang tua-orang tua yang bijak.
Hingga titik ini, makin terlihat bagaimana Asra memandang masalah-masalah yang terjadi sehari-hari di sekitarnya sesuai dengan posisi moral yang diambil Asra pada waktu itu. Namun dalam kumpulan ini juga ditemui beberapa cerita yang mulai menunjukkan pergeseran pandangan Asra, di mana dia mulai sedikit menjauhi pandangan monokromatik yang menjadi ciri utama Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Cerita “Salah Paham” sendiri juga mulai menunjukkan bahwa pandangan kaku seorang Andi terhadap hubungan pria-wanita dapat membawanya pada kesulitan. Selain itu, kisah “Balada Pil Pintar 119” juga menunjukkan bahwa untuk memperoleh hasil yang maksimal tidak hanya dibutuhkan kejujuran—seperti yang berkali-kali ditekankan oleh Iwin dalam cerita itu—namun juga kerja keras menuju apa yang diharapkan tersebut. Secara per se, kedua cerita tadi memang terlihat monokromatik. Namun apabila disandingkan dengan cerita-cerita lainnya, kedua cerita ini memperkaya sudut pandang moral yang diambil oleh Asra dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Kedua cerita ini pada akhirnya juga menonjolkan dimensi otokritik yang dikandung Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala terhadap pandangan monokromatik yang sebelumnya dipegang teguh oleh Asra.
Dari segi teknik, dalam kumpulan cerpen ini Asra beberapa kali melakukan eksperimen dengan plot twist, seperti pada “Penyair, Pemalu, Pencemburu”, “Dalam Kerangka”, “Ada yang Tidak Bisa Dikopi?”, “Hukuman Alfa”, dan masih banyak yang lainnya. Dapat dilihat bahwa di sini Asra terinspirasi dari berbagai karya yang menggunakan teknik-teknik sejenis. Malahan, sangat terlihat bahwa alur bolak-balik yang digunakan pada cerita “Dalam Kerangka” dan “Ada yang Tidak Bisa Dikopi?” sangat terinspirasi oleh Memento Mori (2001) karya Jonathan Nolan yang selanjutnya diadaptasi dalam film Memento pada tahun yang sama oleh Christopher Nolan. Sayangnya, masih terdapat banyak plot hole dan kurang sinkronnya alur yang beberapa kali ditemui pada beberapa cerita. Eksperimentasi yang dilakukan Asra dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala ini memang belum dapat dikatakan matang, terlebih mengingat kurangnya jam terbang Asra dengan cerpen apabila dibandingkan dengan puisi.
Ada yang menarik dari seri penutup kumpulan cerpen ini, “Iwan dan Keluarga Kebunnya”. Pada cerita yang relatif lebih baru dibandingkan dengan cerita-cerita lainnya ini, Asra menggunakan teknik figuratif dengan melakukan personifikasi terhadap objek-objek alamiah dalam cerita. Dalam seri ini, objek-objek tadi digambarkan bermonolog menyampaikan nasib mereka di bawah “rezim” manusia yang mengeksploitasi mereka kepada pembaca dengan sangat terang. Teknik figuratif ini seolah merupakan perpanjangan tangan dari kemampuan Asra mengolah bahasa puitik dan menggali keindahan dari dalamnya. Tema yang diambil pun juga agak berbeda dibandingkan dengan cerita-cerita sebelumnya. Walau pada awalnya masih berkutat pada tema keluarga, permasalahan dalam cerita ini mulai berani merembet ke ranah konflik manusia dengan lingkungannya. Saat menulis cerita ini sebagai cerita bersambung, kebetulan Asra juga mulai mendalami masalah ekofenomenologi. Di saat itu, Asra sepertinya terpengaruh oleh tulisan-tulisan karya Saras Dewi dan lagu-lagu Sisir Tanah yang banyak membicarakan permasalahan ekofenomenologi dan relasi antara manusia dengan lingkungan tempatnya tinggal. Pada akhirnya, sebagai penutup, cerpen berseri ini—juga cerpen-cerpen lainnya—menunjukkan bahwa seorang penulis memang tidak akan pernah lepas dari kondisi sekitar yang ia geluti. Tinggal bagaimana kepekaan penulis tadi terhadap kondisi-kondisi itu dan mengolahnya menjadi karya-karya yang bermutu.

***

Asra sendiri pun mengakui bahwa masih banyak kekurangan di sana-sini dalam cerita-cerita di buku ini. Walau demikian, saya tidak merasa bahwa pengumpulan cerpen-cerpen dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala ini kehilangan manfaatnya begitu saja. Dalam kumpulan cerpen ini dapat dijumpai pandangan-pandangan dan gaya kepenulisan yang khas dari Asra di masa-masa penulisan ke-20+1 cerita ini. Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala pun menjadi dokumentasi yang representatif bagi jejak-jejak kepenulisan Asra medio 2011-2012 (+2015) dalam menulis cerpen. Gaya kepenulisan Asra mungkin mengalami pergeseran. Ikhwan yang keras berjihadmenggeluti dunia pemikiran, literasi, dan sastra ini memang tidak mengharamkan pacaran lagi, seperti yang acap ia lakukan via cerpen-cerpennya. Namun, bukankan manusia memang selalu akrab dengan perubahan? Johann Wolfgang von Goethe pernah menyebutkan, “yang lalu biarlah berlalu, kematian ada di setiap kata-kata”. Bagi saya, perubahan yang terjadi pada manusia adalah sebuah kematian yang diikuti oleh lahirnya sosok baru dari manusia itu. Proses dokumentasi dari kematian tadi dilakukan tidak hanya sebagai obituari yang layak baginya, namun juga sebagai cermin yang jernih bagi diri sendiri untuk mempersiapkan diri menyambut perubahan-perubahan selanjutnya.

Bandung, 3-4 November 2016
Rilis Eka Perkasa
Pengamat Lalat Yang Terperangkap Dalam Segelas Es Jeruk

ISH Tiang Bendera ITB