Sabtu, 27 Desember 2014

Sajak Rencana

Parkiran sipil, di awal hari. Belum ada kebijakan jam malam waktu itu.

1.
Aku bukan orang yang terbiasa dengan rencana.

Aku terlanjur biasa
hanya menyemai tawa darinya
dan menghujaninya dengan duka.

2.
Pengamen di depan mendendang, "mau kemana?"
Seorang penyair duduk di sebelahnya
ia menyihir rencana menjadi bencana

3.
Mungkin di tengah jalan aku harus memungut rencana.
Ia adalah lencana mengkilat yang terjatuh
ditinggal tuannya yang keburu menjauh.


6 September 2014

Jumat, 26 Desember 2014

Sajak Seorang Buta

Kosan Babeh, 01.13 WIB

...dan karenanya
rima
itu cuma
permainan orang buta.

Sabtu, 20 Desember 2014

Kata-Kata Musang

Beurgeur, 12:21 WIB

Kembali dosenku menyemburkan kata-kata usang
yang biasa ia gunakan untuk memperbudak kata-kata usang
lainnya


lalu kami mati, seperti musang.

Kamis, 18 Desember 2014

Surgeon

Kamar kosan, 02:49 WIB

Robeklah dadamu, kemudian ambil jantungmu
kunyahlah, perlahan-lahan saja
bagaimanakah rasanya di lidahmu?

sepertinya bagimu
menerka rasa pikiranku
lebih mudah barang tentu
daripada meminum sendiri darahmu.

Sekarang robeklah dadaku, kemudian renggut jantungku
kunyahlah, tidak perlu terburu-buru
maukah kau memberitahu padaku
rasa jantungku itu?

aku belum pernah tahu bagaimana bentuk jantungku.

Senin, 15 Desember 2014

Kata Pengantar

15 Desember 2014. 19:46 WIB.

Setelah membaca kata pengantar tiga buku yang saya pinjam tanpa sempat membaca isinya.

Kopi susu yang kau buatkan selalu mengantarkanku kepada
senja yang mengantarkanku
kepada malam
kepada diam
kepada pagar rumahmu yang dicat hitam.

Sayangnya, kata pengantar buku-bukumu gagal mengantarkanku pada pagar yang rapat mengelilingi dirimu.

Kita terpagar antara pengantar yang gagal mengantarkan kata-kata pengantar kita.

Minggu, 14 Desember 2014

Ide

Dalam kamar kosan, 23:46 WIB.

Aku percaya bahwa ide bersifat volatil. Ia selalu menguap sesaat setelah ia muncul.

Karenanya lah, jika ide muncul, ia harus segera diendapkan. Dalam blok-blok biner, dalam coretan di atas kertas, atau dalam smartphone. Namun bukan di dalam ingatan. Ide selalu menguap dengan mudah di dalam ingatan.

Ide tidak boleh menguap begitu saja. Ia terlalu berharga untuk dilewatkan.

Ego

14 Desember 2014. 01:24 WIB. Kamar kosan.

"This is the end
Hold your breath and count to ten
Feel the earth move and then
Hear my heart burst again..."

Aku benar-benar merasakan perubahan itu. Dunia yang dulu kukenal hanya hingga batas-batas kotaku mendadak bereksplosi dan berekspansi. Big Bang. Apa yang selalu kusebut batas dulu terdorong menjauh. Seberapa jauh? Hingga tidak hingga, hanya itu yang bisa kukatakan mengingat ketidaktahuanku akan ke mana batas itu sebenarnya menghilang. Aku mengenali ketidakterbatasan ini, namun aku tidak (akan pernah) memahami seluruhnya.

Lalu mendadak seluruhnya termampatkan. Dunia menyempit. Semua yang kukenali sebagai batas-batas itu mendekat. Dunia memampatkan dirinya dan hanya menyisakan ruang yang sangat sempit. Terlalu sempit, bahkan untuk diriku seorang. Batas-batas itu memerangkap.

Sebanyak apapun diskusi dilakukan, lirik ditulis, ode diciptakan, bahasan tentang ego selalu menjadi bahasan yang menarik. Dunia manusia yang ada saat ini berdiri di atas pondasi ego. Peradaban makan, minum, beristirahat, dan membela diri dengan didorong oleh egonya untuk bertahan hidup. Segala kejatuhan adalah ego yang tidak berhasil menuntaskan dirinya. Andai saja ia tertuntaskan, ialah yang berdiri. Berjaya. Manusia - semua keinginan, pikiran, ciptaan, semua yang membuat dirinya "ada" adalah ego-nya. Aku percaya semua manusia mengandung sekaligus terperangkap oleh egonya masing-masing. Demikian pula aku. Aku-pun selalu terperangkap dalam ego-ku.

Aku masihlah aku yang sama, aku saat mengenal dunia hanya sebatas kota tempat tinggalku. Aku masihlah aku yang suka menulis diiringi lagu-lagu (sebut saja mereka yang berjasa menemaniku: Black Sabbath, Muse, Foo Fighters, Keane, Melancholic Bitch, Adele, dan masih banyak lagi). Aku masih sering lupa mengerjakan tugas kuliah hingga J-min-sekian. Aku masih saja sulit menangkap harapan dan kekhawatiran yang entah ada dalam dunia yang tidak kukenal ini atau dalam kepalaku saja. Bahkan aku selalu kesulitan menuliskan semuanya dalam media blog ini sekalipun. Bagaimana aku bisa mengatakannya? Bagaimanapun, hingga saat ini egoku yang lapar masih belum mengetahui cara untuk melepaskan diri dan mencari penuntasan diri.

Apakah semua ego selalu seperti itu?

Minggu, 09 Maret 2014

Di Suatu Tengah Malam

Di hamparan beledu, purnama berpendar membundar
tidak tampak kawanan laron mengitarinya
tidak tampak pula jawaban yang sebenar-benarnya benar.

tidak juga kutemukan sepatah katapun untuk membanjur "terlanjur"


Bandung, 12 Februari 2014