Siang itu saya menuju daerah Ciroyom dengan angkutan kota
hijau-oranye Caheum-Ciroyom. Saat melewati daerah Babakan Siliwangi, tepatnya
di jembatan setelah Sabuga, pandangan saya tertuju ke keramaian di kanan jembatan,
di bantaran Sungai Cikapundung.
“Jembatan merah, jembatan merah...” ujar aa’ supir angkot.
Tentu yang dia maksud bukan Jembatan Merah di Surabaya.
Angkot yang saya naiki melewati tempat dengan papan nama ”Teras Cikapundung”
yang sepertinya merupakan salah satu “taman cantik” di kota Bandung yang
dibangun di masa jabatan Ridwan Kamil alias Kang Emil itu. Yah, sekarang saya
tidak tahu banyak mengenai tempat-tempat “hits” baru di kota ini. Maklum, mahasiswa
tingkat akhir. Harus jadi tikus di lab pengap yang penuh bau uap kloroform dan
zat-zat berbahaya lainnya. Saya pun berpikir, “Jadi ini, ruang publik di bibir
Sungai Cikapundung yang mengorbankan salah satu kampung di tepi sungai ini?”
merujuk tulisan seorang kawan yang sempat membicarakan masalah ini.
Belum lepas dari ingatan, pemandangan di tempat itu sekitar
tiga bulan yang lalu. Kampung di bantaran sungai yang biasa saya lihat sekilas apabila
menuju arah Ciumbuleuit itu tinggal puing. Di tengah puing itu, ekskavator
berwarna hijau toska berdiri dengan gagahnya. Sekarang, tempat itu sudah
berubah menjadi taman (saya tidak salah sebut, kan?) di tepi sungai. “Jembatan
merah” yang tadi disebut si aa’ melintang di atas sungai, di tengah taman itu.
Kanan-kiri jalan dipenuhi oleh parkiran motor, entah liar atau tidak. Pedagang
cilok, balon, dan batagor memenuhi tempat itu. Mungkin, minus parkiran dan
pedagang yang menjamur di tempat itu, Pemerintah sepertinya berambisi membuat
bantaran Sungai Cikapundung seperti bantaran Sungai Seine di Paris yang
terkenal cantik itu.
Taman "Seine" Teras Cikapundung. Maaf, kamera saya tidak sebagus itu.
Flashback ingatan
sekilas tiap naik motor lewat daerah itu, ingatan tiga bulanan lalu hingga apa
yang saya lihat tadi siang membuat saya berpikir – bukan dengan pikiran ahli
tata kota, sosiolog, psikolog masyarakat, aktivis, atau malah filsuf. Saya
berpikir dari sudut pandang orang yang kebetulan lewat daerah itu. Belum lepas
juga dari ingatan saya tentang pernyataan Kang Emil sebagai walikota yang ingin
meningkatkan indeks kebahagiaan warga Kota Bandung. Salah satunya dengan
membuat banyak “taman cantik” di sekujur kota ini, salah satunya Teras
Cikapundung ini. Okelah, membuat taman. Mungkin sebagian warga kota akan berbahagia dengan taman-taman yang dibangun ini. Tapi bagaimana dengan mereka yang
kampungnya digusur? Apakah mereka bahagia dengan adanya Teras Cikapundung ini?
Pemenuhan indeks kebahagiaan melalui taman ini diikuti dengan hilangnya tempat
tinggal sebagian warga kota yang ingin ditingkatkan indeks kebahagiaannya itu,
dan saya kesulitan melogika bahwa warga yang dipaksa pergi dari tempat
tinggalnya akan merasa bahagia, atau paling tidak tersembuhkan kesedihannya
dengan Teras Cikapundung. Ironis.
Betapa mudahnya, sekelompok orang (baca: elit) mengatur
kehidupan seseorang, bahkan menentukan di mana sekelompok orang lainnya harus
melanjutkan hidup setelah dipaksa pindah akibat agenda kelompok yang disebut di
awal. Memang, setelah digusur saya dengar warga kampung itu direlokasi ke rumah
susun di daerah Sadang Serang. Namun saya rasa permasalahan tempat tinggal ini
tidak sesederhana itu. Warga kampung yang sudah menetap di sana puluhan tahun
lamanya tentu sudah memiliki keterikatan dengan tempat itu. Tidak hanya masalah
administrasi, pekerjaan, maupun tempat berteduh belaka. Rumah juga berarti identitas,
tempat pulang, dan tempat segala ingatan yang pernah dilewatkan di rumah itu
ditinggalkan. Dan kampung yang digusur itu saya rasa tentu adalah rumah bagi
para (mantan) penghuninya. Pemikiran seperti ini membuat saya menganggap
penggusuran dan pemindahan paksa ini adalah masalah serius. Atau sebenarnya
tidak seserius itu? Bagi pembaca yang merasa pemikiran saya kurang tepat,
beritahu saja saya.
Jika memang kegelisahan saya benar, maka masalah penggusuran
bantaran Sungai Cikapundung ini adalah potret kecil tentang pembangunan negeri
ini. Apakah ada kompensasi yang setimpal untuk mereka yang menjadi korban
pembangunan? Bahkan apabila ditarik lebih jauh lagi akan ditemui pertanyaan
baru: apakah pembangunan ini cukup merata sehingga dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat yang seharusnya berhak menikmatinya? Apakah kita yang mungkin tidak
mengalami penggusuran dapat merasakan juga apa yang dirasa oleh mereka yang
tersisih akibat pembangunan?
Seorang kawan berpose dengan kampung yang digusur, warga setempat, dan ekskavator hijau toska.
Semoga kebahagiaan dapat menjadi milik seluruh warga. Bukan hanya
pemerintah, pengunjung taman, para pedagang, dan juga pengelola lahan parkir
dadakan. Dan semoga tulisan ini dapat menjadi renungan di awal tahun ini.
Bandung, 3 Januari
2016


Menurut Mas Rilis bagaimana solusi baiknya? Kemudian apakah tujuan dari penggusuran itu hanya untuk membuat taman, atau memang ada tujuan lain yang lebih besar dan memiliki efek yang lebih signifikan?
BalasHapus*asek yo bahasaku, hahaha
Asek wartawan chevron huahahaha
HapusAku yo sadar, ndek kene sek akeh hal2 sing durung tak tulis. Masalah RTRW, masalah investasi, masalah kependudukan, dan akeh hal liyane mungkin mas. Gak tak tulis, sebagian mergo aku durung mampu dan paham mbahas hal2 iku, dan sebagian luput juga saka pandanganku hehehe, jadi aku nulis berdasarkan logika asal lewatku (sing mungkin ae hal iki gak iso dibenarno). Suwun mas brainstorm e.
Lek aku wes moco salah satu tulisan ndek forum, mbiyen kampung kolase iki wes diberdayakno jadi kampung sing relatif lebih ramah gae sungai, semacam kampung2 nang bantaran kali code jogja ngono. Tapi bisa aja masih tetep gak sesuai peruntukan buat daerah iku.
Nah lek ncene ngono, ncen abot sih, tapi kudu dipindah. Tapi dipindah pun kudu dijamin kelayakane. Gak koyok sing saiki mas, nggone kurang layak.
Tapi aku ndeloke menarik ae di mana wong2 iso dikongkon pindah sak gampang iku karo wong liya, apapun tujuane hehehe, dari tempat sing selama iki jadi omah mereka ngono. Yah jadi sadar ae urip iki gak gampang bro
Nice, paling ngga awakmu udah melakukan langkah awal yang bener, sympathy and concern.
HapusAku juga barusan baca2 artikel tentang Kampung Kolase ini. Ternyata alasannya untuk bikin Amphitheater ya. Emang bener sih, kerasa ga adil, apalagi Kampung Kolase sebelumnya udah tertata dengan baik.
Well, bener jaremu pancen, "urip ga gampang". Sing penting selalu inget, "abang ngomong abang, ijo ngomong ijo. Kudu wani mati demi kebenaran."
Btw, aku nemu artikel apik iki tentang Kampung Kolase:
http://bdgcitywatch.org/periodisasi-kampung-kota/
Semoga warga yang tergusur mendapat rezeki dan jalan yang lebih baik.
aamiin saaam.
Hapushahahaha. tepak aku wes moco sing iku mas, hehehehe.