Minggu, 26 Juni 2016

Lepas

Pada maklumat zaman azali
Kini ku ingin hasrat sendiri
Memilah takdir memilih nasib
Kepada apa ku'kan mengapa

Kucuri takdir dari Azazil:
Inilah! Luka dan bisa kuambil
kubawa berlari
Hingga terkalang senasib Habil
Habis mampus dirajam Ababil.

Malang, 26 Juni 2016
Bait pertama dicuri dari Asra

Jawaban

Ini sajak kutulis
buat hidup kian terasing
terhimpit detik kian menipis

Pun di tengah kalam sang alam
kurasai pula debar
desir pasir pantai selatan
hingga sampai ia terdengar
sampai jauh:
hingga ujung bayang Semeru
hanya saja tak kujumpa
makna lenyap terkubur
ditimbun bising dan kabar yang kabur

Aku mengharu, aku membiru.

Kunanti hingga sampai derai, terdengar
di menung kelabu Petung Sewu
di beranda kalbu penanda jiwa
oh Jiwa! Bilakah dirimu lelah
disiksa fakta ditinda fatwa
sedang tak juga terdengar
Ia, sang sebenar-benarnya benar

Aku meragu, aku mengilu.

Ini sajak kutulis
buat hidup kian mengasing
tak juga kukenal hingga habis tangis.


Malang, 25-26 Juni 2016

Minggu, 12 Juni 2016

Catatan Spanduk

Spanduk yang jadi persoalan

Siang itu, saat aku memasuki Babakan Siliwangi yang juga menjadi “gerbang belakang” kampusku, aku menjumpai spanduk ini.
"Selamat Bertanding. Dilarang Teriak...!!!"
Begitulah bunyi spanduk yang kujumpai. Aku agak bingung melihat spanduk yang dipampang di acara lomba burung kicauan ini: sebenarnya siapakah yang dilarang teriak?
Apakah bapak-bapak dan aa’-aa’  yang membanjiri perhelatan ini? Ah, sepertiya bukan. Riuh rendah bapak-bapak dan aa’-aa’  mulai dari yang di tepi “arena” (sial, aku tidak berhasil menemukan istilah yang tepat)  hingga yang sedang menikmati rokok di atas jok motor bising terdengar - jelas mereka sedang berteriak. Jadi mungkin saja larangan ini bukan untuk mereka.
Apakah burung-burung kicauan yang sedang dilombakan? Wah, bagaimana ya? Apa mungkin burung-burung kicauan ini berlomba kalau dilarang teriak? Hmmm. Mungkin saja mereka boleh berkicau namun tidak perlu ngoyoh hingga teriak-teriak.
Apakah orang-orang sepertiku yang sekedar numpang lewat? Hmmm. Mungkin saja.
Apakah hutan kota Babakan Siliwangi lokasi perlombaan ini? Sepertinya tanpa dilarang berteriak pun Babakan Siliwangi tetap menjaga keheningannya walau digempur hiruk pikuk bapak-bapak, aa’-aa’, dan deru motor matic-ku. Babakan Siliwangi tidak sedang harus berteriak karena seingatku sedang tidak ada proyekan apartemen yang hendak mengangkanginya.

Mungkin memang kita tidak perlu terlalu sering berteriak. Teriak terlalu sering akan melelahkan tenggorokan dan jiwa kita. Toh, apakah kau berani menjamin semua orang akan mendengarkan teriakanmu? Pertandingan kehidupan sudah cukup bising dan dapat menenggelamkan seluruh teriakanmu. Sepertinya di sela-sela kebisingan itu kita harus mencari keheningan untuk berpikir, merenung, hingga sok-sokan berfilsafat menjawab pertanyaan: Untuk apakah kita berteriak?

Kalian para aktivis dan penggerak tidak perlu risau dulu. Tulisanku tidak hendak melarang seseorang berteriak seperti makna literal dari spanduk di atas. Aku sudah bilang di atas “kita tidak perlu terlalu sering berteriak”. Ada kalanya teriakan kita harus didengar orang-orang di sekitar kita, atau bahkan  sekedar teriak untuk mengkonversi rasa sakit, lelah, dan geram. Jika memang demikian, berteriaklah. Toh Babakan Siliwangi juga pernah berteriak. Namun jangan terlalu lelah. Hidup juga perlu energi. Sayang jika hanya kau habiskan untuk berteriak.
Namun jika harus berteriak, berhati-hatilah. Jangan sampai teriakanmu membentur dan dibungkam spanduk-spanduk seperti ini. Terkadang spanduk-spanduk, pamflet-pamflet, juga undang-undang tidak tahu kalau kau harus berteriak.

Selebihnya, Selamat Berlomba. Jangan Terlalu Sering Berteriak.

Bandung, 23.09 WIB

Puisi Tuntas

Tuntas : layaknya dosa terakhir di ujung renung dini harimu
Lunas : layaknya gulita dibayar pendar fajar pertama.
Malam pun pungkas. Aku berpikir, bagaimanakah hari ini akan mengakhiri dirinya?

Bandung, 25 Mei 2016. Pagi hari.