Kamis, 09 Februari 2017

[ULASAN BUKU] Kambing dan Hujan (2015)


Pengarang: Mahfud Ikhwan
Judul: Kambing dan Hujan
Tebal: 374 halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015

Tidak perlu terlalu jauh membayangkan perbedaan agama untuk membayangkan kepelikan hubungan antar-manusia yang selalu dikelindani oleh perbedaan. Perbedaan masjid belaka—walau hanya dipisahkan oleh seruas jalan dan sepetak tanah kosong—sudah dapat memunculkan berbagai persoalan sendiri, mulai dari perbedaan tentang qunut shalat subuh, niat sebelum shalat, tatacara Jumatan, hingga perbedaan waktu puasa dan hari raya. Realita yang terjadi di sekitar perbedaan inilah yang sepertinya hendak diangkat oleh Makhfud Ikhwan dalam novelnya, Kambing Dan Hujan.

Kalau ditanya apakah mereka lebih senang lebaran sama-sama atau berbeda, tentu saja mereka akan menjawab tegas: lebih senang sama-sama. (hlm. 240)

Cerita pada awalnya berfokus pada hubungan “terlarang” kedua muda-mudi sekampung yang masing-masing berasal dari dua masjid yang berbeda itu. Miftahul Abrar, pemuda itu, tumbuh dalam tradisi islam pembaruan yang dianut oleh Masjid Utara. Sedangkan Nurul Fauzia, pasangannya, adalah anak seorang tokoh Masjid Selatan, masjid di kampung itu yang beraliran lebih tradisional. Walaupun keduanya saling mencintai dengan mantap dan berencana menuju ke jenjang yang lebih serius, tak pelak perbedaan pandangan mengenai Islam ini menjadi penghalang mereka. Tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja, mereka tetap mengusahakan untuk menyeberangi jembatan budaya yang sebenarnya hampir mustahil dilalui itu.

Di tengah upaya itu, secara tidak terduga mereka justru menemukan sejarah munculnya perbedaan pandangan Islam di Dusun Centong, kampung mereka—juga secuil rahasia masa lalu yang mengambil latarbelakang perbedaan ini. Tidak pernah disangka sebelumnya bahwa Pak Iskandar, ayah Mif, dan Pak Fauzan, ayah Zia, dulunya adalah sahabat dekat yang sudah seperti saudara kandung. Melalui narasi kedua orang ayah ini, surat-surat yang saling bertukar di antara mereka, serta kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang di sekitar mereka, cerita masa lalu Is dan Mat—panggilan masa kecil Pak Iskandar dan Pak Fauzan—pun mengalir. Dikisahkan bahwa kedua sahabat yang acap menghabiskan waktu di Gumuk Genjik—bukit di utara kampung mereka—itu mulai mengalami perbedaan cara pandang terhadap agama saat mereka menimba sumber pengetahuan agama dari sumber yang berbeda. Lucunya, kedua sahabat ini masing-masing memiliki mentor panutan yang sama-sama bernama Ali: Cak Ali dan Mas Ali. Mat yang memperoleh pendidikan Islam tradisional di salah satu pesantren salaf Jombang perlahan merasakan bahwa gerakan pembaruan yang dibawa oleh Is, Cak Ali, dan kawan-kawannya mulai bergesekan dengan masyarakat dan tetua masjid di kampung itu—yang nantinya akan menjadi Masjid Selatan. Tidak lama berselang, didirikanlah mushola yang nantinya akan jadi cikal bakal Masjid Utara. Sejak hari itu, jamaah Centong seolah terbagi dua.

Ada dua adzan yang bersaing, seperti beradu merdu, Menjelang shalat dimulai, segera terlihat ada dua rombongan jamaah yang bersimpang arah. Ya, ada dua umat di desa kecil terpencil ini. (hlm. 219)

Hubungan Is dan Mat sendiri pun merenggang. Keadaan ini diperparah oleh ajakan satu sama lain untuk menjadi guru di madrasah masing-masing yang tentunya sulit untuk diterima satu sama lain. Ditambah pula masalah cinta segitiga yang berjangkit di antara mereka, hubungan mereka pun memburuk. Namun seiring berjalannya waktu bukan berarti tidak ada usaha dari keduanya untuk berdamai. Sayangnya, kemauan itu selalu terhalang kesalahpahaman. Lagipula, bukankah sulit untuk mencairkan kembali hubungan yang sudah terlanjur demikian rikuh?

Kembali ke tahun 2000-an, Mif dan Fauzia masih tetap berusaha mempertahankan hubungan mereka, walau mulai dirundung keputus asaan. Di tengah kemelut itu muncul Pak Anwar yang merupakan saudara jauh Is dan Mat menjadi penengah di antara mereka. Dengan berbekal pengalaman buruk yang ia terima akibat perpecahan di kampung itu dan melihat kemungkinan terjadinya rekonsiliasi melalui Mif dan Fauzia, Pak Anwar berusaha mendamaikan kedua sahabat yang berperang dingin itu. Apakah usaha Pak Anwar membuahkan hasil? Apakah Mif dan Fauzia dapat bersatu?

Bah! Orangtua macam apa kalian ini? Kalian lebih bocah dari bocah, Kalian jadikan anak-anak kalian jangkrik aduan, dan kalian senang melihat mereka saling pukul. (hlm. 337)

Dalam bercerita, Mahfud Ikhwan tidak bersikap otoriter dalam bernarasi. Ia acap berbagi dengan Is, Mat, juga tokoh-tokoh lain untuk menceritakan latar belakang dari kisah ini. Keseluruhan cerita akhirnya terangkum menjadi sebentuk alur bolak-balik yang tidak membosankan, lengkap dengan sudut pandang dari kedua belah pihak yang berkonflik. Susunan alur yang berpola bolak-balik, bahkan ketika menyentuh kurun tahun 2000-an, dan pengulangan cerita dari sudut pandang yang berbeda kadang membuat saya harus berpikir agak keras menyatukan keseluruhan alur menjadi sebuah cerita yang terpahami secara utuh. Namun di sisi lain, pengkondisian alur yang demikian dapat membuat pembaca berusaha memahami lebih dalam permasalahan dalam cerita sembari mengikuti alur, di samping tentu saja membuat penceritaan terkesan lebih hidup. Mahfud juga berani menambah warna dalam ceritanya dengan menambahkan unsur pendekatan sejarah melalui tokoh Mif yang merupakan lulusan Jurusan Sejarah salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Novel ini secara singkat menggambarkan keragaman yang ada dalam Indonesia. Apabila terjadi persinggungan dalam perbedaan itu, tentu akan muncul persoalan-persoalan yang harus dihadapi pihak-pihak di dalamnya. Di tengah keragaman itu, novel ini berusaha menghadirkan sebuah alternatif mengenai bagaimana menghadapi perbedaan tanpa harus menyeragamkan unsur-unsur yang dikandung di dalamnya. Kehidupan manusia selalu dilatari oleh pengalaman yang berbeda-beda. Lantas, pengalaman inilah yang akan membuat cara pandang manusia terhadap kehidupan, agama, dan bahkan Tuhan akan berbeda-beda. Apakah keniscayaan ini akan mengutuk manusia sehingga mereka tidak bisa hidup berdampingan dengan damai? Kambing Dan Hujan di sini mengajak pembacanya untuk merenungkan pertanyaan itu.

[ULASAN BUKU] The Little Prince (1943)


Pengarang    : Antoine de Saint-Exupery
Bahasa          : Inggris, terjemahan dari Perancis
Judul            : The Little Prince
Tebal            : 109 halaman
Penerjemah   : Irene Testot-Ferry
Penerbit        : Wordsworth Editions
Tahun terbit  : 1995 (Edisi asli diterbitkan pada 1943)


“Grown-ups really are very, very odd...” – Pangeran Kecil (hlm. 51)

“Men have no more time to understand anything” – Sang Rubah (hlm. 78)

Masa kecil merupakan masa yang paling menyenangkan bagi imajinasi manusia. Terbatasnya pengenalan manusia terhadap dunia dan batasan-batasannya justru membebaskan, bahkan mendorong imajinasi tadi untuk meliar, menjelajah, dan menelurkan banyak tanda tanya atas kehidupan dan dunia hingga ia menemukan batas-batas terjauhnya (Lagipula, di manakah batas-batas imajinasi berada? Saya yakin penjelajah paling liar pun belum dapat mencapainya). Keadaan nyaris tanpa batas ini kemudian menghilang ketika seseorang mulai menginjak masa dewasa. Kenyataan hidup dan angka-angka hasil kalkulasi yang tersistematis  atas kenyataan tadi seolah menjadi batas-batas baru pengembaraan si kecil imajinasi. Tanggung jawab, peraturan, hingga norma-norma tidak tertulis yang bahkan terasa tidak masuk akal datang satu paket bersama dengan dicapainya kedewasaan itu. Hidup menjadi lebih sulit dan membosankan untuk dijalani.

Sepertinya hal tadi yang ingin digambarkan oleh Antoine de Saint-Exupery dalam novel mini The Little Prince atau disebut Le Petit Prince dalam bahasa aslinya (Perancis). Kisah penuh alegori yang ditulis dengan gaya cerita anak ini rupanya mengandung poin-poin bernas mengenai kehidupan dan absurditas “dunia orang dewasa”. Gaya penulisan seperti ini sepertinya muncul dari pengalaman Saint-Exupery mengerjakan buku untuk anak-anak saat tinggal di Amerika Serikat. Pada titik ini, The Little Prince seperti berusaha menantang prinsip-prinsip “dunia orang dewasa” seperti konformitas dan positivisme di hadapan keluguan anak-anak yang diam-diam menelanjangi dengan berbagai ‘apa’ dan ‘mengapa’.

Narasi dibuka dengan cerita masa kecil Sang Narator yang menggambar ular boa yang memangsa seekor gajah tampak luar dan dalam. Sayangnya orang-orang dewasa yang melihat gambar itu gagal memahaminya sebagai sebuah topi dan lebih menganjurkan Narator mempelajari hal-hal yang lebih penting seperti geografi, sejarah, aritmatika, dan tata bahasa daripada mempersoalkan ular boa yang baru saja memangsa gajah. Singkatnya, Sang Narator pada akhirnya menjadi seorang pilot yang melanglangbuana dan sibuk dengan urusan orang dewasa.

Cerita mulai sedikit dipelintir saat pesawat yang dikendarai Narator terjatuh di Gurun Sahara. Di tengah kesendirian, kehausan, dan keputusasaan memperbaiki pesawat, ia bertemu seorang bocah laki-laki berambut keemasan yang memintanya menggambar seekor biri-biri. Dikuasai kebingungan atas keadaan aneh itu, Sang Narator akhirnya menggambar biri-biri walau beberapa kali mengalami penolakan hingga akhirnya ia menggambar sebuah kotak dan dikatakannya, “The sheep you asked for is inside” (hlm. 15). Di luar dugaan, si bocah sumringah dan menerima gambar itu.

Bocah tadi akhirnya memperkenalkan diri sebagai seorang pangeran yang berasal dari asteroid kecil B-612 dan tinggal seorang diri di sana. Bahkan pada bagian perkenalan tokoh Pangeran Kecil dapat ditemui sindiran terhadap peliknya “dunia orang dewasa”, mulai dari betapa sukanya orang dewasa menggunakan angka hingga fakta bahwa astronom Turki yang menemukan asteroid itu harus menyampaikan temuannya dibalut setelan “Barat” agar kata-katanya dapat dipercaya orang banyak.

Percakapan selanjutnya antara Narator dan Pangeran Kecil membawa Pembaca masuk ke dalam dunia Si Pangeran Kecil. Pengembaraan Si Pangeran dari asteroid kecilnya (yang digambarkan memiliki tiga gunung berapi dan sangat kecil sehingga seseorang dapat melihat matahari terbenam empatpuluh-empat kali sehari – tunggu, seberapa lamakah sehari di sana?) ternyata dimulai dari kegalauan Si Pangeran dalam hubungan cintanya dengan sekuntum mawar. “Flowers are so inconsistent! But I was too young to know how to love her.” (hlm. 38), ujarnya. Dalam pengembaraannya, Si Pangeran berkunjung ke enam asteroid tetangganya. Di masing-masing asteroid ia berjumpa dengan seorang raja “penguasa” alam semesta, seorang gila hormat yang senang apabila dipuji, seorang pemabuk, seorang pebisnis yang selalu sibuk menghitung bintang – aset-asetnya, seorang tukang pasang lentera, dan seorang ahli ilmu bumi. Masing-masing pertemuan tadi menggambarkan absurditas orang dewasa yang umum kita jumpai sehari-hari, mulai dari sindrom kekuasaan dan kepemilikan sampai alkoholisme, dan membuat Si Pangeran terheran dan berpikir betapa anehnya orang dewasa.

Singkat cerita, sang ahli ilmu bumi menyarankan Si Pangeran melanjutkan petualangan ke bumi. Sesampainya di bumi, perjalanan panjang menanti. Selama setahun, Si Pangeran berkeliling dunia dan bertemu dengan banyak hal. Ia bertemu dengan seekor ular – yang berjanji membantunya kembali ke asteroid rumahnya, sekuntum bunga – yang menyatakan bahwa manusia “...have no roots which makes their life rather trying” (hlm.71), sekumpulan mawar – yang membuatnya meragukan cintanya pada bunga mawar di rumah, seekor rubah – yang mengajarkan padanya arti persahabatan dan mengembalikan keyakinannya akan cinta, gunung-gunung yang jauh lebih tinggi daripada ketiga gunung berapinya di rumah, hingga akhirnya dengan seorang penerbang yang terjatuh di tengah Gurun Sahara – Sang Narator. Cerita pun kembali ke masa saat kedua insan ini kehausan di tengah gurun yang kering.

Dalam dunia modern (setidaknya bagi orang dewasa), ketidakpastian dan konsekuensi yang berdampak pada kegemaran pemastian dengan berbagai standar termasuk norma dan angka-angka merupakan keniscayaan. Sebuah hal yang tergambar saat Si Pangeran kebingungan melihat benda yang ternyata sebuah pesawat, dan Sang Narator hanya berpikir “I shall not draw my aeroplane; that would be far too complicated for me” (hlm. 17). Apakah Sang Narator berpikir harus menyajikan gambar teknik ruwet untuk menjelaskan pesawat yang ia naiki? Bisa jadi. Namun pertemuan singkatnya dengan Si Pangeran Kecil seolah menjadi pengingat bahwa ada banyak hal yang acap luput dari pengamatan orang dewasa, bisa jadi karena kurang teliti atau tenggelam dalam absurditas kehidupan sehari-hari, yang ternyata jauh lebih penting. Sebut saja kesetiaan, persahabatan, hingga makna di balik perpisahan. Pada akhirnya, Si Pangeran Kecil mengingatkan Narator, juga kita, bahwa perpisahan, seperti juga apapun, mengandung makna yang hanya dapat dilihat oleh mata hati. Seperti apakah makna yang dimaksud? Mungkin tidak ada jawaban yang pasti. Di mata saya, bintang di langit bisa saja memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan di mata Anda. Namun itulah imajinasi, membuat hidup kita lebih berwarna dengan berjuta pertanyaan dan kemungkinan.

Karier Antoine de Saint-Exupery di bidang penerbangan mulai dari penerbang pos sampai menjadi pilot Angkatan Udara Perancis memberikan latar dasar yang kuat dalam kisah ini. Penggambaran Narator-Pilot yang terdampar di Gurun Sahara merupakan gambaran pengalaman pribadi Saint-Exupery di tahun 1939. Di samping itu, laman Wikipedia dari buku ini menyatakan bahwa buku ini adalah “...an allegory of Saint-ExupĂ©ry's own life—his search for childhood certainties and interior peace, his mysticism, his belief in human courage and brotherhood, and his deep love for his wife Consuelo but also an allusion to the tortured nature of their relationship” – sebuah alegori kehidupan pribadi Saint-Exupery. Selebihnya, walau menggunakan bahasa yang cukup sederhana dari sudut pandang seorang anak, Saint-Exupery mampu menggambarkan latar tempat dan suasana dengan cukup kuat. Sekali lagi, bentuk penceritaan seperti ini seolah mengingatkan kita sekali lagi bahwa dalam sesuatu yang terlihat lugu bisa saja terdapat makna mendalam. Keluguan ini diperkuat dengan berbagai doodling sederhana yang mengilustrasikan tiap kelokan cerita dengan lugas, layaknya buku dongeng pada umumnya yang sarat pesan-pesan bernas di balik bentuk dan  ilustrasinya yang bersahaja. Sayangnya ilustrasi yang terdapat dalam cetakan ini tidak berwarna mengingat ilustrasi dalam manuskrip asli karya ini dilukis dengan cat air berwarna. Andai saja ilustrasi dalam buku ini dicetak dengan warna aslinya, tentunya kemampuan gambar-gambar ini dalam menggambarkan suasana cerita akan semakin kuat. Mungkin saja pilihan mencetak ilustrasi monokrom dilakukan dengan pertimbangan menekan biaya percetakan buku.

Novel mini ini seolah merupakan satu dari banyak bentuk kejengahan atas modernitas hambar yang dimulai sejak Revolusi Industri dan memuncak saat Perang Dunia II, waktu di mana novel mini ini ditulis. Novel mini yang menjewer kita lembut untuk mengingatkan kita agar tidak terlalu membabi buta mengikuti kencangnya arus modernisasi dan melupakan hal-hal yang lebih mendasar dalam kehidupan, yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang jernih. Seperti yang dikatakan oleh Rubah dalam cerita – yang sering disebut sebagai kutipan yang menggambarkan keseluruhan isi buku ini:

“It is only with one’s heart that one can see clearly. What is essential is invisible to the eye” – Sang Rubah (hlm. 82)

Kamis, 02 Februari 2017

V U L G A R: Sebentuk Kabaret Hiphop Vulgar a la Joe Million [Sebuah Bedah Album]


"V U L G A R"
Joe Million
Self-released, 2016
Produser: Senartogok
Beatmaker: Senartogok
Artwork: Senartogok


Berkali-kali mendengar album V U L G A R dari Joe Million (self released, 2016) tiap kali mengantar adik saya berangkat sekolah, saya merasa harus segera menulis ulasan album pertama MC jahat asal Jayapura ini, kalau perlu bedah albumnya. Alasannya sederhana: karena album ini memang keren! Tidak perlu merujuk fakta bahwa Morgue Vanguard menahbiskan album ini sebagai rilisan terbaik 2016 versinya, atau bahwa album ini beberapa kali diulas dengan positif dan disebut dalam list terbaik tahun 2016 walau baru berstatus sebagai pendatang baru. Tidak perlu susah-susah untuk mengamini bahwa V U L G A R adalah salah satu rilisan yang paling bergizi di penghujung tahun 2016: cukup putar dari awal ke akhir, dan biarkan rapping yang mulus, lirik yang puitik, jenius dan terkadang nakal, juga beat sampling-nya yang gahar membombardir genderang telinga Anda, habis-habisan.

Joe tidak lupa membawa serta diksi dan aksen Timurnya yang menjadi ciri khasnya dari dua EP sebelumnya (Enigmatik dan Million Cypher) ke dalam V U L G A R. Berbekal kearifan lokal tadi, rima dan flow Joe yang banyak dipengaruhi Eminem, Nas dan Kendrick Lamar lancar meluncur di atas beat-beat ciptaan beatsmith Senartogok, seniman kenamaan Bandung yang juga merangkap produser sekaligus art worker album ini. Seluruh beat dalam album ini sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu kekayaan tersendiri.

Bayangkan, cakupan sampling yang berkisar dari Berlian Hutauruk sampai Sleep tak pelak juga ikut memperluas pengetahuan saya akan musik yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Hasilnya? Bum! Sebuah album hiphop yang membenamkan banyak rilisan hiphop 2016 lainnya. Kesucian V U L G A R sepertinya hanya dinodai oleh proses mixing yang kurang sempurna dan berakibat kurang terdengarnya kata-kata Joe di beberapa bagian. Beruntung, hal ini dapat diakali oleh adanya bundel lirik yang dapat diunduh bersama album ini secara bebas di situs ini atau dengan memesan deluxe version-nya melalui akun media sosial Senartogok.

Sepertinya panjang-panjang kata ini harus segera disudahi. Berbekal sedikit pengetahuan akan hiphop dan banyak kenekatan, saya akan membedah tiap track dalam album ini. Peringatan: segala resiko malpraktek akibat keasyikan mengkhusyuki V U L G A R tidak ditanggung oleh Penulis.

1.       Persetan (2:58)

Begitu tombol play ditekan, album ini dibuka dengan riff gitar clean yang cukup familiar di telinga saya. Rupa-rupanya Senartogok mengguntingi The Unforgiven III milik raksasa thrash metal Metallica untuk dijadikan sampel untuk track ini. Selama hampir tiga menit, dengan cuek Joe mengoceh menafikkan mereka yang hanya bisa sinis. Tidak main-main, bagi Joe orang-orang semacam itu seharusnya berada di daftar korban Bom Bali. Bagi saya, Persetan adalah sebuah jawaban slengean yang tepat atas segala bentuk sinisme, karena memang Joe sudah kadung menegaskan, “Kau yang ragu padaku, persetan omong kosong!”

2.       Koar Trotoar (2:14)

Bersanding dengan Persetan sebagai track kedua, saya justru merasa Koar Trotoar tampil kurang prima. Beat yang diangkat kurang distingtif serta cerita Joe (yang mungkin) tentang raung trotoar yang ia lewati di suatu malam terlalu sulit dipahami dan kurang kuat sebagai tema. Namun, bukan berarti Koar Trotoar sama sekali tidak layak dinikmati. Joe selalu rajin berbagi rima dengan pendengarnya dan beruntunglah rima yang Joe sajikan selalu penuh nutrisi dan dibalut motive flow yang cantik. Simak saja:

...Tolong tolong hentakku dari kolong-kolong langkahku
Kau olok-olok mengganguku seolah-olah mukaku
teramat borok dan jorok tak cermat kau lap kacamu..”

Cukup indah, bukan?

3.       Dalam Singgasana (2:13)

Saya sedikit menyesalkan fakta bahwa di album ini dua track yang menurut saya paling lemah harus diletakkan bersandingan di bagian awal album. Namun akhirnya saya mengerti, sepertinya kedua track yang saling berdampingan ini adalah sebuah tarikan nafas panjang sebelum menjejak jalangnya sisa lagu dalam V U L G A R. Di Dalam Singgasana, perayaan atas alam atas sadar yang tetap tenang dan sabar itu dirayakan lewat beat yang lebih tenang dan flow yang tetap terjaga: seolah mengajak siaga mengantisipasi apa yang akan terjadi setelah dua menit tigabelas detik lagu ini terlewati.

4.       Sejenak (0:36)

Sebagai interlude pertama album ini, Sejenak mengajak pendengar sejenak menyamakan ritme. Sambil ditingkahi tiupan instrumen a la Timur Tengah (yang mengingatkan saya pada Sen Trope milik Aziz yang acap diputar oleh kawan-kawan satu sekre), persepsi seolah disamakan dahulu sambil goyang kepala santai sebelum melanjutkan perjalanan menyusuri album ini. Selow dulu lah.

5.       Si Miskin Omdonesia (3:31)

Baru terlepas dari interlude, saya langsung diajak melongo dengan keajaiban track satu ini. Harus jujur saya akui kalau Si Miskin Omdonesia merupakan track favorit saya dari banyak aspek. Pencurian sample dari Matahari-nya Berlian Hutauruk yang terdengar sendu terbukti efektif mengiringi “suara sumbang si spesial” Joe tentang sebuah negeri bernama Omdonesia. Negeri mana lagi itu? Sepertinya hanya Joe yang tahu. Yang jelas, Omdonesia selalu dipenuhi nyinyir apatis warga kepada pemimpin mereka, peristiwa kontroversial, dan yang paling penting—sampai-sampai Joe harus membahasnya dalam satu verse penuh—penjajahan bentuk baru juga kekerasan atas nama agama. Semua itu diceritakan Joe dengan pilihan kata yang bernas dan juga tegas. Hampir di penghujung lagu Joe berteriak:

“...Sibuk sengketa karena agama berbeda,
Apa Tripitaka, Alkitab, Quran, dan Weda
Akan membuat darah lebih berwarna merah...
...
...Apa ada Tuhan buat kau tak butuh papan,
Apa ada Tuhan buat kau tak butuh sandang,
Apa ada Tuhan buat kau tak butuh makan,
Ku tak butuh Tuhan jika buatku bunuh lawan!”

Sepertinya kondisi seperti itu cukup familiar bagi saya, hahaha. Sesekali suara tayangan berita bergemeresak  di sela-sela verse, mengabarkan kisah sendu Omdonesia. Kisah yang sukses membuat kagum sekaligus merenung dalam bentuk karya kelas satu ini. Tabik!

6.       Amin (1:47)

Bila saya yang disuruh memilih judul untuk track ini, bukan Amin yang akan saya pilih, melainkan “Anjing!”. Di atas riff terpuji milik Jimi Hendrix, Joe bersumpah atas nama Big Poppa, Nas, dan Tupac untuk kemudian ngebut meluncur 124 BPM sepanjang 42 bar non stop, sendirian, lalu mengajak pendengar beramai-ramai maju menggempur segala penindasan juga omong kosong, dan pada akhirnya meledak tanpa sisa. Kurang gila bagaimana lagi pace satu ini?

7.       Vulgar (3:23)

Sebuah title track yang ngeri, dengan beat yang mengingatkan saya pada scoring salah satu seri Avatar: The Last Airbender di mana Aang mengamuk dan membilas habis pasukan Negara Api dari kediaman Suku Air Utara. Isinya tidak kalah ngeri: pernyataan berani Joe sebagai seorang rapper yang siap memuntahkan “Rima yang bringas resiko meledakkan dendrit” kapan saja dan menggilas siapapun yang ada di hadapannya. Lengkap dengan narasi hidup-mati-bangkitnya Yesus di antara tiap verse, Vulgar pun sukses membuat saya merinding habis-habisan.

8.       Katamorgana (3:50)

Jika Amin saya sebut “anjing!”, maka tidak ada kata lain yang pantas untuk Katamorgana selain “kurangajar!”. Nomor braggadocio sombong ini kabarnya merupakan track favorit beatmaker Senartogok yang mengambil sample Eye Of The Tiger dari Survivor sebagai latar lagu ini (sebuah pilihan yang sangat tepat). Dalam aliran flow yang jenius, Joe dengan jumawa menampik Inul dan Dhani yang menyodorinya kontrak (“Karyaku makaku takkan jual sampai mati”). Ini terdengar sangat jumawa, bahkan apabila disandingkan dengan seluruh lagu Young Lex sekaligus. Namun, ogah jadi naif, Joe tetap berbagi nomor ponsel kalau-kalau akhirnya ia sampai kehabisan nasi. Lewat Katamorgana, Joe berhasil berbagi rasa percaya diri berlebih yang disampaikan dengan cara yang lucu dan ditutup dengan ocehan acak Joe yang apabila disimak baik-baik ternyata juga tidak kalah kocak.

9.       Candu (3:18)

Gulung aku dan bakar lalu hajar,
Karena ku kan hancurkan masalah yang datang menampar,
Asap memanjangkan sabar,
Asap menanggalkan sadar,
Asap mengajak menanjak ke atas menghadap Allah...”

Tidak perlu bersusah payah untuk menangkap apa yang Joe dan Rand Slam ingin sampaikan di lagu ini. Ya, di nomor chill ini Joe berbagi bar dengan Rand Slam, komradnya di kolektif Super Flava. Tidak tanggung-tanggung, Rand Slam menggasak duapertiga bagian dari keseluruhan verse. Berdua, mereka memainkan dadu, ular, dan tangga dan siap naik lebih “tinggi”. Ditingkahi beat yang mendukung suasana, Candu berhasil menjadi track paling dope nomor dua dalam album ini.

10.   Kolong (5:03)

Kembali berkolaborasi dengan Rand Slam, kali ini Joe meratap galau mengungkap kesendirian, ketakutan, dan pilunya diabaikan. Sample dari lagu Black milik Danger Mouse memperkuat kesan gamang yang hadir dalam track ini—gamang yang semakin memuncak segelap kolong ketika bersama Norah Jones Joe bernyanyi parau, “Until you travel to that place you can’t comeback, where the last pain is gone and all that’s left is black.” Menurut saya, Kolong adalah track paling introspektif dalam V U L G A R dan sukses memberi warna unik nan mencekam dalam album ini.

11.   Let My Blood Be A Seed Of Freedom (5:08)

Singkatnya, track ini adalah sebuah ode perjuangan dan pembebasan a la Joe Million. Tiap bait yang Joe bacakan seolah mengamini sabda Oscar Romero—uskup masyhur pencetus Teologi Pembebasan itu—yang melantun via The Project dan di-sampling dengan sempurna menjadi reff yang sama membiusnya dengan flow Joe di lagu ini, serta menjadi judul track ini. Jika kita membicarakan Joe, pembebasan yang ia maksud tentunya hadir dalam bentuk rap dibalut rima dan flow memukau yang menghunjam tepat di ulu hati. Testamen yang sukses mengantar pendengar menuju klimaks menikmati Joe Million.

12.   Terbawa x Peluru (1:53)

Hanya ada satu penyebab Candu gagal menjadi track paling “tinggi” di V U L G A R: interlude 1 menit 53 detik ini. Sekarang, bagaimana cara mengalahkan beat sampling singkat, lambat, dan berat khas musik psikedelik macam Tame Impala (jika tidak boleh disamakan dengan Om atau Sunn O))) ) yang digagahi oleh racau diperlambat Joe ini? Jawabannya: tidak ada kemabukan lain yang dapat mengalahkan kemabukan macam Terbawa x Peluru. Belum sempat bertele-tele terlalu lama... DOR! Tiba-tiba saja lagu ini berhenti, seolah dikandaskan dari jauh oleh seorang penembak jitu. Dan ungkapan Joe di akhir: layaknya Chairil Anwar membawa lari luka dan bisa, akan ia bawa peluru di kepalanya untuk merajut seribu mimpinya. Inilah puncak yang sempurna untuk kabaret hiphop vulgar a la Joe Million ini.

13.   Menunda Mati (2:56)


Jika Anda menyangka semua ini sudah berakhir, Anda salah besar. Walau sudah berhasil memuncak dengan luar biasa di Terbawa x Peluru, Joe memilih menunda berakhirnya album ini untuk berbagi mikrofon dengan Senartogok dalam Menunda Mati. Mungkin track ini adalah sebuah pendinginan yang melegakan namun tetap tegas. Setelah Joe dengan sempurna mengamuk dan melempar Nuh dan Sangkuriang—lengkap bersama perahu mereka—ke Puncak Himalaya, Senartogok menyahut dengan aliran, lebih tepatnya rentetan kata-kata a la Homicide, menembaki segala arah dan menumbangkan semua, mulai dari Dostoyevski sampai Ahok tanpa sisa. Sampling lagu ini juga menggarisbawahi kedigdayaan beatmaking Senartogok. Dengan sample dari Dragonaut milik Sleep, Senartogok sukses meramu beat dengan beberapa break cerdas di sana-sini berbumbu sesekali permainan bassline Tame Impala yang sangat klop dengan keseluruhan verse dalam Menunda Mati. Lagu ini seolah merupakan tanda terima kasih Joe untuk Senartogok dan sekaligus menjadi sebuah pernyataan tegas darinya: hidup adalah sebuah arena raksasa untuk terus berkarya, walau harus mati-matian menunda mati. Apakah penundaan kematian Joe ini nantinya mampu membuahkan karya lain yang paling tidak setara, atau mungkin lebih baik dari album luar biasa ini? Kita tunggu saja.