Kamis, 09 Februari 2017

[ULASAN BUKU] Kambing dan Hujan (2015)


Pengarang: Mahfud Ikhwan
Judul: Kambing dan Hujan
Tebal: 374 halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015

Tidak perlu terlalu jauh membayangkan perbedaan agama untuk membayangkan kepelikan hubungan antar-manusia yang selalu dikelindani oleh perbedaan. Perbedaan masjid belaka—walau hanya dipisahkan oleh seruas jalan dan sepetak tanah kosong—sudah dapat memunculkan berbagai persoalan sendiri, mulai dari perbedaan tentang qunut shalat subuh, niat sebelum shalat, tatacara Jumatan, hingga perbedaan waktu puasa dan hari raya. Realita yang terjadi di sekitar perbedaan inilah yang sepertinya hendak diangkat oleh Makhfud Ikhwan dalam novelnya, Kambing Dan Hujan.

Kalau ditanya apakah mereka lebih senang lebaran sama-sama atau berbeda, tentu saja mereka akan menjawab tegas: lebih senang sama-sama. (hlm. 240)

Cerita pada awalnya berfokus pada hubungan “terlarang” kedua muda-mudi sekampung yang masing-masing berasal dari dua masjid yang berbeda itu. Miftahul Abrar, pemuda itu, tumbuh dalam tradisi islam pembaruan yang dianut oleh Masjid Utara. Sedangkan Nurul Fauzia, pasangannya, adalah anak seorang tokoh Masjid Selatan, masjid di kampung itu yang beraliran lebih tradisional. Walaupun keduanya saling mencintai dengan mantap dan berencana menuju ke jenjang yang lebih serius, tak pelak perbedaan pandangan mengenai Islam ini menjadi penghalang mereka. Tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja, mereka tetap mengusahakan untuk menyeberangi jembatan budaya yang sebenarnya hampir mustahil dilalui itu.

Di tengah upaya itu, secara tidak terduga mereka justru menemukan sejarah munculnya perbedaan pandangan Islam di Dusun Centong, kampung mereka—juga secuil rahasia masa lalu yang mengambil latarbelakang perbedaan ini. Tidak pernah disangka sebelumnya bahwa Pak Iskandar, ayah Mif, dan Pak Fauzan, ayah Zia, dulunya adalah sahabat dekat yang sudah seperti saudara kandung. Melalui narasi kedua orang ayah ini, surat-surat yang saling bertukar di antara mereka, serta kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang di sekitar mereka, cerita masa lalu Is dan Mat—panggilan masa kecil Pak Iskandar dan Pak Fauzan—pun mengalir. Dikisahkan bahwa kedua sahabat yang acap menghabiskan waktu di Gumuk Genjik—bukit di utara kampung mereka—itu mulai mengalami perbedaan cara pandang terhadap agama saat mereka menimba sumber pengetahuan agama dari sumber yang berbeda. Lucunya, kedua sahabat ini masing-masing memiliki mentor panutan yang sama-sama bernama Ali: Cak Ali dan Mas Ali. Mat yang memperoleh pendidikan Islam tradisional di salah satu pesantren salaf Jombang perlahan merasakan bahwa gerakan pembaruan yang dibawa oleh Is, Cak Ali, dan kawan-kawannya mulai bergesekan dengan masyarakat dan tetua masjid di kampung itu—yang nantinya akan menjadi Masjid Selatan. Tidak lama berselang, didirikanlah mushola yang nantinya akan jadi cikal bakal Masjid Utara. Sejak hari itu, jamaah Centong seolah terbagi dua.

Ada dua adzan yang bersaing, seperti beradu merdu, Menjelang shalat dimulai, segera terlihat ada dua rombongan jamaah yang bersimpang arah. Ya, ada dua umat di desa kecil terpencil ini. (hlm. 219)

Hubungan Is dan Mat sendiri pun merenggang. Keadaan ini diperparah oleh ajakan satu sama lain untuk menjadi guru di madrasah masing-masing yang tentunya sulit untuk diterima satu sama lain. Ditambah pula masalah cinta segitiga yang berjangkit di antara mereka, hubungan mereka pun memburuk. Namun seiring berjalannya waktu bukan berarti tidak ada usaha dari keduanya untuk berdamai. Sayangnya, kemauan itu selalu terhalang kesalahpahaman. Lagipula, bukankah sulit untuk mencairkan kembali hubungan yang sudah terlanjur demikian rikuh?

Kembali ke tahun 2000-an, Mif dan Fauzia masih tetap berusaha mempertahankan hubungan mereka, walau mulai dirundung keputus asaan. Di tengah kemelut itu muncul Pak Anwar yang merupakan saudara jauh Is dan Mat menjadi penengah di antara mereka. Dengan berbekal pengalaman buruk yang ia terima akibat perpecahan di kampung itu dan melihat kemungkinan terjadinya rekonsiliasi melalui Mif dan Fauzia, Pak Anwar berusaha mendamaikan kedua sahabat yang berperang dingin itu. Apakah usaha Pak Anwar membuahkan hasil? Apakah Mif dan Fauzia dapat bersatu?

Bah! Orangtua macam apa kalian ini? Kalian lebih bocah dari bocah, Kalian jadikan anak-anak kalian jangkrik aduan, dan kalian senang melihat mereka saling pukul. (hlm. 337)

Dalam bercerita, Mahfud Ikhwan tidak bersikap otoriter dalam bernarasi. Ia acap berbagi dengan Is, Mat, juga tokoh-tokoh lain untuk menceritakan latar belakang dari kisah ini. Keseluruhan cerita akhirnya terangkum menjadi sebentuk alur bolak-balik yang tidak membosankan, lengkap dengan sudut pandang dari kedua belah pihak yang berkonflik. Susunan alur yang berpola bolak-balik, bahkan ketika menyentuh kurun tahun 2000-an, dan pengulangan cerita dari sudut pandang yang berbeda kadang membuat saya harus berpikir agak keras menyatukan keseluruhan alur menjadi sebuah cerita yang terpahami secara utuh. Namun di sisi lain, pengkondisian alur yang demikian dapat membuat pembaca berusaha memahami lebih dalam permasalahan dalam cerita sembari mengikuti alur, di samping tentu saja membuat penceritaan terkesan lebih hidup. Mahfud juga berani menambah warna dalam ceritanya dengan menambahkan unsur pendekatan sejarah melalui tokoh Mif yang merupakan lulusan Jurusan Sejarah salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

Novel ini secara singkat menggambarkan keragaman yang ada dalam Indonesia. Apabila terjadi persinggungan dalam perbedaan itu, tentu akan muncul persoalan-persoalan yang harus dihadapi pihak-pihak di dalamnya. Di tengah keragaman itu, novel ini berusaha menghadirkan sebuah alternatif mengenai bagaimana menghadapi perbedaan tanpa harus menyeragamkan unsur-unsur yang dikandung di dalamnya. Kehidupan manusia selalu dilatari oleh pengalaman yang berbeda-beda. Lantas, pengalaman inilah yang akan membuat cara pandang manusia terhadap kehidupan, agama, dan bahkan Tuhan akan berbeda-beda. Apakah keniscayaan ini akan mengutuk manusia sehingga mereka tidak bisa hidup berdampingan dengan damai? Kambing Dan Hujan di sini mengajak pembacanya untuk merenungkan pertanyaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar