Pengarang: Mahfud Ikhwan
Judul: Kambing dan Hujan
Tebal: 374 halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015
Tidak perlu terlalu jauh membayangkan perbedaan agama untuk
membayangkan kepelikan hubungan antar-manusia yang selalu dikelindani oleh
perbedaan. Perbedaan masjid belaka—walau hanya dipisahkan oleh seruas jalan dan
sepetak tanah kosong—sudah dapat memunculkan berbagai persoalan sendiri, mulai
dari perbedaan tentang qunut shalat subuh, niat sebelum shalat, tatacara
Jumatan, hingga perbedaan waktu puasa dan hari raya. Realita yang terjadi di
sekitar perbedaan inilah yang sepertinya hendak diangkat oleh Makhfud Ikhwan
dalam novelnya, Kambing Dan Hujan.
Kalau
ditanya apakah mereka lebih senang lebaran sama-sama atau berbeda, tentu saja
mereka akan menjawab tegas: lebih senang sama-sama. (hlm. 240)
Cerita pada awalnya berfokus pada hubungan “terlarang” kedua muda-mudi
sekampung yang masing-masing berasal dari dua masjid yang berbeda itu. Miftahul
Abrar, pemuda itu, tumbuh dalam tradisi islam pembaruan yang dianut oleh Masjid
Utara. Sedangkan Nurul Fauzia, pasangannya, adalah anak seorang tokoh Masjid
Selatan, masjid di kampung itu yang beraliran lebih tradisional. Walaupun
keduanya saling mencintai dengan mantap dan berencana menuju ke jenjang yang
lebih serius, tak pelak perbedaan pandangan mengenai Islam ini menjadi
penghalang mereka. Tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja, mereka tetap
mengusahakan untuk menyeberangi jembatan budaya yang sebenarnya hampir mustahil
dilalui itu.
Di tengah upaya itu, secara tidak terduga mereka justru menemukan
sejarah munculnya perbedaan pandangan Islam di Dusun Centong, kampung
mereka—juga secuil rahasia masa lalu yang mengambil latarbelakang perbedaan
ini. Tidak pernah disangka sebelumnya bahwa Pak Iskandar, ayah Mif, dan Pak
Fauzan, ayah Zia, dulunya adalah sahabat dekat yang sudah seperti saudara
kandung. Melalui narasi kedua orang ayah ini, surat-surat yang saling bertukar
di antara mereka, serta kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang di
sekitar mereka, cerita masa lalu Is dan Mat—panggilan masa kecil Pak Iskandar
dan Pak Fauzan—pun mengalir. Dikisahkan bahwa kedua sahabat yang acap
menghabiskan waktu di Gumuk Genjik—bukit di utara kampung mereka—itu mulai
mengalami perbedaan cara pandang terhadap agama saat mereka menimba sumber
pengetahuan agama dari sumber yang berbeda. Lucunya, kedua sahabat ini
masing-masing memiliki mentor panutan yang sama-sama bernama Ali: Cak Ali dan
Mas Ali. Mat yang memperoleh pendidikan Islam tradisional di salah satu
pesantren salaf Jombang perlahan merasakan bahwa gerakan pembaruan yang
dibawa oleh Is, Cak Ali, dan kawan-kawannya mulai bergesekan dengan masyarakat
dan tetua masjid di kampung itu—yang nantinya akan menjadi Masjid Selatan.
Tidak lama berselang, didirikanlah mushola yang nantinya akan jadi cikal bakal
Masjid Utara. Sejak hari itu, jamaah Centong seolah terbagi dua.
Ada dua adzan yang
bersaing, seperti beradu merdu, Menjelang shalat dimulai, segera terlihat ada
dua rombongan jamaah yang bersimpang arah. Ya, ada dua umat di desa kecil
terpencil ini. (hlm. 219)
Hubungan
Is dan Mat sendiri pun merenggang. Keadaan ini diperparah oleh ajakan satu sama
lain untuk menjadi guru di madrasah masing-masing yang tentunya sulit untuk
diterima satu sama lain. Ditambah pula masalah cinta segitiga yang berjangkit
di antara mereka, hubungan mereka pun memburuk. Namun seiring berjalannya waktu
bukan berarti tidak ada usaha dari keduanya untuk berdamai. Sayangnya, kemauan
itu selalu terhalang kesalahpahaman. Lagipula, bukankah sulit untuk mencairkan
kembali hubungan yang sudah terlanjur demikian rikuh?
Kembali
ke tahun 2000-an, Mif dan Fauzia masih tetap berusaha mempertahankan hubungan
mereka, walau mulai dirundung keputus asaan. Di tengah kemelut itu muncul Pak
Anwar yang merupakan saudara jauh Is dan Mat menjadi penengah di antara mereka.
Dengan berbekal pengalaman buruk yang ia terima akibat perpecahan di kampung
itu dan melihat kemungkinan terjadinya rekonsiliasi melalui Mif dan Fauzia, Pak
Anwar berusaha mendamaikan kedua sahabat yang berperang dingin itu. Apakah
usaha Pak Anwar membuahkan hasil? Apakah Mif dan Fauzia dapat bersatu?
Bah! Orangtua macam apa
kalian ini? Kalian lebih bocah dari bocah, Kalian jadikan anak-anak kalian
jangkrik aduan, dan kalian senang melihat mereka saling pukul. (hlm. 337)
Dalam
bercerita, Mahfud Ikhwan tidak bersikap otoriter dalam bernarasi. Ia acap
berbagi dengan Is, Mat, juga tokoh-tokoh lain untuk menceritakan latar belakang
dari kisah ini. Keseluruhan cerita akhirnya terangkum menjadi sebentuk alur
bolak-balik yang tidak membosankan, lengkap dengan sudut pandang dari kedua
belah pihak yang berkonflik. Susunan alur yang berpola bolak-balik, bahkan
ketika menyentuh kurun tahun 2000-an, dan pengulangan cerita dari sudut pandang
yang berbeda kadang membuat saya harus berpikir agak keras menyatukan
keseluruhan alur menjadi sebuah cerita yang terpahami secara utuh. Namun di
sisi lain, pengkondisian alur yang demikian dapat membuat pembaca berusaha memahami
lebih dalam permasalahan dalam cerita sembari mengikuti alur, di samping tentu
saja membuat penceritaan terkesan lebih hidup. Mahfud juga berani menambah
warna dalam ceritanya dengan menambahkan unsur pendekatan sejarah melalui tokoh
Mif yang merupakan lulusan Jurusan Sejarah salah satu perguruan tinggi di
Yogyakarta.
Novel
ini secara singkat menggambarkan keragaman yang ada dalam Indonesia. Apabila
terjadi persinggungan dalam perbedaan itu, tentu akan muncul
persoalan-persoalan yang harus dihadapi pihak-pihak di dalamnya. Di tengah
keragaman itu, novel ini berusaha menghadirkan sebuah alternatif mengenai
bagaimana menghadapi perbedaan tanpa harus menyeragamkan unsur-unsur yang
dikandung di dalamnya. Kehidupan manusia selalu dilatari oleh pengalaman yang
berbeda-beda. Lantas, pengalaman inilah yang akan membuat cara pandang manusia
terhadap kehidupan, agama, dan bahkan Tuhan akan berbeda-beda. Apakah
keniscayaan ini akan mengutuk manusia sehingga mereka tidak bisa hidup
berdampingan dengan damai? Kambing Dan Hujan di sini mengajak pembacanya
untuk merenungkan pertanyaan itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar