Senin, 12 Maret 2018

Doa di Beranda Fesbuk (juga caption Instagram) Seorang Pendengki

Selamat malam, Tuhanku. Sekali ini aku mengajakmu berbincang. Di jeda lamunku yang selalu sibuk, di sela antara kiriman foto wisuda, foto nikahan, dan pertengkaran sengit di media sosial, kusisipkan waktu untuk bercakap denganmu. Sekali ini saja, Tuhanku, dengarkanlah doa hambamu. Hambamu, pendengki yang satu ini.

***

Tuhanku, duniamu kini sudah penuh sesak. Rusak sudah tatanan yang dibuat oleh kami – hamba-hambamu yang Kau cintai. Kami bingung, kebutuhan mana yang harus kami dahulukan. Kami ciptakan jaring-jaring raksasa untuk menangkap semua yang kami butuhkan. Celaka bagi kami: sekarang kami terjebak, terjerat, terlilit untai masai jaring-jaring itu. Sekarang kami saling menuntut dan saling dituntut. Kami tersenyum, sungging senyum palsu, untuk saling bersalam dan saling menikam.
Aku silau menatap senyum-senyum itu. Senyam-senyum di beranda Fesbuk, beranda yang selalu kutatap semalam suntuk.

Tuhanku, tolong. Banyak orang berisik dan pamer di media sosial. Sayangnya, aku sudah tidak mampu menutup mata. Aku terlanjur jadi pendengki, media sosial pun sudah jadi kenyataan semu baru bagiku.

Tuhanku, pernahkah Kau lihat beranda Fesbukmu? Lihat itu hamba-hambamu yang Kau sayangi. Betapa indahnya hidup mereka. Dapat istri satu, beranak dua, beli mobil tiga, sabet empat gelar. Jutaan kota mereka sambangi. Di sana mereka bersyukur, berkabar akan nikmatmu nan tiada tara. Seisi dunia harus tahu.

Tuhanku, coba cek lini masa Tuitermu. Lihat hamba-hambamu itu. Mereka sudah jadi ahli politik ekonomi sosial budaya moral kenakalan remaja, menebar sabda mengabar dakwah. Sungguh hebat mereka, seisi dunia harus tahu begawan-begawan segala bidang yang sekejap lahir itu. Pastikan Kau menekan tombol Rituit di bawah tiap sabda mereka itu.

Tuhanku, sudahkah Kau jadi selebgram? Bila sudah, tolong follow aku, si pendengki ini. Barangkali nanti kubeli obat dengki endorse-anmu itu.

Terbakar tatapku ditimpa mereka. Namun bagaimana, Tuhanku, inilah kenyataan, entah ciptaan siapa kenyataan ini. Pinjamilah aku kedua matamu: kenyataan ini menghempasku, namun aku tak punya pilihan. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya.

Tuhanku, tolong aku. Bisa apa aku sekarang? Tanpamu, tersesatlah si pendengki ini di antara tawa mereka. Aku sama sekali bukan selebritas. Aku tidak punya apapun untuk dipamerkan, hanya bisa mendengki. Bahkan aku tidak bisa menulis doa ini di peak hour, kala oplah sedang tinggi-tingginya. Waktuku habis untuk melamun: kapan mereka bisa kupameri foto-foto anakku, istriku, mobilku, rumahku, pulauku, kebijaksanaanku, kehebatanku – duniaku? Kawan-kawanku yang semuanya selebritas itu, sepertinya mereka sangat bahagia dengan hidup mereka. Oh Tuhan, inilah kenyataan baru itu. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya. Kenyataan ini sungguh indah sekali, sungguh bersinar, terlebih bila aku mampu jadi tuhan di dalamnya.

***

Oh Tuhanku, aku tidak punya pilihan lain. Tolong aku, Tuhan. Habisi saja dunia fana yang tak layak kuhidupi itu. Lemparkanlah segala yang hidup ke jaring-jaring ini. Ikatlah dengan temali kenyataan baru ini, biar aku, si pendengki satu ini, nantinya bisa tersenyum seperti kawan-kawanku. Kalaupun tidak bisa, biarlah kedengkian jadi tuhan baruku. Lebur aku bersamanya, menafikkan segala yang niscaya.

Ditulis dengan penuh dengki kala itu.
Bandung, 2016

Minggu, 25 Februari 2018

Tentang Jakarta

Jakarta, Jakarta.

Dan semua gelisahmu menjelang gelita.
Belajar kami cintai wajah kelabumu
sembari mencoba mencuri senjamu yang jelita

Dan ketika pukul enam hanya menyisakan deru angin dan kumandang adzan maghrib
aku kembali merindukannya. Beserta segenap kenangan tentang Jakarta.

Jakarta - Bandung, 24-25 Februari 2018

Selasa, 20 Februari 2018

Forever (?)

Here we are

In a room full of silly coincidences
Longing for a transendence
Battling with some ugly incidents
While through spacetime, we'll love and live,
And dance


Forever.

Bandung, 20 Februari 2018

Selasa, 13 Februari 2018

Kontinum

Karena waktu adalah suatu ruang kontinum. Sulit untuk memaknainya selain dengan memecahnya menjadi kapsul-kapsul diskret kecil yang harus diberi makna sendiri satu persatu. Sekalinya lepas makna darinya, hilang sudah.

Salah pemaknaan akan menimbulkan gelembung-gelembung turbulensi. Ia akan terhambur, lalu memutar balik menghancurkan dirinya sendiri. Menjadi kumpulan diskret bebatuan yang menghujani dan melukai. Merajam dengan tajam.

Oleh karenanya, menanti tanpa kepastian adalah hukuman mati yang paling kejam.

Bandung, 13 Februari 2018