SMK Penerbangan Angkasa Singosari adalah salah satu SMK di Kabupaten Malang yang berfokus pada bidang keteknikan, utamanya terkait dengan Teknik Mesin dan Pemeliharaan Pesawat Udara. Sebagai SMK yang bergerak di bidang teknik, peningkatan kompetensi guru di bidang teknik harus dijalankan, di mana salah satu kompetensi tersebut adalah penguasaan software CAD. Terlebih lagi, pada tahun 2023 SMK Penerbangan Angkasa Singosari mendirikan Jurusan Teknik Permesinan yang mana software CAD menjadi salah satu alat bantu yang paling sering dipergunakan. Untuk meningkatkan kompetensi guru dan juga siswa SMK Penerbangan Angkasa Singosari, Tim Pengabdian Kepada Masyarakat menyelenggarakan pelatihan untuk mengoperasikan software berbasis CAD, yaitu Solidworks. Diharapkan melalui pelatihan ini, kompetensi guru utamanya di Jurusan Teknik Permesinan dapat ditingkatkan sehingga pada gilirannya kualitas lulusan SMK Penerbangan Angkasa Singosari dapat ditingkatkan hingga mampu bersaingan di pasar tenaga kerja global.
Odradeka
What if the purpose finding is the purpose itself?
Jumat, 11 Oktober 2024
Pelaksanaan Pelatihan Solidworks untuk Guru SMK Penerbangan Angkasa Singosari, Malang
Kegiatan dijalankan di SMK
Penerbangan Angkasa Singosari, Malang, tepatnya di Laboratorium Komputer selama
dua hari, yaitu 24 September dan 2 Oktober 2024. Adapun durasi total
pelaksanaan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat dimulai dari kegiatan survei,
rapat koordinasi, hingga pelaksanaan kegiatan adalah 6 bulan. Dalam rentang
itu, tahap yang dilakukan adalah menentukan cakupan pelatihan, peserta
pelatihan, pelaksanaan pelatihan, evaluasi, dan penulisan laporan.
Suasana kegiatan pelatihan
Foto bersama peserta pelatihan
Pelaksanaan pelatihan ini
membawa manfaat bagi peserta pelatihan, yaitu peningkatan kompetensi guru SMK
Penerbangan Angkasa Singosari yang berguna untuk meningkatkan kualitas kegiatan
belajar mengajar, khususnya di jurusan permesinan SMK Penerbangan Angkasa,
Singosari. Meningkatnya kompetensi guru ini diharapkan juga dapat meningkatkan
kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik.
Senin, 12 Maret 2018
Doa di Beranda Fesbuk (juga caption Instagram) Seorang Pendengki
Selamat malam, Tuhanku. Sekali ini aku mengajakmu berbincang. Di jeda lamunku yang selalu sibuk, di sela antara kiriman foto wisuda, foto nikahan, dan pertengkaran sengit di media sosial, kusisipkan waktu untuk bercakap denganmu. Sekali ini saja, Tuhanku, dengarkanlah doa hambamu. Hambamu, pendengki yang satu ini.
***
Tuhanku, duniamu kini sudah penuh sesak. Rusak sudah tatanan yang dibuat oleh kami – hamba-hambamu yang Kau cintai. Kami bingung, kebutuhan mana yang harus kami dahulukan. Kami ciptakan jaring-jaring raksasa untuk menangkap semua yang kami butuhkan. Celaka bagi kami: sekarang kami terjebak, terjerat, terlilit untai masai jaring-jaring itu. Sekarang kami saling menuntut dan saling dituntut. Kami tersenyum, sungging senyum palsu, untuk saling bersalam dan saling menikam.
Aku silau menatap senyum-senyum itu. Senyam-senyum di beranda Fesbuk, beranda yang selalu kutatap semalam suntuk.
Tuhanku, tolong. Banyak orang berisik dan pamer di media sosial. Sayangnya, aku sudah tidak mampu menutup mata. Aku terlanjur jadi pendengki, media sosial pun sudah jadi kenyataan semu baru bagiku.
Tuhanku, pernahkah Kau lihat beranda Fesbukmu? Lihat itu hamba-hambamu yang Kau sayangi. Betapa indahnya hidup mereka. Dapat istri satu, beranak dua, beli mobil tiga, sabet empat gelar. Jutaan kota mereka sambangi. Di sana mereka bersyukur, berkabar akan nikmatmu nan tiada tara. Seisi dunia harus tahu.
Tuhanku, coba cek lini masa Tuitermu. Lihat hamba-hambamu itu. Mereka sudah jadi ahli politik ekonomi sosial budaya moral kenakalan remaja, menebar sabda mengabar dakwah. Sungguh hebat mereka, seisi dunia harus tahu begawan-begawan segala bidang yang sekejap lahir itu. Pastikan Kau menekan tombol Rituit di bawah tiap sabda mereka itu.
Tuhanku, sudahkah Kau jadi selebgram? Bila sudah, tolong follow aku, si pendengki ini. Barangkali nanti kubeli obat dengki endorse-anmu itu.
Terbakar tatapku ditimpa mereka. Namun bagaimana, Tuhanku, inilah kenyataan, entah ciptaan siapa kenyataan ini. Pinjamilah aku kedua matamu: kenyataan ini menghempasku, namun aku tak punya pilihan. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya.
Tuhanku, tolong aku. Bisa apa aku sekarang? Tanpamu, tersesatlah si pendengki ini di antara tawa mereka. Aku sama sekali bukan selebritas. Aku tidak punya apapun untuk dipamerkan, hanya bisa mendengki. Bahkan aku tidak bisa menulis doa ini di peak hour, kala oplah sedang tinggi-tingginya. Waktuku habis untuk melamun: kapan mereka bisa kupameri foto-foto anakku, istriku, mobilku, rumahku, pulauku, kebijaksanaanku, kehebatanku – duniaku? Kawan-kawanku yang semuanya selebritas itu, sepertinya mereka sangat bahagia dengan hidup mereka. Oh Tuhan, inilah kenyataan baru itu. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya. Kenyataan ini sungguh indah sekali, sungguh bersinar, terlebih bila aku mampu jadi tuhan di dalamnya.
***
Oh Tuhanku, aku tidak punya pilihan lain. Tolong aku, Tuhan. Habisi saja dunia fana yang tak layak kuhidupi itu. Lemparkanlah segala yang hidup ke jaring-jaring ini. Ikatlah dengan temali kenyataan baru ini, biar aku, si pendengki satu ini, nantinya bisa tersenyum seperti kawan-kawanku. Kalaupun tidak bisa, biarlah kedengkian jadi tuhan baruku. Lebur aku bersamanya, menafikkan segala yang niscaya.
Ditulis dengan penuh dengki kala itu.
Bandung, 2016
***
Tuhanku, duniamu kini sudah penuh sesak. Rusak sudah tatanan yang dibuat oleh kami – hamba-hambamu yang Kau cintai. Kami bingung, kebutuhan mana yang harus kami dahulukan. Kami ciptakan jaring-jaring raksasa untuk menangkap semua yang kami butuhkan. Celaka bagi kami: sekarang kami terjebak, terjerat, terlilit untai masai jaring-jaring itu. Sekarang kami saling menuntut dan saling dituntut. Kami tersenyum, sungging senyum palsu, untuk saling bersalam dan saling menikam.
Aku silau menatap senyum-senyum itu. Senyam-senyum di beranda Fesbuk, beranda yang selalu kutatap semalam suntuk.
Tuhanku, tolong. Banyak orang berisik dan pamer di media sosial. Sayangnya, aku sudah tidak mampu menutup mata. Aku terlanjur jadi pendengki, media sosial pun sudah jadi kenyataan semu baru bagiku.
Tuhanku, pernahkah Kau lihat beranda Fesbukmu? Lihat itu hamba-hambamu yang Kau sayangi. Betapa indahnya hidup mereka. Dapat istri satu, beranak dua, beli mobil tiga, sabet empat gelar. Jutaan kota mereka sambangi. Di sana mereka bersyukur, berkabar akan nikmatmu nan tiada tara. Seisi dunia harus tahu.
Tuhanku, coba cek lini masa Tuitermu. Lihat hamba-hambamu itu. Mereka sudah jadi ahli politik ekonomi sosial budaya moral kenakalan remaja, menebar sabda mengabar dakwah. Sungguh hebat mereka, seisi dunia harus tahu begawan-begawan segala bidang yang sekejap lahir itu. Pastikan Kau menekan tombol Rituit di bawah tiap sabda mereka itu.
Tuhanku, sudahkah Kau jadi selebgram? Bila sudah, tolong follow aku, si pendengki ini. Barangkali nanti kubeli obat dengki endorse-anmu itu.
Terbakar tatapku ditimpa mereka. Namun bagaimana, Tuhanku, inilah kenyataan, entah ciptaan siapa kenyataan ini. Pinjamilah aku kedua matamu: kenyataan ini menghempasku, namun aku tak punya pilihan. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya.
Tuhanku, tolong aku. Bisa apa aku sekarang? Tanpamu, tersesatlah si pendengki ini di antara tawa mereka. Aku sama sekali bukan selebritas. Aku tidak punya apapun untuk dipamerkan, hanya bisa mendengki. Bahkan aku tidak bisa menulis doa ini di peak hour, kala oplah sedang tinggi-tingginya. Waktuku habis untuk melamun: kapan mereka bisa kupameri foto-foto anakku, istriku, mobilku, rumahku, pulauku, kebijaksanaanku, kehebatanku – duniaku? Kawan-kawanku yang semuanya selebritas itu, sepertinya mereka sangat bahagia dengan hidup mereka. Oh Tuhan, inilah kenyataan baru itu. Aku harus hidup di dalamnya. Aku ingin bisa hidup di dalamnya. Kenyataan ini sungguh indah sekali, sungguh bersinar, terlebih bila aku mampu jadi tuhan di dalamnya.
***
Oh Tuhanku, aku tidak punya pilihan lain. Tolong aku, Tuhan. Habisi saja dunia fana yang tak layak kuhidupi itu. Lemparkanlah segala yang hidup ke jaring-jaring ini. Ikatlah dengan temali kenyataan baru ini, biar aku, si pendengki satu ini, nantinya bisa tersenyum seperti kawan-kawanku. Kalaupun tidak bisa, biarlah kedengkian jadi tuhan baruku. Lebur aku bersamanya, menafikkan segala yang niscaya.
Ditulis dengan penuh dengki kala itu.
Bandung, 2016
Minggu, 25 Februari 2018
Tentang Jakarta
Jakarta, Jakarta.
Dan semua gelisahmu menjelang gelita.
Belajar kami cintai wajah kelabumu
sembari mencoba mencuri senjamu yang jelita
Dan ketika pukul enam hanya menyisakan deru angin dan kumandang adzan maghrib
aku kembali merindukannya. Beserta segenap kenangan tentang Jakarta.
Jakarta - Bandung, 24-25 Februari 2018
Selasa, 20 Februari 2018
Forever (?)
Here we are
In a room full of silly coincidences
Longing for a transendence
Longing for a transendence
Battling with some ugly incidents
While through spacetime, we'll love and live,
And dance
Forever.
Bandung, 20 Februari 2018
Selasa, 13 Februari 2018
Kontinum
Karena waktu adalah suatu ruang kontinum. Sulit untuk memaknainya selain dengan memecahnya menjadi kapsul-kapsul diskret kecil yang harus diberi makna sendiri satu persatu. Sekalinya lepas makna darinya, hilang sudah.
Salah pemaknaan akan menimbulkan gelembung-gelembung turbulensi. Ia akan terhambur, lalu memutar balik menghancurkan dirinya sendiri. Menjadi kumpulan diskret bebatuan yang menghujani dan melukai. Merajam dengan tajam.
Oleh karenanya, menanti tanpa kepastian adalah hukuman mati yang paling kejam.
Bandung, 13 Februari 2018
Salah pemaknaan akan menimbulkan gelembung-gelembung turbulensi. Ia akan terhambur, lalu memutar balik menghancurkan dirinya sendiri. Menjadi kumpulan diskret bebatuan yang menghujani dan melukai. Merajam dengan tajam.
Oleh karenanya, menanti tanpa kepastian adalah hukuman mati yang paling kejam.
Bandung, 13 Februari 2018
Kamis, 09 Februari 2017
[ULASAN BUKU] Kambing dan Hujan (2015)
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Judul: Kambing dan Hujan
Tebal: 374 halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015
Tidak perlu terlalu jauh membayangkan perbedaan agama untuk
membayangkan kepelikan hubungan antar-manusia yang selalu dikelindani oleh
perbedaan. Perbedaan masjid belaka—walau hanya dipisahkan oleh seruas jalan dan
sepetak tanah kosong—sudah dapat memunculkan berbagai persoalan sendiri, mulai
dari perbedaan tentang qunut shalat subuh, niat sebelum shalat, tatacara
Jumatan, hingga perbedaan waktu puasa dan hari raya. Realita yang terjadi di
sekitar perbedaan inilah yang sepertinya hendak diangkat oleh Makhfud Ikhwan
dalam novelnya, Kambing Dan Hujan.
Kalau
ditanya apakah mereka lebih senang lebaran sama-sama atau berbeda, tentu saja
mereka akan menjawab tegas: lebih senang sama-sama. (hlm. 240)
Cerita pada awalnya berfokus pada hubungan “terlarang” kedua muda-mudi
sekampung yang masing-masing berasal dari dua masjid yang berbeda itu. Miftahul
Abrar, pemuda itu, tumbuh dalam tradisi islam pembaruan yang dianut oleh Masjid
Utara. Sedangkan Nurul Fauzia, pasangannya, adalah anak seorang tokoh Masjid
Selatan, masjid di kampung itu yang beraliran lebih tradisional. Walaupun
keduanya saling mencintai dengan mantap dan berencana menuju ke jenjang yang
lebih serius, tak pelak perbedaan pandangan mengenai Islam ini menjadi
penghalang mereka. Tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja, mereka tetap
mengusahakan untuk menyeberangi jembatan budaya yang sebenarnya hampir mustahil
dilalui itu.
Di tengah upaya itu, secara tidak terduga mereka justru menemukan
sejarah munculnya perbedaan pandangan Islam di Dusun Centong, kampung
mereka—juga secuil rahasia masa lalu yang mengambil latarbelakang perbedaan
ini. Tidak pernah disangka sebelumnya bahwa Pak Iskandar, ayah Mif, dan Pak
Fauzan, ayah Zia, dulunya adalah sahabat dekat yang sudah seperti saudara
kandung. Melalui narasi kedua orang ayah ini, surat-surat yang saling bertukar
di antara mereka, serta kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang di
sekitar mereka, cerita masa lalu Is dan Mat—panggilan masa kecil Pak Iskandar
dan Pak Fauzan—pun mengalir. Dikisahkan bahwa kedua sahabat yang acap
menghabiskan waktu di Gumuk Genjik—bukit di utara kampung mereka—itu mulai
mengalami perbedaan cara pandang terhadap agama saat mereka menimba sumber
pengetahuan agama dari sumber yang berbeda. Lucunya, kedua sahabat ini
masing-masing memiliki mentor panutan yang sama-sama bernama Ali: Cak Ali dan
Mas Ali. Mat yang memperoleh pendidikan Islam tradisional di salah satu
pesantren salaf Jombang perlahan merasakan bahwa gerakan pembaruan yang
dibawa oleh Is, Cak Ali, dan kawan-kawannya mulai bergesekan dengan masyarakat
dan tetua masjid di kampung itu—yang nantinya akan menjadi Masjid Selatan.
Tidak lama berselang, didirikanlah mushola yang nantinya akan jadi cikal bakal
Masjid Utara. Sejak hari itu, jamaah Centong seolah terbagi dua.
Ada dua adzan yang
bersaing, seperti beradu merdu, Menjelang shalat dimulai, segera terlihat ada
dua rombongan jamaah yang bersimpang arah. Ya, ada dua umat di desa kecil
terpencil ini. (hlm. 219)
Hubungan
Is dan Mat sendiri pun merenggang. Keadaan ini diperparah oleh ajakan satu sama
lain untuk menjadi guru di madrasah masing-masing yang tentunya sulit untuk
diterima satu sama lain. Ditambah pula masalah cinta segitiga yang berjangkit
di antara mereka, hubungan mereka pun memburuk. Namun seiring berjalannya waktu
bukan berarti tidak ada usaha dari keduanya untuk berdamai. Sayangnya, kemauan
itu selalu terhalang kesalahpahaman. Lagipula, bukankah sulit untuk mencairkan
kembali hubungan yang sudah terlanjur demikian rikuh?
Kembali
ke tahun 2000-an, Mif dan Fauzia masih tetap berusaha mempertahankan hubungan
mereka, walau mulai dirundung keputus asaan. Di tengah kemelut itu muncul Pak
Anwar yang merupakan saudara jauh Is dan Mat menjadi penengah di antara mereka.
Dengan berbekal pengalaman buruk yang ia terima akibat perpecahan di kampung
itu dan melihat kemungkinan terjadinya rekonsiliasi melalui Mif dan Fauzia, Pak
Anwar berusaha mendamaikan kedua sahabat yang berperang dingin itu. Apakah
usaha Pak Anwar membuahkan hasil? Apakah Mif dan Fauzia dapat bersatu?
Bah! Orangtua macam apa
kalian ini? Kalian lebih bocah dari bocah, Kalian jadikan anak-anak kalian
jangkrik aduan, dan kalian senang melihat mereka saling pukul. (hlm. 337)
Dalam
bercerita, Mahfud Ikhwan tidak bersikap otoriter dalam bernarasi. Ia acap
berbagi dengan Is, Mat, juga tokoh-tokoh lain untuk menceritakan latar belakang
dari kisah ini. Keseluruhan cerita akhirnya terangkum menjadi sebentuk alur
bolak-balik yang tidak membosankan, lengkap dengan sudut pandang dari kedua
belah pihak yang berkonflik. Susunan alur yang berpola bolak-balik, bahkan
ketika menyentuh kurun tahun 2000-an, dan pengulangan cerita dari sudut pandang
yang berbeda kadang membuat saya harus berpikir agak keras menyatukan
keseluruhan alur menjadi sebuah cerita yang terpahami secara utuh. Namun di
sisi lain, pengkondisian alur yang demikian dapat membuat pembaca berusaha memahami
lebih dalam permasalahan dalam cerita sembari mengikuti alur, di samping tentu
saja membuat penceritaan terkesan lebih hidup. Mahfud juga berani menambah
warna dalam ceritanya dengan menambahkan unsur pendekatan sejarah melalui tokoh
Mif yang merupakan lulusan Jurusan Sejarah salah satu perguruan tinggi di
Yogyakarta.
Novel
ini secara singkat menggambarkan keragaman yang ada dalam Indonesia. Apabila
terjadi persinggungan dalam perbedaan itu, tentu akan muncul
persoalan-persoalan yang harus dihadapi pihak-pihak di dalamnya. Di tengah
keragaman itu, novel ini berusaha menghadirkan sebuah alternatif mengenai
bagaimana menghadapi perbedaan tanpa harus menyeragamkan unsur-unsur yang
dikandung di dalamnya. Kehidupan manusia selalu dilatari oleh pengalaman yang
berbeda-beda. Lantas, pengalaman inilah yang akan membuat cara pandang manusia
terhadap kehidupan, agama, dan bahkan Tuhan akan berbeda-beda. Apakah
keniscayaan ini akan mengutuk manusia sehingga mereka tidak bisa hidup
berdampingan dengan damai? Kambing Dan Hujan di sini mengajak pembacanya
untuk merenungkan pertanyaan itu.
[ULASAN BUKU] The Little Prince (1943)
Pengarang : Antoine de Saint-Exupery
Bahasa : Inggris, terjemahan dari Perancis
Judul : The Little Prince
Tebal : 109 halaman
Penerjemah : Irene Testot-Ferry
Penerbit : Wordsworth Editions
Tahun terbit : 1995 (Edisi asli diterbitkan pada 1943)
Bahasa : Inggris, terjemahan dari Perancis
Judul : The Little Prince
Tebal : 109 halaman
Penerjemah : Irene Testot-Ferry
Penerbit : Wordsworth Editions
Tahun terbit : 1995 (Edisi asli diterbitkan pada 1943)
“Grown-ups really are very, very odd...” – Pangeran Kecil (hlm. 51)
“Men have no more time to understand anything” – Sang Rubah (hlm. 78)
Masa kecil merupakan masa yang paling menyenangkan bagi imajinasi manusia. Terbatasnya pengenalan manusia terhadap dunia dan batasan-batasannya justru membebaskan, bahkan mendorong imajinasi tadi untuk meliar, menjelajah, dan menelurkan banyak tanda tanya atas kehidupan dan dunia hingga ia menemukan batas-batas terjauhnya (Lagipula, di manakah batas-batas imajinasi berada? Saya yakin penjelajah paling liar pun belum dapat mencapainya). Keadaan nyaris tanpa batas ini kemudian menghilang ketika seseorang mulai menginjak masa dewasa. Kenyataan hidup dan angka-angka hasil kalkulasi yang tersistematis atas kenyataan tadi seolah menjadi batas-batas baru pengembaraan si kecil imajinasi. Tanggung jawab, peraturan, hingga norma-norma tidak tertulis yang bahkan terasa tidak masuk akal datang satu paket bersama dengan dicapainya kedewasaan itu. Hidup menjadi lebih sulit dan membosankan untuk dijalani.
Sepertinya hal tadi yang ingin digambarkan oleh Antoine de Saint-Exupery dalam novel mini The Little Prince atau disebut Le Petit Prince dalam bahasa aslinya (Perancis). Kisah penuh alegori yang ditulis dengan gaya cerita anak ini rupanya mengandung poin-poin bernas mengenai kehidupan dan absurditas “dunia orang dewasa”. Gaya penulisan seperti ini sepertinya muncul dari pengalaman Saint-Exupery mengerjakan buku untuk anak-anak saat tinggal di Amerika Serikat. Pada titik ini, The Little Prince seperti berusaha menantang prinsip-prinsip “dunia orang dewasa” seperti konformitas dan positivisme di hadapan keluguan anak-anak yang diam-diam menelanjangi dengan berbagai ‘apa’ dan ‘mengapa’.
Narasi dibuka dengan cerita masa kecil Sang Narator yang menggambar ular boa yang memangsa seekor gajah tampak luar dan dalam. Sayangnya orang-orang dewasa yang melihat gambar itu gagal memahaminya sebagai sebuah topi dan lebih menganjurkan Narator mempelajari hal-hal yang lebih penting seperti geografi, sejarah, aritmatika, dan tata bahasa daripada mempersoalkan ular boa yang baru saja memangsa gajah. Singkatnya, Sang Narator pada akhirnya menjadi seorang pilot yang melanglangbuana dan sibuk dengan urusan orang dewasa.
Cerita mulai sedikit dipelintir saat pesawat yang dikendarai Narator terjatuh di Gurun Sahara. Di tengah kesendirian, kehausan, dan keputusasaan memperbaiki pesawat, ia bertemu seorang bocah laki-laki berambut keemasan yang memintanya menggambar seekor biri-biri. Dikuasai kebingungan atas keadaan aneh itu, Sang Narator akhirnya menggambar biri-biri walau beberapa kali mengalami penolakan hingga akhirnya ia menggambar sebuah kotak dan dikatakannya, “The sheep you asked for is inside” (hlm. 15). Di luar dugaan, si bocah sumringah dan menerima gambar itu.
Bocah tadi akhirnya memperkenalkan diri sebagai seorang pangeran yang berasal dari asteroid kecil B-612 dan tinggal seorang diri di sana. Bahkan pada bagian perkenalan tokoh Pangeran Kecil dapat ditemui sindiran terhadap peliknya “dunia orang dewasa”, mulai dari betapa sukanya orang dewasa menggunakan angka hingga fakta bahwa astronom Turki yang menemukan asteroid itu harus menyampaikan temuannya dibalut setelan “Barat” agar kata-katanya dapat dipercaya orang banyak.
Percakapan selanjutnya antara Narator dan Pangeran Kecil membawa Pembaca masuk ke dalam dunia Si Pangeran Kecil. Pengembaraan Si Pangeran dari asteroid kecilnya (yang digambarkan memiliki tiga gunung berapi dan sangat kecil sehingga seseorang dapat melihat matahari terbenam empatpuluh-empat kali sehari – tunggu, seberapa lamakah sehari di sana?) ternyata dimulai dari kegalauan Si Pangeran dalam hubungan cintanya dengan sekuntum mawar. “Flowers are so inconsistent! But I was too young to know how to love her.” (hlm. 38), ujarnya. Dalam pengembaraannya, Si Pangeran berkunjung ke enam asteroid tetangganya. Di masing-masing asteroid ia berjumpa dengan seorang raja “penguasa” alam semesta, seorang gila hormat yang senang apabila dipuji, seorang pemabuk, seorang pebisnis yang selalu sibuk menghitung bintang – aset-asetnya, seorang tukang pasang lentera, dan seorang ahli ilmu bumi. Masing-masing pertemuan tadi menggambarkan absurditas orang dewasa yang umum kita jumpai sehari-hari, mulai dari sindrom kekuasaan dan kepemilikan sampai alkoholisme, dan membuat Si Pangeran terheran dan berpikir betapa anehnya orang dewasa.
Singkat cerita, sang ahli ilmu bumi menyarankan Si Pangeran melanjutkan petualangan ke bumi. Sesampainya di bumi, perjalanan panjang menanti. Selama setahun, Si Pangeran berkeliling dunia dan bertemu dengan banyak hal. Ia bertemu dengan seekor ular – yang berjanji membantunya kembali ke asteroid rumahnya, sekuntum bunga – yang menyatakan bahwa manusia “...have no roots which makes their life rather trying” (hlm.71), sekumpulan mawar – yang membuatnya meragukan cintanya pada bunga mawar di rumah, seekor rubah – yang mengajarkan padanya arti persahabatan dan mengembalikan keyakinannya akan cinta, gunung-gunung yang jauh lebih tinggi daripada ketiga gunung berapinya di rumah, hingga akhirnya dengan seorang penerbang yang terjatuh di tengah Gurun Sahara – Sang Narator. Cerita pun kembali ke masa saat kedua insan ini kehausan di tengah gurun yang kering.
Dalam dunia modern (setidaknya bagi orang dewasa), ketidakpastian dan konsekuensi yang berdampak pada kegemaran pemastian dengan berbagai standar termasuk norma dan angka-angka merupakan keniscayaan. Sebuah hal yang tergambar saat Si Pangeran kebingungan melihat benda yang ternyata sebuah pesawat, dan Sang Narator hanya berpikir “I shall not draw my aeroplane; that would be far too complicated for me” (hlm. 17). Apakah Sang Narator berpikir harus menyajikan gambar teknik ruwet untuk menjelaskan pesawat yang ia naiki? Bisa jadi. Namun pertemuan singkatnya dengan Si Pangeran Kecil seolah menjadi pengingat bahwa ada banyak hal yang acap luput dari pengamatan orang dewasa, bisa jadi karena kurang teliti atau tenggelam dalam absurditas kehidupan sehari-hari, yang ternyata jauh lebih penting. Sebut saja kesetiaan, persahabatan, hingga makna di balik perpisahan. Pada akhirnya, Si Pangeran Kecil mengingatkan Narator, juga kita, bahwa perpisahan, seperti juga apapun, mengandung makna yang hanya dapat dilihat oleh mata hati. Seperti apakah makna yang dimaksud? Mungkin tidak ada jawaban yang pasti. Di mata saya, bintang di langit bisa saja memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan di mata Anda. Namun itulah imajinasi, membuat hidup kita lebih berwarna dengan berjuta pertanyaan dan kemungkinan.
Karier Antoine de Saint-Exupery di bidang penerbangan mulai dari penerbang pos sampai menjadi pilot Angkatan Udara Perancis memberikan latar dasar yang kuat dalam kisah ini. Penggambaran Narator-Pilot yang terdampar di Gurun Sahara merupakan gambaran pengalaman pribadi Saint-Exupery di tahun 1939. Di samping itu, laman Wikipedia dari buku ini menyatakan bahwa buku ini adalah “...an allegory of Saint-ExupĂ©ry's own life—his search for childhood certainties and interior peace, his mysticism, his belief in human courage and brotherhood, and his deep love for his wife Consuelo but also an allusion to the tortured nature of their relationship” – sebuah alegori kehidupan pribadi Saint-Exupery. Selebihnya, walau menggunakan bahasa yang cukup sederhana dari sudut pandang seorang anak, Saint-Exupery mampu menggambarkan latar tempat dan suasana dengan cukup kuat. Sekali lagi, bentuk penceritaan seperti ini seolah mengingatkan kita sekali lagi bahwa dalam sesuatu yang terlihat lugu bisa saja terdapat makna mendalam. Keluguan ini diperkuat dengan berbagai doodling sederhana yang mengilustrasikan tiap kelokan cerita dengan lugas, layaknya buku dongeng pada umumnya yang sarat pesan-pesan bernas di balik bentuk dan ilustrasinya yang bersahaja. Sayangnya ilustrasi yang terdapat dalam cetakan ini tidak berwarna mengingat ilustrasi dalam manuskrip asli karya ini dilukis dengan cat air berwarna. Andai saja ilustrasi dalam buku ini dicetak dengan warna aslinya, tentunya kemampuan gambar-gambar ini dalam menggambarkan suasana cerita akan semakin kuat. Mungkin saja pilihan mencetak ilustrasi monokrom dilakukan dengan pertimbangan menekan biaya percetakan buku.
Novel mini ini seolah merupakan satu dari banyak bentuk kejengahan atas modernitas hambar yang dimulai sejak Revolusi Industri dan memuncak saat Perang Dunia II, waktu di mana novel mini ini ditulis. Novel mini yang menjewer kita lembut untuk mengingatkan kita agar tidak terlalu membabi buta mengikuti kencangnya arus modernisasi dan melupakan hal-hal yang lebih mendasar dalam kehidupan, yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang jernih. Seperti yang dikatakan oleh Rubah dalam cerita – yang sering disebut sebagai kutipan yang menggambarkan keseluruhan isi buku ini:
“It is only with one’s heart that one can see clearly. What is essential is invisible to the eye” – Sang Rubah (hlm. 82)
Langganan:
Komentar (Atom)



