Sabtu, 08 Juni 2013

Saya Bikin Blog (Lagi). Saya Nulis Lagi.

Alhamdulillah, saya sudah bikin blog dan berhasil menulis di dalamnya (sepertinya) dengan baik...

...lagi. Ya, lagi. Saya sudah memiliki beberapa buah blog sebelumnya, dan sebagian besar sudah tidak tahu bagaimana kabarnya. Akun dan passwordnya? Lupa.

Sebetulnya, tidak ada yang benar-benar spesial dari awal ketertarikan dan keinginan saya membuat blog, lebih luasnya lagi menulis. Waktu SMP dulu saya jijik sama yang namanya menulis. Dan saya rasa atas kejijikan saya ini saya patut mengkambinghitamkan tugas menulis karya tulis ilmiah yang dulu ditugaskan Ibu Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Gara-gara tugas ini, saya jadi punya mindset bahwa menulis itu ya menulis ilmiah dengan semua metode yang bagi saya di usia antara 12-15 tahun itu njelimet bin ruwet. Pemikiran pancaroba dari masa anak-anak ke masa dewasa saya itu pun berpandangan sempit menulis ya cuma menulis ilmiah. Padahal waktu SMP saya juga dapat tugas membuat puisi atau cerpen atau tulisan lain. Tetap saya tidak goyah watu itu. Menulis ya karya ilmiah, dan saya tidak suka.

Baru waktu SMA lah pikiran saya mulai terbuka dan mulai melirik dunia menulis. Penyebabnya ya... entah juga sih. Jenis tulisan pertama yang saya lirik adalah puisi. Banyak juga yang menyangka (mungkin juga demikian dengan Saudara Pembaca budiman yang baik hatinya) saya kena sindrom galau khas remaja belasan tahun, yang sudah bisa ditebak punya warna dasar pink serta tema besar "cinta" (Ya. Pakai tanda kutip). Benarkah itu? Saya tidak tahu juga. Mungkin iya juga, walaupun puisi yang saya buat tidak melulu masalah cinta-pakai-tanda-kutip itu. Saya juga mulai tertarik membuat prosa dan cerita pendek karena saya makin rajin membaca terutama kumpulan cerpen dan novel (Dewi Lestari harus bertanggungjawab atas ketertarikan saya ini). Namun saya tidak bisa produktif menulis cerpen seperti saya produktif menulis puisi. Mungkin selama saya SMA saya hanya berhasil membuat satu cerpen yang kalau menurut saya tidak bagus-bagus amat. Selanjutnya, saya makin tertarik dengan dunia tulis-menulis walaupun anehnya saya sama sekali tidak tertarik menulis tulisan-tulisan yang lebih "ringan" saja atau yang paling tidak lebih mudah dicerna pembaca kebanyakan. Saya tumbuh dari Rilis-si-pembenci-karya-tulis-ilmiah menjadi Rilis-si-remaja-agak-galau. Huff...

Waktu saya SMA, saya mulai mengenal blog. Saya tidak tahu persis kapan fitur blog dalam internet masuk ke RT 04 RW 12 Kelurahan Sawojajar Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Saya kenal blog dari Papa saya yang mulai asyik utak-atik blog di masa itu. Dari Papa awalnya saya kenal Blogger. Saya pun mulai membuat blog di situs blog milik Google itu. Saya pun mulai menyalin puisi-puisi saya ke blog yang saya sudah lupa alamatnya itu. Puisi-puisi itu saya salin dari note FB saya yang sebelumnya merupakan salinan dari note saya (dalam arti sebenarnya, buku catatan). Dilihat-lihat, iya juga. Saya mirip apa yang mereka bilang remaja galau waktu itu melihat kumpulan puisi saya. Saya tidak tahu harus sedih atau senang. Hal itu tidak bertahan lama. Minat saya nge-blog terlalu cepat luntur. Umur blog yang saya bahkan lupa apa alamatnya itu pun tidak sampai seumur jagung. Entah kenapa saya tinggalkan blog itu dulu, mungkin tidak ada pembaca, atau mungkin saya merasa di note FB dan di blog sama saja. Atau mungkin yang lainnya, URL alamat blog itu terlalu alay, seingat saya sih...

Selanjutnya, saya kenal Kompasiana. Saya tertarik melihat blog-blog di kompasiana yang seolah "hidup" karena ramainya blog-blog di Kompasiana itu. Komentar-komentar, baik yang membangun, mengkritik, provokasi atau mungkin cuma numpang lewat sangat banyak ditemui di blog-blog Kompasiana. Saya pun punya pikir "wah, kelihatannya seru juga punya blog Kompasiana", karena banyaknya masukan dari pembaca yang bisa membuat apa yang saya tulis berkembang. Saya pun membuat akun di Kompasiana dan segera membuat blog. Tulisan saya masih berkutat di puisi dan prosa saja sih. Waktu itu kalau tidak salah saya masukkan dua biji puisi yang pernah saya tulis di note FB. Setelah itu, saya tunggu komentar dan masukan dari orang yang membaca tulisan saya atau minimal tersesat ke blog saya. Hasilnya? Nihil. Tidak ada satupun komentar yang ditujukan ke puisi-puisi sendu saya itu (yang sebenarnya tidak sedih sendu muram durja juga sih). Belakangan saya pun paham, tulisan-tulisan semacam puisi dan prosa itu kelihatannya terlalu usang dan berat bagi kebanyakan pembaca jaman sekarang. Bahkan Dewi Lestari pun menyisipkan puisi-puisi dan prosa-prosanya di antara kumpulan cerpennya yang saya baca sebagai strategi bagus agar karya-karya puisi juga terbaca oleh si pembaca. Tapi saya berharap asumsi saya di depan bahwa puisi mulai ditinggalkan tadi tidak benar. Kembali ke kendor blogging, saya pada waktu itu bisa apa selain menulis puisi dan prosa? Saya pun mutung nge-blog dan hanya lanjut menulis puisi-prosa-tulisan lainnya di note FB saja. Bahkan karena kehabisan "bahan", saya sempat hanya menghasilkan satu-dua tulisan dalam jangka waktu berbulan-bulan.

Memasuki masa kuliah, setelah sempat tidak menulis selama hampir satu semester saya mulai kembali menulis. Kali ini jenis tulisan dan tema yang saya angkat lebih beragam - hasil pergaulan dengan sesama mahasiswa. Namun saya tetap lebih banyak menulis puisi. Kadang saja saya menulis tulisan-tulisan semacam opini ataupun hasil bacaan saya. Pada masa kuliah ini ketertarikan saya pada bidang kepenulisan menjadi makin besar, sehingga terpikirkan bisa mandiri dari hasil menulis.

Menanggapi mimpi saya, saya kembali ingin membuat blog untuk media menulis (yang saya sebenarnya masih tidak tahu, apa benar-benar butuh atau tidak hehe). Paling tidak dengan memiliki blog saya dapat memiliki media untuk berlatih menulis dan berusaha lebih konsisten dalam menulis. Di samping itu, dengan blog tulisan saya bisa terarsipkan dengan lebih baik serta memudahkan sekaligus menambah pembaca melalui fitur-fitur yang terdapat di dalamnya. Saya memilih Tumblr karena tampilannya yang lebih "muda" dan bersahabat dengan mata. Tumblr saya bisa diakses dengan alamat inirilisaselilho.tumblr.com dan sudah terdapat beberapa tulisan di sana.

Lama kelamaan saya mulai merasa format Tumblr lebih mirip dengan social media daripada blog yang saya inginkan. Padahal untuk social media saya sudah merasa sangat cukup hanya dengan Facebook dan Twitter. Untuk saya jadikan media menulis, Tumblr saya rasa kurang cocok. Walaupun begitu, saya tidak berkeinginan sama sekali untuk meng-exile-kan blog Tumblr saya tersebut. Tumblr akan tetap berusaha saya hidupkan untuk nge-post hal-hal yang nantinya saya belum tahu seperti apa. Untuk kegiatan tulis-menulis bebas hati saya kembali ke cinta lama saya, Blogger. Dan, inilah blog saya yang terakhir (untuk saat ini).

Demikian perjalanan kecil namun tidak berbelalai panjang dalam jagad per-blog-an saya. Kalau berharap saya setia dengan blog ini, saya tidak tahu apa harapan itu bisa terpenuhi atau ndak. Saya cuma berharap blog ini bisa berguna bagi saya dan orang lain yang membacanya, tidak perlu muluk-muluk seperti Salam Ganesha - salam-salaman ala kampus saya - Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Tapi syukur-syukur sih kalau bisa. Amin.


Cuma curhat kopler.
Selesai 6 Juni 2013 pukul 00:42

Kamis, 06 Juni 2013

Alat Olahraga bernama "Alat Olahraga"

Sudah hampir seminggu saya pulang kampung. Biasanya sih kalau di kampung halaman, yah yang walau sebenarnya tidak kampung-kampung amat, kalau bukan sibuk, saya malas berolahraga di luar rumah. Dan celakanya kasus kedua lebih sering terjadi. Ya malas itu.

Enak sih sebenarnya tidak olahraga itu, mending tidur, ngopi, makan, FBan, Twitteran, atau nge-blog. Tapi kalau saya kendor olahraga efeknya langsung terasa. Gampang ngantuk, lemas, lingkar perut dan berat badan naik, namun sayang IP tidak ikut naik. Itu juga yang terjadi waktu pulang kampung kali ini. Untung saja di rumah saya di kampung halaman yang damai dan kucinta itu ada alat olahraga. Waktu beli dulu serumah seolah sepakat menyebut alat ini sesuai merknya "Freestyle Glider". Seiring dengan waktu, itu alat lebih akrab disapa "freestyle" saja atau malah "alat olahraga".

Cara kerjanya... Aduh bagaimana ya menjelaskannya? Pokoknya cara kerjanya, seperti jalan atau lari di tempat. Itu kan treadmill. Aduh bukan, bukan! Seperti apa ya? Ah, pokoknya ada tuas tempat kaki yang punya tuas pegangan sampai ke atas, kita seolah-olah jalan atau lari pakai alat itu sambil pegangan pada tuas. Seperti apa bentuk alatnya... Googling saja merknya dulu. Saya tidak akan menampilkan gambar agar tidak disangka jualan itu alat.

"Alat olahraga" tadi seperti setia menemani hari-hari olahraga keluarga saya. Ya, benar-benar setia. Bagaimana tidak, setiap hari, atau minimal dua atau tiga hari sekali pasti ada saja anggota keluarga kami yang memakai "alat olahraga". Cuma adik saya yang absen. Tanpa "alat olahraga" aktivitas fisiknya (baca: mainnya) sudah gila-gilaan. Dia tidak, atau belum butuh alat itu. Saking setianya, kondisi dari "alat olahraga" kami  sudah agak berkurang. Busa tuas pegangan yang mengendor, beberapa baut yang mulai sulit dikencangkan, sampai alat penghitung langkah di dekat tuas, yang menurut legenda juga bisa digunakan untuk menghitung kalori yang terbakar, sudah tidak berfungsi dan layarnya malah menghadap ke lantai, cuma sebagian contoh. Oh iya, ada satu lagi... liburan semester lalu, Papa saya sedang asyik memakai si "alat olahraga", dan tiba-tiba... sambungan dekat bagian engsel yang bisa bergerak di dekat kaki patah. Saya sampai tidak paham tenaga macam apa yang Papa saya gunakan saat asyik-asyikan dengan "alat olahraga", tapi saya cukup paham kok dengan berat badan dari Papa saya itu. Beruntung liburan semester berikutnya ketika saya pulang - ya sekarang ini - patahan tadi sudah dilas dan "alat olahraga" sudah bisa berfungsi normal lagi.

Saya sendiri merasa lumayan terbantu dengan kehadiran "alat olahraga" di rumah saya. Ketika saya malas, melas, terlalu sibuk untuk keluar, sudah bikin rencana tiba-tiba hujan turun, atau ada hajat lainnya sehingga saya tidak bisa (atau mau) berolahraga di luar, saya sempatkan barang 15-30 menit berasyik-masyuk dengan "alat olahraga". Lumayan untuk menyegarkan badan dan mencegah masalah-masalah yang saya sebut tadi di awal. Selain itu, pengalaman saya semingguan ini menjaga orang sakit membuat saya makin takut untuk tidak berolahraga (Yang bersangkutan menderita sakit stroke. Diduga karena diabetes, namun stroke juga bisa disebabkan kurangnya aktivitas fisik seperti olahraga). Saya tidak ada keinginan sama sekali untuk kena stroke. Oleh karena itu, saya berencana meningkatkan frekuensi olahraga saya. Semoga rencana saya ini tidak tinggal rencana nantinya.

Hujan tidak hujan, ngantuk tidak ngantuk, malas tidak malas, ada tidak ada uang, ganteng tidak ganteng, olahraga rutin itu perlu. Terima kasih, "alat olahraga". :*

Sayangi "alat olahraga" sebagaimana kamu menyayangi dirimu.
Sayangi tubuhmu sebagaimana kamu menyayangi dirimu. Absurd? Biarin, as long as you get it.



6 Juni 2013, tidak lama setelah memakai "alat olahraga"

Selasa, 04 Juni 2013

"Mas, apa gunanya upacara bendera tiap Senin?"

Jadi di pagi menjelang siang yang cerah itu saya mengemudi mobil bersama Mama saya untuk menjemput adik yang akan pulang sekolah. Adik saya satu-satunya ini sebenarnya baru saja selesai Ujian Nasional sekolah dasar, tapi karena belum ada ketetapan hari libur dari Dinas Pnedidikan setempat, sekolah tetap tidak libur. Kebetulan, sekolah dasar tempat adik saya sekolah itu dulunya juga sekolah dasar saya. Di samping itu, jarang-jarang saya bisa jemput adik saya (mengingat ini waktu libur kuliah) sehingga sepanjang jalan menuju sekolah saya dan Mama menghabiskan waktu dengan obrolan-obrolan nostalgia mengenai ini itu tetek bengek jaman sekolah dulu. Salah satu hal yang kami obrolkan adalah upacara bendera , yang dulu waktu sekolah (sebenarnya sampai sekarang juga, sih) sudah jadi tradisi tiap hari Senin, atau tiap hari besar nasional, atau tiap hari ulang tahun sekolah.

Tentang upacara bendera ini, Mama nyeletuk, "kemarin dulu adikmu nanya lho, seperti ini, 'Ma, apa gunanya upacara bendera tiap Senen?'" Saya cuma ketawa.

Sambil ketawa, saya membatin. Pintar juga adik saya satu ini ya. Di umur di mana saya ikhlas-ikhlas saja disuruh berbaris oleh Bapak-Ibu Guru tiap Senin pagi, di masa saya, masnya ini nurut-nurut saja pada komando Pemimpin Upacara dan Komandan-Komandan Peletonnya, adik saya sudah bertanya  demikian, walau saya sebenarnya tidak tahu juga seberapa tingkat keseriusan pertanyaan itu mengingat hobi dan tingkat keabsurdan celetukan adik saya jauh lebih parah dibanding Mama saya. Tapi tetap, nggumun. Batinan saya berevolusi, jadi ikutan berpikir. Sebenarnya, apa sih fungsi upacara bendera? Apa sih urgensi dari sebuah seremoni?

Mengutip lanjutan obrolan dengan Mama saya, Mama saya mengatakan bahwa "ritual" upacara bendera ini cuma salah satu dari sekian banyak hal yang diwariskan oleh kaum penjajah dulu kepada bangsa kita, sehingga untuk apa ebih lanjut dipelihara? Saya pikir, masuk akal juga. Saya yakin tatacara baris-berbaris yang kita kenal saat ini dan merupakan dasar dari upacara yang dijalankan saat ini tidak berasal dari nilai-nilai tradisional daerah manapun dari Sabang sampai Merauke. Saat menulis tulisan ini pun saya mencoba kroscek lagi via Eyang Google yang sudah tidak diragukan lagi kesaktiannya. Saya pun mengetik kata kunci "asal upacara bendera". Hasilnya? Cuma satu dua, dan tidak ada yang menampilkan data yang saya cari. Lho, kok? Hasil yang sama juga berlaku untuk kata kunci "sejarah upacara bendera", "warisan upacara bendera" dan kata-kata kunci lainnya yang sejenis. Saya putuskan untuk menyudahi pencarian saya, toh yang saya tulis ini juga sebenarnya sama sekali tidak ilmiah. Ini cuma tulisan iseng saja lho...

Sebenarnya yang mau saya isengi disini adalah masalah seremoni yang sempat saya celetukkan tadi. Saya tidak akan mencari arti kata seremoni dalam KBBI karena memang, saya cuma mengisengi kata seremoni tersebut. Kalau diperhatikan, bangsa kita ini seperti hobi akan kegiatan seremonial, mulai dari upacara bendera yang sedikit saya isengi tadi, peresmian rumah baru, pesta ulang tahun, pesta hari jadi, dies natalis (dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya), pelantikan ketua baru, pelantikan anggota baru, kegiatan ospek (yang awalnya sebagai sarana "penurunan nilai" yang beralhifungsi menjadi sekedar rutinitas), bahkan untuk kegiatan-kegiatan sakral macam resepsi nikahan dan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri. Kalau saya bilang dua hal terakhir termasuk seremonial, Pembaca setujuh tho? Hehehe...

Sebenarnya, bukannya saya ini benci atau skeptis sama yang namanya seremoni lho... Kegiatan seremoni yang notabene sifatnya simbolis ini tentu punya nilai-nilai positif yang dikandung. Misalnya, pada salah satu artikel yang saya baca mengenai upacara bendera disebutkan, upacara bendera itu dapat menanamkan kedisiplinan, mencerminkan kecintaan terhadap tanah air, menumbuhkan kekompakan dan kerjasama, dan lain-lain. Normatif sih memang, tidak tahu apa yang membuat ini apa "iseng" seperti saya, tapi ya itu yang tertulis di artikel tadi. Contoh lain pada pelantikan seorang pejabat... ambillah contoh seorang Presiden. Saat dilantik, presiden ini diambil sumpahnya atas nama Tuhan di bawah Kitab Suci. Bisa diartikan yang seperti ini merupakan lambang pertanggungjawaban Sang Presiden terhadap Tuhan, sehingga diharap Sang Presiden akan lebih amanah dalam mengemban tugasnya. Bagaimana kelanjutannya? Tanggungjawab Sang Presiden dengan Sang Khalik... hehehe.

Tidak ada yang salah dengan seremoni. Tidak ada yang salah dengan nilai-nilai yang dikandung. Namun, apakah nilai-nilai yang terkandung dalam seremoni tersebut sudah teramalkan/tersampaikan dengan baik? Seremonial tersebut nantinya hanya akan jadi sekedar rutinitas apabila nilai-nilai dalam seremoni tersebut tidak pernah dihayati. Sia-sia saja. Percuma tiap hari Senin hormat kepada Bendera Merah Putih kalau pada kesehariannya tidak muncul sifat nasionalisme. Percuma Presiden disumpah di bawah Kitab Suci kalau nantinya hanya sekedar menjabat, celakanya malah merusak negara. Percuma kalau mahasiswa baru dibentak-bentak pada kegiatan ospek dan kemudian dilantik menjadi anggota baru organisasi mahasiswa kalau nantinya di organisasi si mahasiswa cuma bisa bengong. Percuma diadakan resepsi pernikahan super mewah kalau akhirnya sang istri menuntut cerai karena KDRT. Percuma bermaaf-maafan di Idul Fitri kalau hanya berbuat baik selama Bulan Ramadhan, minta maaf cuma waktu Idul Fitri dan setelah itu kembali jadi jumawa. Percuma ada seremoni kalau hanya jadi ajang perayaan tanpa tahu apa yang sebenarnya dirayakan.

Lalu, apakah seremoni yang kita lakukan, yang kita rayakan sudah tidak sia-sia? Satu pertanyaan yang hanya perlu dijawab di dalam hati.

Untung adik saya bukan iseng bertanya "Sebenarnya apa urgensi dari seremoni, mas Rilis?" waktu itu. Kalau ya, saya bakal lebih iseng lagi...


4 Juni 2013

So I Said, "Hello World!"

Hello world!

... even tough maybe the world too busy to say hello back. Still, I said, "Hello world!".