Selasa, 04 Juni 2013

"Mas, apa gunanya upacara bendera tiap Senin?"

Jadi di pagi menjelang siang yang cerah itu saya mengemudi mobil bersama Mama saya untuk menjemput adik yang akan pulang sekolah. Adik saya satu-satunya ini sebenarnya baru saja selesai Ujian Nasional sekolah dasar, tapi karena belum ada ketetapan hari libur dari Dinas Pnedidikan setempat, sekolah tetap tidak libur. Kebetulan, sekolah dasar tempat adik saya sekolah itu dulunya juga sekolah dasar saya. Di samping itu, jarang-jarang saya bisa jemput adik saya (mengingat ini waktu libur kuliah) sehingga sepanjang jalan menuju sekolah saya dan Mama menghabiskan waktu dengan obrolan-obrolan nostalgia mengenai ini itu tetek bengek jaman sekolah dulu. Salah satu hal yang kami obrolkan adalah upacara bendera , yang dulu waktu sekolah (sebenarnya sampai sekarang juga, sih) sudah jadi tradisi tiap hari Senin, atau tiap hari besar nasional, atau tiap hari ulang tahun sekolah.

Tentang upacara bendera ini, Mama nyeletuk, "kemarin dulu adikmu nanya lho, seperti ini, 'Ma, apa gunanya upacara bendera tiap Senen?'" Saya cuma ketawa.

Sambil ketawa, saya membatin. Pintar juga adik saya satu ini ya. Di umur di mana saya ikhlas-ikhlas saja disuruh berbaris oleh Bapak-Ibu Guru tiap Senin pagi, di masa saya, masnya ini nurut-nurut saja pada komando Pemimpin Upacara dan Komandan-Komandan Peletonnya, adik saya sudah bertanya  demikian, walau saya sebenarnya tidak tahu juga seberapa tingkat keseriusan pertanyaan itu mengingat hobi dan tingkat keabsurdan celetukan adik saya jauh lebih parah dibanding Mama saya. Tapi tetap, nggumun. Batinan saya berevolusi, jadi ikutan berpikir. Sebenarnya, apa sih fungsi upacara bendera? Apa sih urgensi dari sebuah seremoni?

Mengutip lanjutan obrolan dengan Mama saya, Mama saya mengatakan bahwa "ritual" upacara bendera ini cuma salah satu dari sekian banyak hal yang diwariskan oleh kaum penjajah dulu kepada bangsa kita, sehingga untuk apa ebih lanjut dipelihara? Saya pikir, masuk akal juga. Saya yakin tatacara baris-berbaris yang kita kenal saat ini dan merupakan dasar dari upacara yang dijalankan saat ini tidak berasal dari nilai-nilai tradisional daerah manapun dari Sabang sampai Merauke. Saat menulis tulisan ini pun saya mencoba kroscek lagi via Eyang Google yang sudah tidak diragukan lagi kesaktiannya. Saya pun mengetik kata kunci "asal upacara bendera". Hasilnya? Cuma satu dua, dan tidak ada yang menampilkan data yang saya cari. Lho, kok? Hasil yang sama juga berlaku untuk kata kunci "sejarah upacara bendera", "warisan upacara bendera" dan kata-kata kunci lainnya yang sejenis. Saya putuskan untuk menyudahi pencarian saya, toh yang saya tulis ini juga sebenarnya sama sekali tidak ilmiah. Ini cuma tulisan iseng saja lho...

Sebenarnya yang mau saya isengi disini adalah masalah seremoni yang sempat saya celetukkan tadi. Saya tidak akan mencari arti kata seremoni dalam KBBI karena memang, saya cuma mengisengi kata seremoni tersebut. Kalau diperhatikan, bangsa kita ini seperti hobi akan kegiatan seremonial, mulai dari upacara bendera yang sedikit saya isengi tadi, peresmian rumah baru, pesta ulang tahun, pesta hari jadi, dies natalis (dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya), pelantikan ketua baru, pelantikan anggota baru, kegiatan ospek (yang awalnya sebagai sarana "penurunan nilai" yang beralhifungsi menjadi sekedar rutinitas), bahkan untuk kegiatan-kegiatan sakral macam resepsi nikahan dan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri. Kalau saya bilang dua hal terakhir termasuk seremonial, Pembaca setujuh tho? Hehehe...

Sebenarnya, bukannya saya ini benci atau skeptis sama yang namanya seremoni lho... Kegiatan seremoni yang notabene sifatnya simbolis ini tentu punya nilai-nilai positif yang dikandung. Misalnya, pada salah satu artikel yang saya baca mengenai upacara bendera disebutkan, upacara bendera itu dapat menanamkan kedisiplinan, mencerminkan kecintaan terhadap tanah air, menumbuhkan kekompakan dan kerjasama, dan lain-lain. Normatif sih memang, tidak tahu apa yang membuat ini apa "iseng" seperti saya, tapi ya itu yang tertulis di artikel tadi. Contoh lain pada pelantikan seorang pejabat... ambillah contoh seorang Presiden. Saat dilantik, presiden ini diambil sumpahnya atas nama Tuhan di bawah Kitab Suci. Bisa diartikan yang seperti ini merupakan lambang pertanggungjawaban Sang Presiden terhadap Tuhan, sehingga diharap Sang Presiden akan lebih amanah dalam mengemban tugasnya. Bagaimana kelanjutannya? Tanggungjawab Sang Presiden dengan Sang Khalik... hehehe.

Tidak ada yang salah dengan seremoni. Tidak ada yang salah dengan nilai-nilai yang dikandung. Namun, apakah nilai-nilai yang terkandung dalam seremoni tersebut sudah teramalkan/tersampaikan dengan baik? Seremonial tersebut nantinya hanya akan jadi sekedar rutinitas apabila nilai-nilai dalam seremoni tersebut tidak pernah dihayati. Sia-sia saja. Percuma tiap hari Senin hormat kepada Bendera Merah Putih kalau pada kesehariannya tidak muncul sifat nasionalisme. Percuma Presiden disumpah di bawah Kitab Suci kalau nantinya hanya sekedar menjabat, celakanya malah merusak negara. Percuma kalau mahasiswa baru dibentak-bentak pada kegiatan ospek dan kemudian dilantik menjadi anggota baru organisasi mahasiswa kalau nantinya di organisasi si mahasiswa cuma bisa bengong. Percuma diadakan resepsi pernikahan super mewah kalau akhirnya sang istri menuntut cerai karena KDRT. Percuma bermaaf-maafan di Idul Fitri kalau hanya berbuat baik selama Bulan Ramadhan, minta maaf cuma waktu Idul Fitri dan setelah itu kembali jadi jumawa. Percuma ada seremoni kalau hanya jadi ajang perayaan tanpa tahu apa yang sebenarnya dirayakan.

Lalu, apakah seremoni yang kita lakukan, yang kita rayakan sudah tidak sia-sia? Satu pertanyaan yang hanya perlu dijawab di dalam hati.

Untung adik saya bukan iseng bertanya "Sebenarnya apa urgensi dari seremoni, mas Rilis?" waktu itu. Kalau ya, saya bakal lebih iseng lagi...


4 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar