Pencarian memang sering menyesakkan, terlebih apabila apa yang dicari tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kamar kos, 10.30 WIB
dalam ketelanjangannya, seorang ia terjerembab di jalanan, wajahnya jatuh tepat di atas genangan air.
ia sudah cukup lama berkawan dengan jalanan
dan sudah cukup lama jalanan membubuhkan penghinaan
kepada ia.
yang ia dengar: jalanan selalu membisikkan pada ia
“berjalanlah menuju ujung penantian, menuju ujung jalan”
yang ia dengar setelahnya: ia, yang mulai meragukan kearifan jalanan
dan menularkan keraguan itu pada ia.
ia pun menutup telinga, dengan enggan menolak semua kearifan dan semua jalanan di gerbang telinganya.
...juga semua ia.
di mana?
ia di tengah ribuan jutaan milyaran
ia-ia yang lainnya
yang kehilangan tempatnya.
sebagian ia menemukan diri di wajah ia lainnya
sebagian gila – lebih banyak ia yang gagal mengingat nama
mengelilingi ia-ia tanpa nama tanpa wajah
bahkan malam belum menjelang ketika jalanan
berubah menjadi kerumunan tanpa nama tanpa wajah
tanpa makna
jalanan adalah kerumunan tanpa kepastian untuk berpegangan.
di mana tuhan?
dalam ketelanjangannya, ia terjerembab di jalanan
jalanan menelanjanginya dan memaksanya meminum air dari genangan di wajahnya
di wajahnya menggenang air hujan, hujan air mata, air pelimbahan, sungai darah, sungai styx,
pantulan wajahnya tergenang samar, sesamar kehendak jalanan
ketelanjangannya gagal menjadikannya ia yang jujur
bahkan ia tak dapat menemukan mana yang benar
wajah-wajah ia lain di sekitarnya tidak memancarkan kebenaran yang ia mau.
di mana tuhan menyembunyikan wajahnya dan wajah ia?
sebagian orang tidak perlu mencari tuhan
mereka sudah menemukan tuhan di kabut dini hari, di lampu jalanan, di cangkir capucinnonya, di genangan air di tepi jalanan,
atau di wajah-wajah ia di sekitar mereka. bisa saja mereka menemukan tuhan yang berlainan.