Rabu, 14 Oktober 2015

Cermin

dan di hadapan cermin
kau belah wajahmu
pecahan beling menyayat dingin.

dari belahan cermin tidak muncul wajah tuhan. pun wajah setan.

dan sekarang, wajahmu tinggal pekarangan kosong
(mungkin esok) tuhan dan setan tertawa
berpesta pora di atasnya
sementara di cermin cekung wajahku terkungkung
matamu yang kosong itu ternyata cekung.


Aku? Kubelah cermin karena tak kutemukan wajahku padanya.

Banyak meminjam kepada God Bless. Bandung, 00.25 WIB

Sabtu, 10 Oktober 2015

Tanpa Luka

Karena, bagiku puisi tidak sekedar
"larikku abadi untukmu"

bagimu, puisi-puisiku membakar
"aku akan menjelmamu,
mengutukmu menjadi kata.

Membunuhmu tanpa luka."

Bandung, 03.20 WIB

Panen

Pernahkah kautanyakan pada larik-larik sajak:
untuk siapakah diksinya yang gembur dibajak?

Inilah ladang sajakku.

Kusiram air mata, kupupuk duka
agar di akhir musim aku bahagia:
Dari sela larik-lariknya akan kupanen makna.

Bandung, 3.03 WIB

Di Manakah Tuhan Dalam Mimpi-Mimpiku? (Sungguh, aku benci puisi ini dan suasana yang melatarbelakanginya)

Tuhan selalu hadir di rona senja
namun takkan kau temui ia
pada mimpi-mimpi anak muda.

Ikutilah jejak-jejak keramaian!
Segala arah lepas dari genggaman.
Menolak kalah, pada namaNya kau berpegangan.
Tuhan sudah kalah di riuh jalan

dan dengan mimpi-mimpi anak muda, angan-anganmu yang tersesat, Ia bernisan.


Bandung, 2.43 WIB
Larik "Tuhan (sudah) kalah di riuh jalan" diambil dari lirik lagu Silampukau, Malam Jatuh di Surabaya.

Selasa, 06 Oktober 2015

Malam Ungu, Wajah Membiru (2)

Malamku ungu
sedang wajahmu membiru

dan bulan bagi kata hanya wajah dungu
sedang hidup bagi kita bukan lagi sesuatu untuk ditunggu.

Ia menderu dan memburu.

Bandung, 00.11 WIB.

Senin, 05 Oktober 2015

Malam Ungu, Wajah Membiru

Untuk apa kau menulis
apabila kata-kata tidak mengerti
untuk apa kau suruh mereka menangis?

Bandung, 23.55 WIB