Sabuga, arak-arakan wisuda.
dan di lapangan tumpah, seperti palet
seperti Dali, jatuh dari langit
semua warna, semua gempita
memagari dunia, memagari batas-batas visual
di luar pagar tidak ada apa-apa lagi
di luar pagar semuanya monokrom
tidak ada apa-apa.
Aku bosan akan mimpiku yang terlalu dipenuhi warna.
suatu hari seorang gadis pernah melompati pagar
di wajahnya tidak ada warna apapun
ia mungkin mencari warna yang tidak pernah ada di dalam pagar
warna yang tidak pernah ada di dunia.
seminggu ia menghilang
seminggu kemudian ia ditemukan bersandar
pada bagian dalam pagar
tanpa nyawa, wajahnya masih tanpa warna
di perutnya terlihat lubang menganga, kemungkinan besar bekas tusukan
dari lubang itu mengalir darah berwarna violet.
Aku lelah menunggu hari ketika hujan tidak lagi memiliki warna
sungguh, memandang terlalu banyak warna sekaligus dapat melukai mata.
Sabtu, 28 Maret 2015
Warna (1)
Sabuga, arak-arakan wisuda.
Siang. Warna-warna tidak tahan lagi berbisik.
Berisik.
kuning, merah, biru muda, biru tua,
pedagang siomay, orator, kakek pemain kecapi,
paman pemain ukulele
hitam, ia yang duduk nyaman di jok belakang Toyota Camry,
juru potret, orang-orang yang menunggu, magenta,
orang-orang kehausan, hijau toska, ia yang hampir tertidur di bawah pohon,
penjual balon
memegang dagangannya, balon
berwarna kuning, hijau pupus, biru langit, coklat,
warna pink yang menusuk
mata penjual balon itu berdarah
seperti mata penjaja kerak telor di dekatnya.
Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.
Semua menjauh, takut dihempas parade.
Mereka mencari tempat yang lebih tinggi, juga sunyi
menyelamatkan eksistensi. Menyelamatkan diri.
Yang tidak mampu memanjat berlarian di bawah
bayang-bayang, di mana takkan ada yang akan mengenali mereka
mereka bersembunyi di balik
pohon.
Parade penuh warna
hijau, biru, oranye, kuning, violet, broken white, hitam, hitam, hitam
metalik
seperti merak
merah, merah, merah muda, darah muda,
burung-burung muda beterbangan di sela-sela
mereka.
Xilofon, gramofon, menakut-nakuti si xenofobia.
dan semua terbawa
dan parade membawa
dan parade terbawa
ombak raksasa.
"Kalian akan menghilang!"
***
Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.
Warna-warna tetap ada
dan semua ikut bernyanyi
semua ikut berparade
ikut bermain xilofon
meneriakkan nama-nama
suka-suka mereka
hanya aku yang dininabobokan (dihempas) keramaian
di bawah pohon, aku akhirnya tertidur
dan aku tidak bermimpi indah
aku bermimpi tidur tanpa mimpi
aku bermimpi aku tidak ada.
Siang. Warna-warna tidak tahan lagi berbisik.
Berisik.
kuning, merah, biru muda, biru tua,
pedagang siomay, orator, kakek pemain kecapi,
paman pemain ukulele
hitam, ia yang duduk nyaman di jok belakang Toyota Camry,
juru potret, orang-orang yang menunggu, magenta,
orang-orang kehausan, hijau toska, ia yang hampir tertidur di bawah pohon,
penjual balon
memegang dagangannya, balon
berwarna kuning, hijau pupus, biru langit, coklat,
warna pink yang menusuk
mata penjual balon itu berdarah
seperti mata penjaja kerak telor di dekatnya.
Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.
Semua menjauh, takut dihempas parade.
Mereka mencari tempat yang lebih tinggi, juga sunyi
menyelamatkan eksistensi. Menyelamatkan diri.
Yang tidak mampu memanjat berlarian di bawah
bayang-bayang, di mana takkan ada yang akan mengenali mereka
mereka bersembunyi di balik
pohon.
Parade penuh warna
hijau, biru, oranye, kuning, violet, broken white, hitam, hitam, hitam
metalik
seperti merak
merah, merah, merah muda, darah muda,
burung-burung muda beterbangan di sela-sela
mereka.
Xilofon, gramofon, menakut-nakuti si xenofobia.
dan semua terbawa
dan parade membawa
dan parade terbawa
ombak raksasa.
"Kalian akan menghilang!"
***
Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.
Warna-warna tetap ada
dan semua ikut bernyanyi
semua ikut berparade
ikut bermain xilofon
meneriakkan nama-nama
suka-suka mereka
hanya aku yang dininabobokan (dihempas) keramaian
di bawah pohon, aku akhirnya tertidur
dan aku tidak bermimpi indah
aku bermimpi tidur tanpa mimpi
aku bermimpi aku tidak ada.
Rabu, 25 Maret 2015
Sakpenake Udel.
Kamar kos berantakan, 15.15 WIB
Apakah ia tidak mengetahui, bahwa seperti
jidat, pusar bisa juga bertindak semaunya sendiri?
Karena itulah perut di belakangnya mudah membuncit
penuh oleh maunya si pusar
sampai lapar.
Di saat yang sama kenyang
aha, saat ini juga semua yang semau pusar
harus dipenuhi.
Perutku terlalu penuh
sampai-sampai tidak bisa lagi seenak perut.
Apakah ia tidak mengetahui, bahwa seperti
jidat, pusar bisa juga bertindak semaunya sendiri?
Karena itulah perut di belakangnya mudah membuncit
penuh oleh maunya si pusar
sampai lapar.
Di saat yang sama kenyang
aha, saat ini juga semua yang semau pusar
harus dipenuhi.
Perutku terlalu penuh
sampai-sampai tidak bisa lagi seenak perut.
Senin, 09 Maret 2015
Sak Karepe Lambemu! Pokoke Aku Nulis.
Ruang RMT 2.9, 25 Februari 2015
Persetan polimerisasi!
***
Aku takkan pernah bisa
setua
ilmu polimer itu sendiri.
Langkahku tergesa berkejaran
dikejar reaksi propagasi yang merambat tak berkesudahan
dan sebelum terminasi
sempat terjadi
akupun mati
Dibelit untai rantai
polimer
Dicekik kusut masai
tanda tanya
yang tak pernah selesai.
Untuk kelas Polimer Hayati yang (harus) aku cintai
Persetan polimerisasi!
***
Aku takkan pernah bisa
setua
ilmu polimer itu sendiri.
Langkahku tergesa berkejaran
dikejar reaksi propagasi yang merambat tak berkesudahan
dan sebelum terminasi
sempat terjadi
akupun mati
Dibelit untai rantai
polimer
Dicekik kusut masai
tanda tanya
yang tak pernah selesai.
Untuk kelas Polimer Hayati yang (harus) aku cintai
Minggu, 08 Maret 2015
Yang Mana Yang Tertulis, Itulah Yang Menang!
Kamar kosan, 00.18 WIB. Beberapa lembar A4, pensil, fotokopian, kopi, dan laptop beserta koneksi internetnya.
Bahasa. Ya, bahasa. Aku persempit menjadi hanya bahasa verbal, namun selanjutnya hanya akan kusebut dengan bahasa.
Dengan bahasa, spesies manusia berhasil menjadi raksasa. Dengan bahasa, spesies ini berhasil menyebut, menamai, menggolongkan, serta yang paling penting menyimpan dan menyampaikan ide. Ide yang hanya gumpalan imajiner dalam kepala akhirnya menemukan definisi yang sungguh tepat untuk diingat dan disampaikan kepada penerimanya. Memang, untuk sekedar menjadi nyata, ide tersebut cukup tinggal dilaksanakan. Namun adanya ide untuk menciptakan bahasa ini adalah sesuatu yang sungguh... impresif, jika aku tidak ingin secara berlebihan menyebutnya sebagai titik kritis sustainabilitas spesies manusia di dunia.
Namun ide untuk menjadikan bahasa menjadi simbol-simbol yang kini lazim disebut sebagai tulisan adalah hal besar lainnya.
Waktu pun pada akhirnya akan mengaburkan ide-ide imajiner di dalam kepala manusia (akupun teringat akan salah satu tulisan singkatku). Bahasa? Mereka memang menyimpan ide tersebut dan menyampaikannya pada penerimanya. Namun tidak boleh dilupakan bahwa pada akhirnya bahasa hanyalah media. Dia bukan ide itu sendiri. Pada akhirnya ide hanya kembali menjadi ide yang dapat menguap dan hilang untuk selamanya. Dan pada akhirnya datanglah simbol-simbol fisik itu. Abjad. Kata-kata. Frasa. Kalimat. Tulisan. Mungkin sedikit berlebihan, namun aku memandang tulisan adalah usaha manusia untuk mengabadikan idenya secara fisik. Bagaimana bahasa tertulis akhirnya ada tidak kuketahui secara pasti, yang jelas kehadiran bahasa tertulis langsung menuliskan sejarah, menutup era pra-sejarah.
Keindahan sastra, catatan sejarah, penemuan sains, bukti kepemilikan, atau bahkan curhatan seseorang di ujung mautnya, tidak terhitung berapa banyak yang akhirnya hanya berupa awan imajiner ide yang menghilang begitu saja. Hanya yang tertulislah yang akan bertahan dan diakui oleh manusia di sekitarnya, bahkan pada akhirnya oleh si pemilik ide itu. Contoh singkatnya, bayangkanlah sengketa tanah di mana salah satu pihak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan tanah tersebut. Yang tertulis pun menjadi bentuk adaptasi lanjut dari ide untuk dapat bertahan di alam pikiran yang sudah makin penuh sesak dengan ide. Paling tidak itulah yang manusia lakukan untuk mengadaptasikan ide-idenya di tengah alam pertentangan.
Bagiku tidak ada alasan untuk memungkiri bahwa bahasa, ya bahasa verbal, dan tulisan adalah karya terbesar manusia, serta bahwa membaca dan menulis** menjadikan manusia itu menjadi manusia.
*) Dari serapannya dalam bahasa Arab, ilmu dapat berarti "memahami. mengerti, atau mengetahui." Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan. Aku membacanya dari sini.
**) Tentunya dengan disertai transfer ide, baik secara sadar maupun tidak
"Ikatlah ilmu dengan tulisan."*Ali bin Abi Thalib
Bahasa. Ya, bahasa. Aku persempit menjadi hanya bahasa verbal, namun selanjutnya hanya akan kusebut dengan bahasa.
Dengan bahasa, spesies manusia berhasil menjadi raksasa. Dengan bahasa, spesies ini berhasil menyebut, menamai, menggolongkan, serta yang paling penting menyimpan dan menyampaikan ide. Ide yang hanya gumpalan imajiner dalam kepala akhirnya menemukan definisi yang sungguh tepat untuk diingat dan disampaikan kepada penerimanya. Memang, untuk sekedar menjadi nyata, ide tersebut cukup tinggal dilaksanakan. Namun adanya ide untuk menciptakan bahasa ini adalah sesuatu yang sungguh... impresif, jika aku tidak ingin secara berlebihan menyebutnya sebagai titik kritis sustainabilitas spesies manusia di dunia.
Namun ide untuk menjadikan bahasa menjadi simbol-simbol yang kini lazim disebut sebagai tulisan adalah hal besar lainnya.
Waktu pun pada akhirnya akan mengaburkan ide-ide imajiner di dalam kepala manusia (akupun teringat akan salah satu tulisan singkatku). Bahasa? Mereka memang menyimpan ide tersebut dan menyampaikannya pada penerimanya. Namun tidak boleh dilupakan bahwa pada akhirnya bahasa hanyalah media. Dia bukan ide itu sendiri. Pada akhirnya ide hanya kembali menjadi ide yang dapat menguap dan hilang untuk selamanya. Dan pada akhirnya datanglah simbol-simbol fisik itu. Abjad. Kata-kata. Frasa. Kalimat. Tulisan. Mungkin sedikit berlebihan, namun aku memandang tulisan adalah usaha manusia untuk mengabadikan idenya secara fisik. Bagaimana bahasa tertulis akhirnya ada tidak kuketahui secara pasti, yang jelas kehadiran bahasa tertulis langsung menuliskan sejarah, menutup era pra-sejarah.
Keindahan sastra, catatan sejarah, penemuan sains, bukti kepemilikan, atau bahkan curhatan seseorang di ujung mautnya, tidak terhitung berapa banyak yang akhirnya hanya berupa awan imajiner ide yang menghilang begitu saja. Hanya yang tertulislah yang akan bertahan dan diakui oleh manusia di sekitarnya, bahkan pada akhirnya oleh si pemilik ide itu. Contoh singkatnya, bayangkanlah sengketa tanah di mana salah satu pihak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan tanah tersebut. Yang tertulis pun menjadi bentuk adaptasi lanjut dari ide untuk dapat bertahan di alam pikiran yang sudah makin penuh sesak dengan ide. Paling tidak itulah yang manusia lakukan untuk mengadaptasikan ide-idenya di tengah alam pertentangan.
Bagiku tidak ada alasan untuk memungkiri bahwa bahasa, ya bahasa verbal, dan tulisan adalah karya terbesar manusia, serta bahwa membaca dan menulis** menjadikan manusia itu menjadi manusia.
"Siapa yang menulis, dialah yang menang."Saya sendiri.
*) Dari serapannya dalam bahasa Arab, ilmu dapat berarti "memahami. mengerti, atau mengetahui." Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan. Aku membacanya dari sini.
**) Tentunya dengan disertai transfer ide, baik secara sadar maupun tidak
Jumat, 06 Maret 2015
Kehabisan Waktu
Kamar kosan, 22.32 WIB
Jika waktu habis. ke manakah ia pergi?
Apakah waktu habis seperti kentang goreng yang habis tandas kumakan tadi sore? Apakah waktu yang hampir habis terlihat seperti ruang parkir motor Saraga yang makin habis sehingga membuatku kesulitan memarkir motorku kemarin? Apakah aku merasakan waktu yang masih tersisa banyak seperti aku merasakan penuhnya tangki bensin motorku sekeluarku dari pom bensin? Terakhir kali aku ke pom bensin uang dalam dompetku pun habis.
Seperti yang baru-baru ini kudengar, hingga saat ini aku memahami waktu adalah satu-satunya dimensi non spasial yang aku kenali. Di ketiga dimensi spasial, seseorang bebas bergerak maju, mundur, naik, turun, ke kanan, maupun ke kiri. Mundur setelah bergerak adalah hal yang lumrah dan mudah saja dilakukan dalam ketiga dimensi ini. Pergerakan hanya dibatasi secara mutlak oleh gravitasi (bahkan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa gravitasi pun mampu menembus dimensi waktu). Namun bagaimana dengan waktu? Sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang yang "kehabisan waktu"?
Sebelum kuteruskan, sebaiknya kusarankan pada pembaca sekalian agar tidak khawatir. Tenang, tulisan ini tidak akan berubah menjadi sebuah essay ilmiah. Aku sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk menuliskannya. Walaupun aku sering mengalami apa yang tadi kusebut sebagai "kehabisan waktu", aku masih belum bisa merasakan kehadiran waktu, paling tidak sebelum ia hampir habis. Dalam paragraf sebelum ini aku hanya mencoba mengutarakan apa yang kupahami tentang waktu secara singkat. Pun tulisan ini akan segera selesai.
Sebaris lirik lagu pernah mengatakan kepadaku, "Don't waste your time or time will waste you". Sebaris lirik ini menambahkan satu teori lagi bagiku mengenai apa yang terjadi ketika waktu habis. Teori ini mengatakan bahwa ketika waktu "dihabiskan", sebenarnya waktu sedang menghabiskan dan menampung dirinya sendiri. Ia menampung dan ditampung dirinya sendiri pada titik yang tak akan pernah bisa dijamah dengan maju, mundur, naik, turun, ke kanan, ataupun ke kiri. Dan setelah waktu "benar-benar habis", ia akan balik menghantam. Tidak ada yang bisa dilakukan karena pada akhirnya waktu "yang dihabiskan" bahkan tidak bisa dijamah.
...atau belum bisa dijamah. Inilah salah satu perandaian terbesar dalam sejarah. Berandai waktu yang lalu dapat kembali dijamah. Berandai waktu dapat di-refill dengan memesan ke pramusaji. Berandai untuk tidak terlalu terlambat sehingga waktu tidak akan habis dipakai orang lain. Berandai waktu dapat kembali berulang, walau harus dibayar dengan sejumlah besar uang...
For my beloved grandparents, who remind me that I cannot bring the sand in the bottom of my hourglass back up.
And also for the next Wednesday that gives me sensation of running-out-of-time. Please, myself, do something about it.
Jika waktu habis. ke manakah ia pergi?
Apakah waktu habis seperti kentang goreng yang habis tandas kumakan tadi sore? Apakah waktu yang hampir habis terlihat seperti ruang parkir motor Saraga yang makin habis sehingga membuatku kesulitan memarkir motorku kemarin? Apakah aku merasakan waktu yang masih tersisa banyak seperti aku merasakan penuhnya tangki bensin motorku sekeluarku dari pom bensin? Terakhir kali aku ke pom bensin uang dalam dompetku pun habis.
Seperti yang baru-baru ini kudengar, hingga saat ini aku memahami waktu adalah satu-satunya dimensi non spasial yang aku kenali. Di ketiga dimensi spasial, seseorang bebas bergerak maju, mundur, naik, turun, ke kanan, maupun ke kiri. Mundur setelah bergerak adalah hal yang lumrah dan mudah saja dilakukan dalam ketiga dimensi ini. Pergerakan hanya dibatasi secara mutlak oleh gravitasi (bahkan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa gravitasi pun mampu menembus dimensi waktu). Namun bagaimana dengan waktu? Sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang yang "kehabisan waktu"?
Sebelum kuteruskan, sebaiknya kusarankan pada pembaca sekalian agar tidak khawatir. Tenang, tulisan ini tidak akan berubah menjadi sebuah essay ilmiah. Aku sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk menuliskannya. Walaupun aku sering mengalami apa yang tadi kusebut sebagai "kehabisan waktu", aku masih belum bisa merasakan kehadiran waktu, paling tidak sebelum ia hampir habis. Dalam paragraf sebelum ini aku hanya mencoba mengutarakan apa yang kupahami tentang waktu secara singkat. Pun tulisan ini akan segera selesai.
Sebaris lirik lagu pernah mengatakan kepadaku, "Don't waste your time or time will waste you". Sebaris lirik ini menambahkan satu teori lagi bagiku mengenai apa yang terjadi ketika waktu habis. Teori ini mengatakan bahwa ketika waktu "dihabiskan", sebenarnya waktu sedang menghabiskan dan menampung dirinya sendiri. Ia menampung dan ditampung dirinya sendiri pada titik yang tak akan pernah bisa dijamah dengan maju, mundur, naik, turun, ke kanan, ataupun ke kiri. Dan setelah waktu "benar-benar habis", ia akan balik menghantam. Tidak ada yang bisa dilakukan karena pada akhirnya waktu "yang dihabiskan" bahkan tidak bisa dijamah.
...atau belum bisa dijamah. Inilah salah satu perandaian terbesar dalam sejarah. Berandai waktu yang lalu dapat kembali dijamah. Berandai waktu dapat di-refill dengan memesan ke pramusaji. Berandai untuk tidak terlalu terlambat sehingga waktu tidak akan habis dipakai orang lain. Berandai waktu dapat kembali berulang, walau harus dibayar dengan sejumlah besar uang...
For my beloved grandparents, who remind me that I cannot bring the sand in the bottom of my hourglass back up.
And also for the next Wednesday that gives me sensation of running-out-of-time. Please, myself, do something about it.
Langganan:
Komentar (Atom)