Kamar kosan, 22.32 WIB
Jika waktu habis. ke manakah ia pergi?
Apakah waktu habis seperti kentang goreng yang habis tandas kumakan tadi sore? Apakah waktu yang hampir habis terlihat seperti ruang parkir motor Saraga yang makin habis sehingga membuatku kesulitan memarkir motorku kemarin? Apakah aku merasakan waktu yang masih tersisa banyak seperti aku merasakan penuhnya tangki bensin motorku sekeluarku dari pom bensin? Terakhir kali aku ke pom bensin uang dalam dompetku pun habis.
Seperti yang baru-baru ini kudengar, hingga saat ini aku memahami waktu adalah satu-satunya dimensi non spasial yang aku kenali. Di ketiga dimensi spasial, seseorang bebas bergerak maju, mundur, naik, turun, ke kanan, maupun ke kiri. Mundur setelah bergerak adalah hal yang lumrah dan mudah saja dilakukan dalam ketiga dimensi ini. Pergerakan hanya dibatasi secara mutlak oleh gravitasi (bahkan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa gravitasi pun mampu menembus dimensi waktu). Namun bagaimana dengan waktu? Sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang yang "kehabisan waktu"?
Sebelum kuteruskan, sebaiknya kusarankan pada pembaca sekalian agar tidak khawatir. Tenang, tulisan ini tidak akan berubah menjadi sebuah essay ilmiah. Aku sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk menuliskannya. Walaupun aku sering mengalami apa yang tadi kusebut sebagai "kehabisan waktu", aku masih belum bisa merasakan kehadiran waktu, paling tidak sebelum ia hampir habis. Dalam paragraf sebelum ini aku hanya mencoba mengutarakan apa yang kupahami tentang waktu secara singkat. Pun tulisan ini akan segera selesai.
Sebaris lirik lagu pernah mengatakan kepadaku, "Don't waste your time or time will waste you". Sebaris lirik ini menambahkan satu teori lagi bagiku mengenai apa yang terjadi ketika waktu habis. Teori ini mengatakan bahwa ketika waktu "dihabiskan", sebenarnya waktu sedang menghabiskan dan menampung dirinya sendiri. Ia menampung dan ditampung dirinya sendiri pada titik yang tak akan pernah bisa dijamah dengan maju, mundur, naik, turun, ke kanan, ataupun ke kiri. Dan setelah waktu "benar-benar habis", ia akan balik menghantam. Tidak ada yang bisa dilakukan karena pada akhirnya waktu "yang dihabiskan" bahkan tidak bisa dijamah.
...atau belum bisa dijamah. Inilah salah satu perandaian terbesar dalam sejarah. Berandai waktu yang lalu dapat kembali dijamah. Berandai waktu dapat di-refill dengan memesan ke pramusaji. Berandai untuk tidak terlalu terlambat sehingga waktu tidak akan habis dipakai orang lain. Berandai waktu dapat kembali berulang, walau harus dibayar dengan sejumlah besar uang...
For my beloved grandparents, who remind me that I cannot bring the sand in the bottom of my hourglass back up.
And also for the next Wednesday that gives me sensation of running-out-of-time. Please, myself, do something about it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar