Sabtu, 28 Maret 2015

Warna (1)

Sabuga, arak-arakan wisuda.

Siang. Warna-warna tidak tahan lagi berbisik.
Berisik.

kuning, merah, biru muda, biru tua,
pedagang siomay, orator, kakek pemain kecapi,
paman pemain ukulele
hitam, ia yang duduk nyaman di jok belakang Toyota Camry,
juru potret, orang-orang yang menunggu, magenta,
orang-orang kehausan, hijau toska, ia yang hampir tertidur di bawah pohon,
penjual balon
memegang dagangannya, balon
berwarna kuning, hijau pupus, biru langit, coklat,
warna pink yang menusuk
mata penjual balon itu berdarah
seperti mata penjaja kerak telor di dekatnya.

Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.

Semua menjauh, takut dihempas parade.
Mereka mencari tempat yang lebih tinggi, juga sunyi
menyelamatkan eksistensi. Menyelamatkan diri.
Yang tidak mampu memanjat berlarian di bawah
bayang-bayang, di mana takkan ada yang akan mengenali mereka
mereka bersembunyi di balik
pohon.

Parade penuh warna
hijau, biru, oranye, kuning, violet, broken white, hitam, hitam, hitam
metalik
seperti merak
merah, merah, merah muda, darah muda,
burung-burung muda beterbangan di sela-sela
mereka.
Xilofon, gramofon, menakut-nakuti si xenofobia.
dan semua terbawa
dan parade membawa
dan parade terbawa
ombak raksasa.

"Kalian akan menghilang!"

***

Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.

Warna-warna tetap ada
dan semua ikut bernyanyi
semua ikut berparade
ikut bermain xilofon
meneriakkan nama-nama
suka-suka mereka
hanya aku yang dininabobokan (dihempas) keramaian
di bawah pohon, aku akhirnya tertidur
dan aku tidak bermimpi indah
aku bermimpi tidur tanpa mimpi
aku bermimpi aku tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar