Untuk VC
"Sisilia" senandung sang bapa.
Dan ia mati dalam tawanya. Bahagia.
Dengan ingah-ingih mencuri judul dari Komunal.
Bandung, 02.52 WIB
Jumat, 06 November 2015
Selasa, 03 November 2015
Apapun Judulnya
Untuk ST.
Kupandang tubuh yang pulas di hadapanku itu. Anarki terpampang di lengannya. Tegas dan keras.
Anjing! Segumpal jiwa berbalut raga di depanku. Ia tidak sedang kelelahan. Hanya saja, ide dan tenaga juga butuh diam, mundur sejenak sebelum menghantam lebih kejam, hingga lebam berdebam.
Ia, yang rajin menggunting dan menempel potongan-potongan hidupnya, menjadi bentuk kehidupan lainnya. Ia, yang melafalkan bait "Tuhan Sudah Mati" dari Also Sprach Zarathustra selepas Al-Fatihah di penghujung tiap rakaat tahajudnya. Ia, yang akan menikammu dengan akustik dan semantik tepat di jantungmu. Matilah. Darahmu akan habis mendidih karenanya.
Anjing!
Hidup, terbentang di antara sudut-sudut ufuk, tak henti mencambuk. Siang penuh perang, berganti malam penuh cinta. Tak henti mendera. Dan ia bukan manusia tanpa luka. Digaraminya bekas-bekas kehidupan agar makin merdu rintihnya. Kau pasti paham, kehidupan tidak boleh berhenti karena luka yang digarami.
Anjing!
Dengarlah lolong anjing di penghujung pesing malammu. Apakah ia sedang memimpikan anjing-anjing bersenandung merdu dalam pulas sesaatnya?
Om.
Bandung, 4.04 WIB
Kupandang tubuh yang pulas di hadapanku itu. Anarki terpampang di lengannya. Tegas dan keras.
Anjing! Segumpal jiwa berbalut raga di depanku. Ia tidak sedang kelelahan. Hanya saja, ide dan tenaga juga butuh diam, mundur sejenak sebelum menghantam lebih kejam, hingga lebam berdebam.
Ia, yang rajin menggunting dan menempel potongan-potongan hidupnya, menjadi bentuk kehidupan lainnya. Ia, yang melafalkan bait "Tuhan Sudah Mati" dari Also Sprach Zarathustra selepas Al-Fatihah di penghujung tiap rakaat tahajudnya. Ia, yang akan menikammu dengan akustik dan semantik tepat di jantungmu. Matilah. Darahmu akan habis mendidih karenanya.
Anjing!
Hidup, terbentang di antara sudut-sudut ufuk, tak henti mencambuk. Siang penuh perang, berganti malam penuh cinta. Tak henti mendera. Dan ia bukan manusia tanpa luka. Digaraminya bekas-bekas kehidupan agar makin merdu rintihnya. Kau pasti paham, kehidupan tidak boleh berhenti karena luka yang digarami.
Anjing!
Dengarlah lolong anjing di penghujung pesing malammu. Apakah ia sedang memimpikan anjing-anjing bersenandung merdu dalam pulas sesaatnya?
Om.
Bandung, 4.04 WIB
Hujan Dalam (de)Komposisi, 4
Mengapa hujan turun sewarna darah? Di kotaku, pria wanita tua muda bersujud, menagih hujan yang dijanjikan oleh musim. Agaknya dahaga bangsa kali ini cukup parah hingga teh gelas yang biasa dijajakan pengasong di macet Dago tidak mampu membanjurnya lagi. Terlebih, lima hari ini aku tidak melihatnya di perempatan. Barangkali ia ikut bersujud dan menagih. Ia sudah sering dihutangi.
Mengapa hujan turun? Sesekali ia turun, namun hanya sayat tajamnya di wajahku yang diabadikan oleh rintik. Begitu pula asap. Ia turun dari cerobong-cerobong pabrik tukang bikin kefanaan. Kurang pedihkah hidup warga kota dan desa hingga kefanaan harus diproduksi tanpa henti? Para bos, tukang sewa tanah dan kontraktor tidak sadar pekarangan bungalo mereka memerah darah.
Mengapa? Ah, sudahlah. Seorang ayah tergolek di setapak merah darah. Kepalanya digergaji.
Paling tidak, hujan sesekali turun. Sesekali tagihan kami dibayar.
Bandung, 3 November 2015
Mengapa hujan turun? Sesekali ia turun, namun hanya sayat tajamnya di wajahku yang diabadikan oleh rintik. Begitu pula asap. Ia turun dari cerobong-cerobong pabrik tukang bikin kefanaan. Kurang pedihkah hidup warga kota dan desa hingga kefanaan harus diproduksi tanpa henti? Para bos, tukang sewa tanah dan kontraktor tidak sadar pekarangan bungalo mereka memerah darah.
Mengapa? Ah, sudahlah. Seorang ayah tergolek di setapak merah darah. Kepalanya digergaji.
Paling tidak, hujan sesekali turun. Sesekali tagihan kami dibayar.
Bandung, 3 November 2015
Senin, 02 November 2015
Sebuah Cerita Tanpa Bentuk Tentang Pikiranku
Perjalanan hidupku adalah perjalanan pikiran. Ya, pikiran. Pikiranku, tanpa mengajak raga dan perbuatanku sudah berjalan jauh. Jurang tergelap di bumi? Puncak-puncak tertinggi? Semua sudah lunas ia datangi, tanpa mengajak siapapun. Ragaku, perbuatanku - aku cemburu.
***
"Rilis itu kebanyakan mikir sampe nggak kerja-kerja anaknya."
Baru tadi seorang teman bercerita tentang komentar mantan dosen pembimbingku tentang aku. Kebetulan teman ini dulu satu bimbingan denganku. Memang banyak alasan yang (bisa dibuat-buat yang) membuatku memutuskan pindah pembimbing dan mengganti topik tugas akhirku. Entah itu tidak cocok dengan topiknya, entah bapak pembimbing yang sulit ditemui, dan lain-lainnya. Namun apa yang Beliau katakan sama sekali tidak salah. Aku sudah hampir menjalankan satu percobaan, namun karena terlalu banyak perhitungan akan semua kendalanya, aku ragu untuk melanjutkannya. Hal ini, beserta puluhan alasan lainnya, akhirnya memicuku untuk menghentikan bimbinganku dengan beliau
catatan: pada akhirnya percobaan ini dijalankan oleh anak bimbingan lain dengan mudahnya.
Apa? Ternyata begitu saja? Akh... keraguan, oh keraguan. Begitu buruknya kacamata yang kau tawarkan untukku memandang masa depan.
Entah sudah berapa orang mengatakan padaku akhir-akhir ini. Kamu terlalu banyak mikir, Lis. Kamu ragu-ragu ya, Lis? Sudahlah, jalani saja dulu. Westalah, lakoni ae, engko sing pengen mbok goleki lak ketemu-ketemu dhewe. Dan entah apa lagi. Nggoleki? Mencari-cari? Sebenarnya apa sih yang ingin dicari oleh keraguanku? Hmmm. Kondisi ideal? Idealisme paling sempurna? Mencarinya saja aku (ehm, lebih tepatnya keraguanku) tidak pernah bisa melakukannya dengan benar. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari pencarian ini? Setan alas.
Seorang teman yang lain pernah berbicara padaku. "Hiduplah dengan penuh tenaga. Penuh tindakan agar kamu tidak mati. Sekali berhenti, habis sudah". Tidak sekali ini segala usahaku terhenti karena keraguanku. Berpindah-pindah interest akibat terlalu memikirkan baik-buruknya, menggalaukan mengapa aku harus melakukan semua ini?, stress menghadapi tetek-bengek baik kecil maupun besar dari apa yang aku jalani, sampai berhenti menjalaninya. Semua berpangkal dari keraguan akibat terlalu banyak berpikir. Jadilah aku tanpa tenaga, tanpa tindakan. Mati sudah.
Yah, bagaimana. Aku bisa menciptakan beribu alasan atas sikap terlalu banyak berpikirku ini (Luar biasa kamu, wahai pikiran yang budiman. Sialan). Didikan sedari kecil. Pengalaman di masa sekolah menengah. Terlalu banyaknya pilihan. Terlalu sedikitnya waktu. Pengalaman buruk lainnya lagi. Terlalu sulitnya memilih. Terlalu lemahnya aku. Akh, sudah.
Aku tidak ingin mengalami penolakan lagi. Aku tidak mau denial. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku sudah terlanjur berada di titik ini. Puluhan, mungkin ratusan, mungkin lebih, pilihan, kiprah, tanggungjawab, dan mimpi menghampar di depan mata. Semuanya takkan kudapatkan bila aku diam saja, tidak berbuat apa-apa.
Bagi sebagian orang masalahku ini tentu bukan masalah besar. Namun bagiku ini masalah besar. Tindakanku sering terjegal permasalahan ini. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana rasanya bertawakkal. Lupa bahwa Sang Maha ada.
I need to move on. Dan sudah terbukti, keraguanku tidak pernah membawaku kemana-mana.
Kata Rene Descartes, cogito ergo sum. Ndasmu a mbah, Aku sudah terlalu banyak berpikir.
Bandung, 2.02 WIB
***
"Rilis itu kebanyakan mikir sampe nggak kerja-kerja anaknya."
Baru tadi seorang teman bercerita tentang komentar mantan dosen pembimbingku tentang aku. Kebetulan teman ini dulu satu bimbingan denganku. Memang banyak alasan yang (bisa dibuat-buat yang) membuatku memutuskan pindah pembimbing dan mengganti topik tugas akhirku. Entah itu tidak cocok dengan topiknya, entah bapak pembimbing yang sulit ditemui, dan lain-lainnya. Namun apa yang Beliau katakan sama sekali tidak salah. Aku sudah hampir menjalankan satu percobaan, namun karena terlalu banyak perhitungan akan semua kendalanya, aku ragu untuk melanjutkannya. Hal ini, beserta puluhan alasan lainnya, akhirnya memicuku untuk menghentikan bimbinganku dengan beliau
catatan: pada akhirnya percobaan ini dijalankan oleh anak bimbingan lain dengan mudahnya.
Apa? Ternyata begitu saja? Akh... keraguan, oh keraguan. Begitu buruknya kacamata yang kau tawarkan untukku memandang masa depan.
Entah sudah berapa orang mengatakan padaku akhir-akhir ini. Kamu terlalu banyak mikir, Lis. Kamu ragu-ragu ya, Lis? Sudahlah, jalani saja dulu. Westalah, lakoni ae, engko sing pengen mbok goleki lak ketemu-ketemu dhewe. Dan entah apa lagi. Nggoleki? Mencari-cari? Sebenarnya apa sih yang ingin dicari oleh keraguanku? Hmmm. Kondisi ideal? Idealisme paling sempurna? Mencarinya saja aku (ehm, lebih tepatnya keraguanku) tidak pernah bisa melakukannya dengan benar. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari pencarian ini? Setan alas.
Seorang teman yang lain pernah berbicara padaku. "Hiduplah dengan penuh tenaga. Penuh tindakan agar kamu tidak mati. Sekali berhenti, habis sudah". Tidak sekali ini segala usahaku terhenti karena keraguanku. Berpindah-pindah interest akibat terlalu memikirkan baik-buruknya, menggalaukan mengapa aku harus melakukan semua ini?, stress menghadapi tetek-bengek baik kecil maupun besar dari apa yang aku jalani, sampai berhenti menjalaninya. Semua berpangkal dari keraguan akibat terlalu banyak berpikir. Jadilah aku tanpa tenaga, tanpa tindakan. Mati sudah.
Yah, bagaimana. Aku bisa menciptakan beribu alasan atas sikap terlalu banyak berpikirku ini (Luar biasa kamu, wahai pikiran yang budiman. Sialan). Didikan sedari kecil. Pengalaman di masa sekolah menengah. Terlalu banyaknya pilihan. Terlalu sedikitnya waktu. Pengalaman buruk lainnya lagi. Terlalu sulitnya memilih. Terlalu lemahnya aku. Akh, sudah.
Aku tidak ingin mengalami penolakan lagi. Aku tidak mau denial. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku sudah terlanjur berada di titik ini. Puluhan, mungkin ratusan, mungkin lebih, pilihan, kiprah, tanggungjawab, dan mimpi menghampar di depan mata. Semuanya takkan kudapatkan bila aku diam saja, tidak berbuat apa-apa.
Bagi sebagian orang masalahku ini tentu bukan masalah besar. Namun bagiku ini masalah besar. Tindakanku sering terjegal permasalahan ini. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana rasanya bertawakkal. Lupa bahwa Sang Maha ada.
I need to move on. Dan sudah terbukti, keraguanku tidak pernah membawaku kemana-mana.
Kata Rene Descartes, cogito ergo sum. Ndasmu a mbah, Aku sudah terlalu banyak berpikir.
Bandung, 2.02 WIB
Rigor Mortis
Sejarah
kata-kata buta
dan tatapmu yang dingin
membekukan: udara, waktu, dan doa
juga: tubuh-tubuh tanpa nyawa.
Ajalku tak ingin upacara menggugah
tubuhku tak perlu mausoleum megah.
Cukup cakram senja merah:
Membakar. Segalanya sudah.
Tubuhku kaku. Terbujur di liku zaman yang beku.
Bandung, 01.18 WIB
kata-kata buta
dan tatapmu yang dingin
membekukan: udara, waktu, dan doa
juga: tubuh-tubuh tanpa nyawa.
Ajalku tak ingin upacara menggugah
tubuhku tak perlu mausoleum megah.
Cukup cakram senja merah:
Membakar. Segalanya sudah.
Tubuhku kaku. Terbujur di liku zaman yang beku.
Bandung, 01.18 WIB
Langganan:
Komentar (Atom)