Kamis, 17 November 2016

[Sebuah Pengantar] Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala: Jejak Jihad Seorang Ikhwan

Saat saya membaca calon judul kumpulan cerpen ini, rasa penasaran menghampiri kedua belah otak saya. Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Saya berpikir, dari pengajian manakah Asra Wijaya memperoleh judul ini? Judul empat kata ini sekilas terdengar sangat islami. Namun saya agak kesulitan menangkap maksud utuh dari judul ini. Setelah saya konfirmasikan kepada Asra, ternyata saya cukup mengambil huruf pertama dari tiap-tiap kata judul itu untuk memahami maksud judul itu. Rupanya, melalui singkatan judul itu Asra hendak “memperkenalkan dirinya” dengan tipe kepribadian Myers-Briggs yang dia miliki :INFP. Tipe kepribadian yang acap saya temui pada kawan-kawan sesama penulis. Tipikal manusia penuh mimpi yang selalu tertarik dengan ide-ide besar. Memang demikianlah Asra. Ia selalu tertarik dengan keindahan dunia sastra dan narasi-narasi besar tentang kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Setelah berhasil bersabar menelisik lebih dalam makna per katanya, saya menemukan bahwa ternyata judul ini lebih dari sekedar perkenalan seorang Asra Wijaya secara umum. Melalui judul ini, Asra juga hendak memperkenalkan sebuah fase kehidupan yang telah ia lewati. Lebih tepatnya, sebuah fase yang ditutup oleh penulisan cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku ini: seorang ikhwan yang selalu mendedikasikan segenap pikiran dan perbuatanya untuk mencari pahala dari Tuhan.
Judul ini juga menggambarkan bagaimana Asra seolah hendak melakukan otokritik terhadap semua batasan yang ia pegang teguh sebelumnya, yang tergambarkan dengan sangat baik melalui tiap cerita dalam kumpulan ini. Hidup di kalangan yang cukup religius dan mengenyam pendidikan di sekolah menengah semi-pesantren, Asra tumbuh menjadi sesosok pemuda agamis yang rajin mencari pahala, lengkap dengan batasan-batasan agama yang ia pelajari dari keluarga, guru-guru, dan kakak-kakak mentornya.
Asra pada masa itu mengambil posisi yang cukup tegas dalam memandang hidup. Posisi yang tegas ini jelas berasal dari pemahaman pribadi Asra terhadap agama Islam. Ini bertahan kira-kira hingga setahun lalu, saat Asra semakin dalam berkenalan dengan betapa beragamnya manusia selama ia berkuliah di Bandung. Perkenalan ini juga dibarengi oleh sebuah kesadaran, atau lebih tepatnya keresahan, yang Asra alami. Pada suatu titik, Asra menyadari bahwa selama duapuluh tiga tahun kehidupannya ia merasa sudah terlalu banyak menelan kekalahan. Pengalaman dan kekalahan yang telah Asra rasakan ini membuatnya mulai merenungkan bahwa pada akhirnya kebaikan dalam hidup tidak dapat melulu dinilai dengan seberapa banyak pahala yang ia kumpulkan. Bagai katak yang keluar dari tempurungnya, Asra mulai bersentuhan dengan dunia dan dimensi-dimensinya yang sangat luas, yang ke depannya memunculkan lebih banyak perenungan tentang hidup. Asra, seorang ikhwan yang pada awalnya sekedar mendamba pahala, akhirnya dihadapkan dengan masa-masa penuh konflik batin dan perenungan tentang kehidupannya.
Fase Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala mungkin memang sudah dilewati oleh Asra. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan dan pemikiran Asra di masa itu sangat mempengaruhi kepenulisan Asra saat itu dan ke depannya. Demikian pula kekalahan-kekalahan yang mulai secara samar ia rasakan: seluruhnya mengendap dan teramu dengan baik menjadi kumpulan cerpen ini.

***

Asra Wijaya sudah bergelut cukup lama di dunia sastra dan literasi. Semenjak SMP, Asra sudah biasa membaca majalah sastra Horison dan karya-karya sastra lainnya, di samping menulis sajak-sajak lepas yang beberapa di antaranya pernah dimuat oleh koran lokal. Beberapa karya awalnya terkumpul dalam antologi Sajak-Sajak Luka yang ia terbitkan secara swadaya di penghujung masa SMA-nya dan disebarkan sebanyak sepuluh eksempelar kepada kawan-kawan dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesianya. Sebenarnya, dibandingkan dengan bentuk-bentuk sastra lainnya, Asra lebih akrab dengan puisi. Hal itu ditunjukkan oleh Asra dengan antologi-antologi yang terbit setelahnya, Wasiat (2015) dan AH (2015), yang memuat puisi-puisi Asra medio 2009 sampai 2015, juga sajak-sajak lepasnya yang lain. Walau demikian, Asra juga berusaha mengakrabi tulisan dalam bentuk cerpen. Cerpen yang sudah ditulis oleh Asra dapat dibaca dalam kumpulan ini dan kumpulan lain berjudul Pungutan Ingatan yang akan terbit bersamaan dengan buku ini.
Berbeda dengan Pungutan Ingatan yang seluruh isinya dibuat pada tahun 2016, Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala kebanyakan memuat cerita-cerita yang ditulis antara tahun 2011 dan 2012, kecuali cerita tambahan “Iwan dan Keluarga Kebunnya” yang ditulis Asra pada 2015 sebagai cerita bersambung di laman Facebooknya. Membandingkan kedua era kepenulisan ini, kita dapat melihat perkembangan Asra dalam menulis cerita pendek, mulai dari teknik, topik yang diangkat, hingga penokohan dan konflik cerita. Dibandingkan dengan Pungutan Ingatan, Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala memuat topik yang belum terlalu beragam: berputar-putar antara hubungan dengan keluarga (seperti pada cerita “Sepeda Sore” dan “Cinta di Sekotak Kurma Tunisia”), teman (“Hukuman Alfa”, “Pengen Hidup Seratus Persen Aja”), kehidupan asmara (“Payung Biru, Kamera, dan Lelaki Biola”, “Tujuh Hari Penasaran Tigaperempat Mati”), atau perpaduan dari topik-topik tadi (“Salah Paham”, “Aku Diculik, Bang!”). Pemilihan topik tadi tidak terlepas dari gaya bercerita Asra yang cenderung bersifat recounting. Apa yang Asra tulis dalam kumpulan ini tidak pernah terlepas dari apa yang ia alami sehari-hari. Asra sendiri mengakui bahwa kebanyakan cerita yang ia tulis terinspirasi dari pengalamannya dengan keluarga, kawan-kawan, juga hubungan asmaranya.
Tentunya, terdapat masalah utama yang mengemuka dari topik-topik tersebut. Permasalahan-permasalahan pada cerita-cerita ini dikupas dengan pisau yang cenderung normatif dan bersifat monokromatik, di mana Asra membedakan secara tegas sesuatu yang dinilai baik dengan yang buruk dan menghadapkan keduanya secara frontal. Hal ini sangat terlihat misalnya pada cerita “Cinta Hakiki?”, di mana diperoleh kesimpulan akhir dari nasehat ayah Anton yang menyimpulkan, “...jangan sampai kalian kehilangan cinta kalian. Cintailah keluarga kita ini. Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka, begitu kata Tuhan dalam Al-Qur’an. Cintailah sesuatu yang halal dengan cara yang halal, niscaya kemudian Allah akan membimbing kalian menemukan cinta yang sesungguhnya.” Dari kesimpulan ini, terlihatlah posisi moral yang diambil Asra dalam menyampaikan isi ceritanya. Pola-pola penyimpulan seperti ini juga acap dijumpai pada cerita-cerita lainnya dalam buku ini. Metode dan posisi moral seperti itu tidak lepas dari bahan bacaan Asra di waktu itu, seperti tulisan-tulisan Habiburrahman El-Shirazy, Tere Liye, dan Salim A. Fillah, yang juga acap menyampaikan cerita secara normatif dan monokromatik dari sudut pandang Islam.
Seperti yang telah disebut di atas, Asra gemar menyampaikan cerita secara recounting tanpa terlalu banyak mengkreasi plot-plot tambahan yang melenceng terlalu jauh dari apa yang ia alami sendiri. Selain pengalaman-pengalaman yang bersifat menyenangkan atau inspiratif, Asra juga tak segan menyampaikan suasana canggung yang ia rasakan (sebuah bentuk kekalahan?) dalam cerita-ceritanya. Salah satu contoh yang gamblang terlihat pada cerita “Penyair, Pemalu, Pencemburu”. Pada cerita ini, Ahbab, sang tokoh utama, digambarkan mengalami kegagalan dalam urusan asmara dan mengalami kecanggungan yang tak tertahankan saat bergaul dengan kawan-kawannya di sekolah. Contoh lain tampak pula pada cerita “Salah Paham”, saat dengan canggungnya Andi mengajak Shalika menikah untuk menghindari pacaran, padahal mereka berdua baru bersekolah di bangku SMA. Seperti kebanyakan cerita lainnya, kedua cerita ini diselesaikan dengan langkah yang cenderung monokromatik. Pada kisah Ahbab, ia dikisahkan bertemu dengan seorang “wali” yang menasehati dia untuk meningkatkan kualitas dirinya, karena “...perempuan yang baik itu untuk lelaki yang baik...”, juga menyuruh berhati-hati agar cintanya tidak bercampur dengan nafsu. Sedangkan untuk Andi, dalam cerita ia digambarkan berhasil menyelesaikan masalahnya berkat bantuan dan nasehat dari kawan-kawan serta orang tua-orang tua yang bijak.
Hingga titik ini, makin terlihat bagaimana Asra memandang masalah-masalah yang terjadi sehari-hari di sekitarnya sesuai dengan posisi moral yang diambil Asra pada waktu itu. Namun dalam kumpulan ini juga ditemui beberapa cerita yang mulai menunjukkan pergeseran pandangan Asra, di mana dia mulai sedikit menjauhi pandangan monokromatik yang menjadi ciri utama Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Cerita “Salah Paham” sendiri juga mulai menunjukkan bahwa pandangan kaku seorang Andi terhadap hubungan pria-wanita dapat membawanya pada kesulitan. Selain itu, kisah “Balada Pil Pintar 119” juga menunjukkan bahwa untuk memperoleh hasil yang maksimal tidak hanya dibutuhkan kejujuran—seperti yang berkali-kali ditekankan oleh Iwin dalam cerita itu—namun juga kerja keras menuju apa yang diharapkan tersebut. Secara per se, kedua cerita tadi memang terlihat monokromatik. Namun apabila disandingkan dengan cerita-cerita lainnya, kedua cerita ini memperkaya sudut pandang moral yang diambil oleh Asra dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala. Kedua cerita ini pada akhirnya juga menonjolkan dimensi otokritik yang dikandung Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala terhadap pandangan monokromatik yang sebelumnya dipegang teguh oleh Asra.
Dari segi teknik, dalam kumpulan cerpen ini Asra beberapa kali melakukan eksperimen dengan plot twist, seperti pada “Penyair, Pemalu, Pencemburu”, “Dalam Kerangka”, “Ada yang Tidak Bisa Dikopi?”, “Hukuman Alfa”, dan masih banyak yang lainnya. Dapat dilihat bahwa di sini Asra terinspirasi dari berbagai karya yang menggunakan teknik-teknik sejenis. Malahan, sangat terlihat bahwa alur bolak-balik yang digunakan pada cerita “Dalam Kerangka” dan “Ada yang Tidak Bisa Dikopi?” sangat terinspirasi oleh Memento Mori (2001) karya Jonathan Nolan yang selanjutnya diadaptasi dalam film Memento pada tahun yang sama oleh Christopher Nolan. Sayangnya, masih terdapat banyak plot hole dan kurang sinkronnya alur yang beberapa kali ditemui pada beberapa cerita. Eksperimentasi yang dilakukan Asra dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala ini memang belum dapat dikatakan matang, terlebih mengingat kurangnya jam terbang Asra dengan cerpen apabila dibandingkan dengan puisi.
Ada yang menarik dari seri penutup kumpulan cerpen ini, “Iwan dan Keluarga Kebunnya”. Pada cerita yang relatif lebih baru dibandingkan dengan cerita-cerita lainnya ini, Asra menggunakan teknik figuratif dengan melakukan personifikasi terhadap objek-objek alamiah dalam cerita. Dalam seri ini, objek-objek tadi digambarkan bermonolog menyampaikan nasib mereka di bawah “rezim” manusia yang mengeksploitasi mereka kepada pembaca dengan sangat terang. Teknik figuratif ini seolah merupakan perpanjangan tangan dari kemampuan Asra mengolah bahasa puitik dan menggali keindahan dari dalamnya. Tema yang diambil pun juga agak berbeda dibandingkan dengan cerita-cerita sebelumnya. Walau pada awalnya masih berkutat pada tema keluarga, permasalahan dalam cerita ini mulai berani merembet ke ranah konflik manusia dengan lingkungannya. Saat menulis cerita ini sebagai cerita bersambung, kebetulan Asra juga mulai mendalami masalah ekofenomenologi. Di saat itu, Asra sepertinya terpengaruh oleh tulisan-tulisan karya Saras Dewi dan lagu-lagu Sisir Tanah yang banyak membicarakan permasalahan ekofenomenologi dan relasi antara manusia dengan lingkungan tempatnya tinggal. Pada akhirnya, sebagai penutup, cerpen berseri ini—juga cerpen-cerpen lainnya—menunjukkan bahwa seorang penulis memang tidak akan pernah lepas dari kondisi sekitar yang ia geluti. Tinggal bagaimana kepekaan penulis tadi terhadap kondisi-kondisi itu dan mengolahnya menjadi karya-karya yang bermutu.

***

Asra sendiri pun mengakui bahwa masih banyak kekurangan di sana-sini dalam cerita-cerita di buku ini. Walau demikian, saya tidak merasa bahwa pengumpulan cerpen-cerpen dalam Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala ini kehilangan manfaatnya begitu saja. Dalam kumpulan cerpen ini dapat dijumpai pandangan-pandangan dan gaya kepenulisan yang khas dari Asra di masa-masa penulisan ke-20+1 cerita ini. Ikhwan Nan Fikrahnya Pahala pun menjadi dokumentasi yang representatif bagi jejak-jejak kepenulisan Asra medio 2011-2012 (+2015) dalam menulis cerpen. Gaya kepenulisan Asra mungkin mengalami pergeseran. Ikhwan yang keras berjihadmenggeluti dunia pemikiran, literasi, dan sastra ini memang tidak mengharamkan pacaran lagi, seperti yang acap ia lakukan via cerpen-cerpennya. Namun, bukankan manusia memang selalu akrab dengan perubahan? Johann Wolfgang von Goethe pernah menyebutkan, “yang lalu biarlah berlalu, kematian ada di setiap kata-kata”. Bagi saya, perubahan yang terjadi pada manusia adalah sebuah kematian yang diikuti oleh lahirnya sosok baru dari manusia itu. Proses dokumentasi dari kematian tadi dilakukan tidak hanya sebagai obituari yang layak baginya, namun juga sebagai cermin yang jernih bagi diri sendiri untuk mempersiapkan diri menyambut perubahan-perubahan selanjutnya.

Bandung, 3-4 November 2016
Rilis Eka Perkasa
Pengamat Lalat Yang Terperangkap Dalam Segelas Es Jeruk

ISH Tiang Bendera ITB

Senin, 12 September 2016

Takbiran

Pengelana kapiran,
ayo kita takbiran!

paksa Ia jawab
ini sunyi tanpa akhiran!

Bandung, 2016

Jumat, 09 September 2016

Merah Mawar

Apa maumu, hai bunga mawar?
Merahmu menggelora bara jiwa
sementara dedurian menatap nanar.

Pada jeda mahkotamu
kujumpai hati punya banyak sisi.

Di puncak hatiku asmara mekar
di sanalah luka menancap mengakar
di lembah aku melangkah tertatih
kehendak ingin menggapai tangkai
parasmu bagi haus penawar
sukmamu pelipur hati yang letih.

Tak kunjung kujumpa jalan
pun setapak menuju hatimu
menuju jurang tak berdasar.
Menggapai wangimu
langkahku nyasar
mencapai merahmu
pandangku berdarah.

Di dasar jurang hatiku
kaugoreskan nestapa
serupa darah, sewarna mawar.

Apa maumu, wahai sekuntum mawar?

Bandung, 2016
Reinterpretasi dari Puisi Johann Wolfgang van Goethe yang berjudul Heidenröslein dan lirik lagu Rammstein dengan judul Rosenrot.

Rabu, 31 Agustus 2016

Percakapan Di Tepi Pantai

Untuk H

di atas pasir kau berdiri tegak
bersama angin hamburkan tatap malu-malu
darahku berdesir, seperti laut di bawah kakiku

mati telah segala langkah
lantak luluh dihajar ombak
laut di bawahku terban
hanya bergayut gelakmu, aku mabuk

aku rindu ombak
aku rindu mabuk
aku rindu laut

aku rindu pantai
juga dirimu. senyum merinai.

hujan jatuh di tepi pantai.

Bandung, 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Invictus

Dalam saput kelam malam
hanya hitam dari awal ke ujung.
Terima kasih! Siapapun Kau entah
atas jiwaku yang tiada terjajah

dalam cengkeram keadaan:
gidik tangis aku tak akan.
Dihajar kesempatan:
sirah berdarah, namun tunduk tak akan.

Di atas loka murka dan duka
samar ngeri bayang menghitam.
Wahai Kala yang mengancam!
Lihat, dan lihatlah! Aku tak gentar.

Tak acuh sempit pintu terbuka
tak peduli deras dera kuterima.
Akulah tuan bagi takdirku
Akulah nahkoda dalam sukmaku.

William Ernest Henley
Diterjemahkan secara bebas oleh Rilis Eka Perkasa

Senin, 15 Agustus 2016

Badai

Untuk Haris dan Asra

Haris pada perahu
Rilis pada laut
Asra pada tiang-tiang layar.

Wajah-wajah kelabu tidak menahu
pada lautan kita kuat berpagut
pada nasib lah harga akan kita bayar.

Gurat garis emas buyar
di air berserak hitam
hitam
kelabu
serupa wajahku.

Ahoi! Badai di depan menghadang
centang perenang, pasang menerjang
hari kemarin terbuang sayang
digumul samudera membandang.

Berenang.

Berenanglah! Jangan peduli apa!
Hidup adalah pasang taruhan
antara menang dan kematian
sinar senja mengelindan topan
Di permukaan, makna-makna berserakan
sekejap dilamun ditelan gelombang.

Tiada kapal tempat menjejak
Tiada hari untuk berpijak
kapal perahu kandas. Karam telak.

“Ris! Sra!” Berseru daku
“Cari kayu buat pegangan.
Jangan tenggelam. Jangan tersesat
dalam kembaraan.
Ini jagad lekas terban!”

dan kita hanyut
bersama puing-puing waktu.

Bandung, 14-15 Agustus 2016

Rabu, 10 Agustus 2016

Kembang Api

Meruap sinar sisa malam
letup menguap tanpa sisa
Mengisi celah-celah angkasa
tersaput kabut, ia sudah lelah.

Membakar ampas persoalan
seolah sudah impas semua tanya di dalam.

Mengekal: menjadi taruhan gemintang.
dilamun gelap, mereka menghilang

tertidur dalam keabadian.

Bandung, 10 Agustus 2016

Senin, 08 Agustus 2016

Catatan Gemintang dan Perjudian

Aku ingin mencoba menjawab Bung Asra yang menanyakan sekaligus menggugat sebuah kutipan dari kakak sealmamaternya yang kebetulan lumayan dikenal di negara ini. Kutipan itu berbunyi: Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang, yang menurut si Bung  pragmatik hipokrit sefti.

Tautan dari gugatan tadi: http://kehendaklah.blogspot.co.id/2016/07/ketika-aku-hendak-berhenti-bertanya_31.html

Berikut jawabku:  Kalau bintang-bintang sigap menangkap dan memeluk hangat ketika kau jatuh, tak mengapa. Sayangnya kau lebih sering tidak bisa menjaminnya. Bagaimana jika mereka keasyikan menghitung orang yang masih di bumi dan alpa menangkamu?
Bagaimana jika yang menangkapmu asteroid? Planet Namek? Planet Kera?
Lebih celaka lagi, bagaimana jika yang menangkap justru hantu dari bintang-bintang yang almarhum: Black hole? Supernova? Bisa koit kau.
Atau bagaimana jika ternyata yang kau bilang benar, betapa panasnya bintang-bintang itu? Koit lagi, almarhum.
Bagaimana jika ternyata kehampaan-lah yang menangkapmu, meremasmu hingga lumat?

Masih ada harapan, namun sayangnya kau tak bisa benar-benar memastikan apapun.
Sungguh celaka hidup ini, bahkan lintang gemintang pun mengajakmu berjudi.

***

Ah sudahlah. Aku bukan kampus yang selalu punya jawaban untuk segala pertanyaan.  Kita cuma bisa berbuat dan berbuat lagi.


Bandung, 8 Agustus 2016 

Minggu, 26 Juni 2016

Lepas

Pada maklumat zaman azali
Kini ku ingin hasrat sendiri
Memilah takdir memilih nasib
Kepada apa ku'kan mengapa

Kucuri takdir dari Azazil:
Inilah! Luka dan bisa kuambil
kubawa berlari
Hingga terkalang senasib Habil
Habis mampus dirajam Ababil.

Malang, 26 Juni 2016
Bait pertama dicuri dari Asra

Jawaban

Ini sajak kutulis
buat hidup kian terasing
terhimpit detik kian menipis

Pun di tengah kalam sang alam
kurasai pula debar
desir pasir pantai selatan
hingga sampai ia terdengar
sampai jauh:
hingga ujung bayang Semeru
hanya saja tak kujumpa
makna lenyap terkubur
ditimbun bising dan kabar yang kabur

Aku mengharu, aku membiru.

Kunanti hingga sampai derai, terdengar
di menung kelabu Petung Sewu
di beranda kalbu penanda jiwa
oh Jiwa! Bilakah dirimu lelah
disiksa fakta ditinda fatwa
sedang tak juga terdengar
Ia, sang sebenar-benarnya benar

Aku meragu, aku mengilu.

Ini sajak kutulis
buat hidup kian mengasing
tak juga kukenal hingga habis tangis.


Malang, 25-26 Juni 2016

Minggu, 12 Juni 2016

Catatan Spanduk

Spanduk yang jadi persoalan

Siang itu, saat aku memasuki Babakan Siliwangi yang juga menjadi “gerbang belakang” kampusku, aku menjumpai spanduk ini.
"Selamat Bertanding. Dilarang Teriak...!!!"
Begitulah bunyi spanduk yang kujumpai. Aku agak bingung melihat spanduk yang dipampang di acara lomba burung kicauan ini: sebenarnya siapakah yang dilarang teriak?
Apakah bapak-bapak dan aa’-aa’  yang membanjiri perhelatan ini? Ah, sepertiya bukan. Riuh rendah bapak-bapak dan aa’-aa’  mulai dari yang di tepi “arena” (sial, aku tidak berhasil menemukan istilah yang tepat)  hingga yang sedang menikmati rokok di atas jok motor bising terdengar - jelas mereka sedang berteriak. Jadi mungkin saja larangan ini bukan untuk mereka.
Apakah burung-burung kicauan yang sedang dilombakan? Wah, bagaimana ya? Apa mungkin burung-burung kicauan ini berlomba kalau dilarang teriak? Hmmm. Mungkin saja mereka boleh berkicau namun tidak perlu ngoyoh hingga teriak-teriak.
Apakah orang-orang sepertiku yang sekedar numpang lewat? Hmmm. Mungkin saja.
Apakah hutan kota Babakan Siliwangi lokasi perlombaan ini? Sepertinya tanpa dilarang berteriak pun Babakan Siliwangi tetap menjaga keheningannya walau digempur hiruk pikuk bapak-bapak, aa’-aa’, dan deru motor matic-ku. Babakan Siliwangi tidak sedang harus berteriak karena seingatku sedang tidak ada proyekan apartemen yang hendak mengangkanginya.

Mungkin memang kita tidak perlu terlalu sering berteriak. Teriak terlalu sering akan melelahkan tenggorokan dan jiwa kita. Toh, apakah kau berani menjamin semua orang akan mendengarkan teriakanmu? Pertandingan kehidupan sudah cukup bising dan dapat menenggelamkan seluruh teriakanmu. Sepertinya di sela-sela kebisingan itu kita harus mencari keheningan untuk berpikir, merenung, hingga sok-sokan berfilsafat menjawab pertanyaan: Untuk apakah kita berteriak?

Kalian para aktivis dan penggerak tidak perlu risau dulu. Tulisanku tidak hendak melarang seseorang berteriak seperti makna literal dari spanduk di atas. Aku sudah bilang di atas “kita tidak perlu terlalu sering berteriak”. Ada kalanya teriakan kita harus didengar orang-orang di sekitar kita, atau bahkan  sekedar teriak untuk mengkonversi rasa sakit, lelah, dan geram. Jika memang demikian, berteriaklah. Toh Babakan Siliwangi juga pernah berteriak. Namun jangan terlalu lelah. Hidup juga perlu energi. Sayang jika hanya kau habiskan untuk berteriak.
Namun jika harus berteriak, berhati-hatilah. Jangan sampai teriakanmu membentur dan dibungkam spanduk-spanduk seperti ini. Terkadang spanduk-spanduk, pamflet-pamflet, juga undang-undang tidak tahu kalau kau harus berteriak.

Selebihnya, Selamat Berlomba. Jangan Terlalu Sering Berteriak.

Bandung, 23.09 WIB

Puisi Tuntas

Tuntas : layaknya dosa terakhir di ujung renung dini harimu
Lunas : layaknya gulita dibayar pendar fajar pertama.
Malam pun pungkas. Aku berpikir, bagaimanakah hari ini akan mengakhiri dirinya?

Bandung, 25 Mei 2016. Pagi hari.

Jumat, 22 April 2016

Catatan Berupa Keluhan

Pekerjaan menulis draft Tugas Akhir memang melelahkan, terlebih apabila:
1. Terkadang kau harus menulis hal yang sama berulang-ulang (Aku harus menjelaskan perbedaan sifat-sifat logam, polimer, keramik, dan komposit di beberapa subbabku)
2. Tidak ada kawan yang bisa tiap hari kauajak bicara, yang apabila kau berbicara dengannya akan selalu muncul kesan "wah, dia senasib sama aku". Hahaha.

Aku rindu menulis apapun selain draft Tugas Akhir ini. Sepertinya itulah caraku melepas lelah. Sayangnya, saat ini sepertinya aku harus mengikhlaskan dua sumber daya yang penting untuk menulis "apapun selain draft Tugas Akhir": waktu dan ide. Ke mana mereka pergi? Sepertinya kau tidak perlu menanyakan itu lagi. Tanpa keduanya, seisi dunia seperti terlalu sempit bahkan sekedar untuk selonjoran melepas lelah.

Sementara demikian, biarkan keluhan ini mengisi celah dan menggumamkan lelah.

Aku tidak mampu muluk-muluk menulis motivasi untukku atau kau-kau sekalian yang mungkin juga menghadapi kesibukan senada. Ini melelahkan, menghimpit, no shit. Karena itulah aku harus menyelesaikannya. Semakin kudiamkan, waktu dan ide, ah, juga perasaan, akan semakin terjepit dan aku harus semakin banyak mengikhlaskan mereka. Aku mungkin masih mampu bersabar, namun mengikhlaskan lebih banyak waktu, ide, dan perasaan sama sekali bukan hal yang menyenangkan.


Bandung, 22 April 2016

Rabu, 06 April 2016

Catatan Kanak-Kanak Yang Menua

Kebetulan kemarin aku berulang tahun. Menjelang petang, seorang kawan mengirim chat lewat Line kepadaku,

"Ambu-ambune onok sing menua iki" ("Bau-baunya ada yang menua nih")

Aku hanya bisa cengengesan dan menyeletuk bahwa setiap detik semua orang toh mengalami proses penuaan. Tidak perlu menantikan suatu tanggal ulang tahun untuk menyatakan bahwa dirimu menua. Tanggal-tanggal itupun tinggallah sebuah artefak penanda zaman yang dibuat orang agar masa lalu tidak meninggalkannya. Mungkin tidak mengapa sejenak mengamati keindahan artefak itu  senyam senyum menerima ucapan selamat dari beberapa kawan sambil berharap tahun depan akan lebih baik, namun bagaimanapun waktu dan kehidupan seseorang terus berjalan secara kontinyu, bukannya diskret. Berhenti pada suatu titik diskret, tidak peduli apakah itu karena kau merasa keenakan di titik itu atau takut melangkah lebih jauh, berarti sebuah dekadensi. Hidupmu mandek sampai di situ saja.

Mundur beberapa jam di siang harinya, aku mengobrol dengan seorang kawan yang menggeluti filsafat Nietzsche dan rutin mengadakan "kelas filsafat" di tongkrongan kami. Aku tidak akan panjang lebar berbicara mengenai filsafatnya karena aku memang tidak begitu memahaminya, yang aku ingat adalah menurut Nietzsche dalam buku Zarathustra, tahap akhir dari tiga tahap metamorfosis seseorang adalah tahap yang digambarkan sebagai tahap "kanak-kanak". Baginya, seorang anak selalu mengambil tindakan dengan dilandasi oleh kejujuran, tanpa adanya pretensi apapun yang membatasi, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pada titik ekstrem bahkan sudah melampaui nilai-nilai baik-buruk. Hanya ada kejujuran dan kepolosan. Si anak ini mungkin akan sedih saat mengalami suatu kemalangan, tapi apabila si anak ini adalah kanak-kanak sejati, dia tentu akan melupakan kesedihannya dan menuruti insting penjelajah kanak-kanaknya. Pandangan seperti ini buatku jauh lebih menyegarkan daripada pandanganku sebelumnya tentang pemikiran Nietzsche yang selalu terlihat vital, gagah, adikuasa, atau bahkan bengis. Seorang anak dapat dengan polosnya beristirahat dari penjelajahannya  dengan dalih kelelahan, ngambek, atau apapun. Mana bisa seorang Singa-Alfa-Nietzschean yang harus selalu garang bersikap seperti ini?

Alegori seorang anak yang lugu tanpa pretensi ini menyentilku, kalau tidak boleh dibilang menjewer dengan ganasnya. Kontinuitas hidup acap diganggu pretensi alias sikap berpura-pura. Kejujuran diri kalah oleh anggapan umum. Namun lebih celaka lagi apabila pretensi itu dilakukan di hadapan diri sendiri. Perasaan malu menerima kekurangan diri, atau malah enggan menerima perasaan-perasaan seperti kemarahan dan kesedihan justru lebih samar dibandingkan rasa malu di hadapan khalayak. Inilah yang menyebabkan pretensi di hadapan diri sendiri bagi beberapa orang justru lebih membunuh. Orang-orang ini membunuh dirinya di hadapan arca ideal dirnya yang mereka bangun sendiri tanpa sedikitpun ingin memafhumi, semua hal (yang selalu disebut) negatif itu manusiawi. Memang terdengar klise, tapi tidak ada seorang pun yang sempurna. Pun arca sempurna yang terbuat dari blok-blok ekspektasi dan paranoia itu.

Aku menarik persoalan pada diriku sendiri. Belum lama sejak aku akhirnya bisa menerima diriku sebagai aku yang mikiran. Aku sadar, mungkin hanya sepuluh persen pikiran dan ketakutanku yang berhasil menjelma menjadi kenyataan. Sialnya, kesadaran itu masih saja dibarengi oleh membuncahnya kekhawatiran bahwa aku tidak cukup baik untuk apapun.

Gambaran yang dibangun megah oleh kekhawatiranku justru menyebabkanku berpura-pura dan hendak mencapai sesuatu yang aku sadar tidak akan bisa dengan mudahnya kugapai, malah beberapa sebenarnya tidak ingin kugapai sama sekali. Mau contoh? Baca saja tulisan ini. Mungkin Pembaca sekalian bisa merasakan keringnya tulisanku seperti sebuah jurnal ilmiah, atau malah lebih tandus lagi. Bahasannya pun mungkin tidak terlalu intelek dibandingkan dengan tulisan kawan-kawan yang sudah biasa menulis. Padahal aku berharap tulisan ini dapat lebih hidup dibaca dan lebih... berbobot, di kacamataku. Hampir aku berpretensi dengan berusaha menulis sari pikiran Nietzsche tentang ubermensch yang sebenarnya aku benar-benar paham saja tidak. Aku berusaha ndakik, namun gagal. Paragraf ubermensch-ku amburadul. Hasrat menulis lepas pun sudah lama keok di hadapan kesibukan mahasiswa tingkat akhir yang terlalu banyak membaca dan menulis tulisan saintifik. Gaya bahasaku yang sejak semula kaku pun jadi lebih kaku lagi. Aku rasa tulisan-tulisanku sebelumnya juga terserang penyakit berpura-pura ini. Akhirnya, kuputuskan: kali ini kucoba menerima kekurangan-kekurangan tadi, dan pengakuan adalah cara yang paling efektif bagiku untuk menerima kenyataan. Perasaan tidak puas boleh saja muncul, namun bukan untuk menggelayuti proses berkarya, melainkan menyempurnakannya.

Namun seberapa besar hati seseorang untuk menerima kenyataan-kenyataan lain yang lebih besar dan pahit? Seberapa jauh batas kesabaran mengizinkannya berbuat lugu menerima apa yang ia punya? Aku takkan tahu jawabannya sebelum menjelajah kontinuum kehidupanku lebih lanjut. Pada akhirnya aku hanya berharap sisi kanak-kanakku mendapat lebih banyak ruang dalam kesadaranku dan mengalahkan kerasnya hati dan arca-arca megah ekspektasi yang belum sepenuhnya runtuh.


Bandung, 2016

Minggu, 03 Januari 2016

Kebahagiaan di Bantaran Cikapundung (Sebuah catatan tentang taman, penggusuran, rumah, dan kebahagiaan)

Siang itu saya menuju daerah Ciroyom dengan angkutan kota hijau-oranye Caheum-Ciroyom. Saat melewati daerah Babakan Siliwangi, tepatnya di jembatan setelah Sabuga, pandangan saya tertuju ke keramaian di kanan jembatan, di bantaran Sungai Cikapundung.

“Jembatan merah, jembatan merah...” ujar aa’ supir angkot.

Tentu yang dia maksud bukan Jembatan Merah di Surabaya. Angkot yang saya naiki melewati tempat dengan papan nama ”Teras Cikapundung” yang sepertinya merupakan salah satu “taman cantik” di kota Bandung yang dibangun di masa jabatan Ridwan Kamil alias Kang Emil itu. Yah, sekarang saya tidak tahu banyak mengenai tempat-tempat “hits” baru di kota ini. Maklum, mahasiswa tingkat akhir. Harus jadi tikus di lab pengap yang penuh bau uap kloroform dan zat-zat berbahaya lainnya. Saya pun berpikir, “Jadi ini, ruang publik di bibir Sungai Cikapundung yang mengorbankan salah satu kampung di tepi sungai ini?” merujuk tulisan seorang kawan yang sempat membicarakan masalah ini.

Belum lepas dari ingatan, pemandangan di tempat itu sekitar tiga bulan yang lalu. Kampung di bantaran sungai yang biasa saya lihat sekilas apabila menuju arah Ciumbuleuit itu tinggal puing. Di tengah puing itu, ekskavator berwarna hijau toska berdiri dengan gagahnya. Sekarang, tempat itu sudah berubah menjadi taman (saya tidak salah sebut, kan?) di tepi sungai. “Jembatan merah” yang tadi disebut si aa’ melintang di atas sungai, di tengah taman itu. Kanan-kiri jalan dipenuhi oleh parkiran motor, entah liar atau tidak. Pedagang cilok, balon, dan batagor memenuhi tempat itu. Mungkin, minus parkiran dan pedagang yang menjamur di tempat itu, Pemerintah sepertinya berambisi membuat bantaran Sungai Cikapundung seperti bantaran Sungai Seine di Paris yang terkenal cantik itu.


Taman "Seine" Teras Cikapundung. Maaf, kamera saya tidak sebagus itu.

Flashback ingatan sekilas tiap naik motor lewat daerah itu, ingatan tiga bulanan lalu hingga apa yang saya lihat tadi siang membuat saya berpikir – bukan dengan pikiran ahli tata kota, sosiolog, psikolog masyarakat, aktivis, atau malah filsuf. Saya berpikir dari sudut pandang orang yang kebetulan lewat daerah itu. Belum lepas juga dari ingatan saya tentang pernyataan Kang Emil sebagai walikota yang ingin meningkatkan indeks kebahagiaan warga Kota Bandung. Salah satunya dengan membuat banyak “taman cantik” di sekujur kota ini, salah satunya Teras Cikapundung ini. Okelah, membuat taman. Mungkin sebagian warga kota akan berbahagia dengan taman-taman yang dibangun ini. Tapi bagaimana dengan mereka yang kampungnya digusur? Apakah mereka bahagia dengan adanya Teras Cikapundung ini? Pemenuhan indeks kebahagiaan melalui taman ini diikuti dengan hilangnya tempat tinggal sebagian warga kota yang ingin ditingkatkan indeks kebahagiaannya itu, dan saya kesulitan melogika bahwa warga yang dipaksa pergi dari tempat tinggalnya akan merasa bahagia, atau paling tidak tersembuhkan kesedihannya dengan Teras Cikapundung. Ironis.

Betapa mudahnya, sekelompok orang (baca: elit) mengatur kehidupan seseorang, bahkan menentukan di mana sekelompok orang lainnya harus melanjutkan hidup setelah dipaksa pindah akibat agenda kelompok yang disebut di awal. Memang, setelah digusur saya dengar warga kampung itu direlokasi ke rumah susun di daerah Sadang Serang. Namun saya rasa permasalahan tempat tinggal ini tidak sesederhana itu. Warga kampung yang sudah menetap di sana puluhan tahun lamanya tentu sudah memiliki keterikatan dengan tempat itu. Tidak hanya masalah administrasi, pekerjaan, maupun tempat berteduh belaka. Rumah juga berarti identitas, tempat pulang, dan tempat segala ingatan yang pernah dilewatkan di rumah itu ditinggalkan. Dan kampung yang digusur itu saya rasa tentu adalah rumah bagi para (mantan) penghuninya. Pemikiran seperti ini membuat saya menganggap penggusuran dan pemindahan paksa ini adalah masalah serius. Atau sebenarnya tidak seserius itu? Bagi pembaca yang merasa pemikiran saya kurang tepat, beritahu saja saya.

Jika memang kegelisahan saya benar, maka masalah penggusuran bantaran Sungai Cikapundung ini adalah potret kecil tentang pembangunan negeri ini. Apakah ada kompensasi yang setimpal untuk mereka yang menjadi korban pembangunan? Bahkan apabila ditarik lebih jauh lagi akan ditemui pertanyaan baru: apakah pembangunan ini cukup merata sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang seharusnya berhak menikmatinya? Apakah kita yang mungkin tidak mengalami penggusuran dapat merasakan juga apa yang dirasa oleh mereka yang tersisih akibat pembangunan?


Seorang kawan berpose dengan kampung yang digusur, warga setempat, dan ekskavator hijau toska.

Semoga kebahagiaan dapat menjadi milik seluruh warga. Bukan hanya pemerintah, pengunjung taman, para pedagang, dan juga pengelola lahan parkir dadakan. Dan semoga tulisan ini dapat menjadi renungan di awal tahun ini.



Bandung, 3 Januari 2016