Minggu, 12 Juli 2015

Bara Sang Kata

Beribu terima kasih teruntuk Chairil Anwar, Sang Binatang Jalang.

Dalam surat yang gagal kuselesaikan
   (sebuah permohonan maaf untuk kata-kata)
Kutulis penyesalanku. Kerinduanku akan segala yang tak terkejar
Kuratapi hukuman yang menantiku
hingga basah kertasku oleh tangisan dan kegamangan.

Namun suratku tak kunjung selesai.

Bait-bait membakarku hidup-hidup
Tak ada sisa kulitku tak tersentuh sang agni.
Bait-bait membakarku. Tiada ampun.

****

(Dalam abu kutemukan segala yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. Segala
yang tak terkejar. Penyesalan. Suratku. Kata maaf
untuk diri sendiri)

Aku tetap hidup. Bara dalam dada mengganas.
Aku meradang, menerjang
                          membakar
Dalam kertas, pena, blok biner, dan kata-kata:
Akan kurangkum segala yang tak mungkin bagimu.


Malang, 12 Juli 2015

Sabtu, 11 Juli 2015

Di Stasiun Tugu, Yogyakarta

Dan di tiap sisi peron, kata-kata yang tak sempat kutuliskan menyambutku. Menebarkan kain tirai lembab yang mencegah waktu bertukar dan menemukan dirinya yang lain di seberang luar. Aku kedinginan.

Yogyakarta, 6 Juli 2015

Kau Membunuhku Semalam!

Kau membunuhku semalam!

Paling tidak tiga atau empat kali kau melakukannya.
Kau menyuguhiku kata-kata kebanyakan gula
sedang kauminta paksa daging dan darah dan kata-kataku
yang kehabisan nafasnya.

Mulutmu, seperti juga kau sendiri, memang tidak pernah menginginkan (dan juga menyadari akan adanya) kematian apapun.
Tapi membiarkanmu tanpa dosa, apakah adil?
Sedang mayatku tergolek, kata-kata(mu) dan pujian(mu) dalam menghunjam,
lebih tajam dari diabetes.

Ya, kaulah yang membunuhku semalam!
Lima atau enam kali aku berteriak minta tolong - tanpa didengar - sebelum akhirnya mati kehabisan akal sehat.

Kereta Api Malabar Express, 5 Juli 2015

Jumat, 10 Juli 2015

Senyuman Itu

Malam itu, ia kedinginan. Ia menyelinap, memasuki celah sempit pintu yang tak tertutup rapat, memasuki kamarku. Aku bisa menemukan sisa-sisa sejarah yang pucat di wajah tuanya. Di tengah perjalanannya, ia semakin kusut dan tak terawat.

Ia adalah Waktu. Tak perlu banyak waktu bagiku untuk mengenalinya.

"Siapa?" Ia bertanya, mencoba membuka ruang perkenalan. Ia belum mengenalku.
Kusebut namaku, lalu bertanya, "kapankah waktu kematianmu?" setelah kuyakin ruang perkenalan itu sudah melebar. Ia tersenyum.

Kami bercakap banyak malam itu. Tentang kutuk dan laknat yang jadi mayat di tengah kota.
Tentang kata-kata yang mencari jalan pulang.
Tentang makna yang berkeringat dingin di ujung AK-47.
Tentang kereta yang tak kunjung tiba.
Tentang anaknya yang mati di penantian.
Tentang demam yang menyerangku sejak kemarin.
Tentang hawa dingin.
Tentang duka yang tak henti dipikul.
dan terakhir, Tentang senyum yang selalu muncul di wajahnya.

Aku menuju dapur, kusajikan teh hangat untuk Waktu. Ia tersenyum lebih cerah, namun tidak tertawa. Ia tidak pernah tertawa. Kecerahan mata di tengah kusam wajahnya yang pucat mengatakan padaku: ia sudah lama tidak bercakap selama ini. Ia hanya ingin didengarkan.

****

Pukul dua lewat sebelas dini hari.

Si Tua Waktu diam. Dalam diamnya ia sampaikan senyum perpisahan. Walau belum puas bercakap, aku harus merelakannya. Kamarku sama sekali bukan rumahnya. Ia milik seluruh yang ada. Ketidakberhinggaan alam raya adalah rumahnya. Detik jam mejaku menelan detak jantungnya yang melambat. Larut dalam dingin, ia meninggalkanku sendiri.

Ke manakah senyuman itu? Rupanya senyuman itu tertinggal dan berhasil merasuki detak jantungku, juga ingatanku. Mau tak mau, aku tersenyum, walau hawa dingin, kegamangan akan masa depan dan demamku tidak hentinya menyerangku.


Bandung, 4 Juli 2015

Menyekap Kata-Kata

Kupandangi puisiku itu malam.
Puluhan mulutnya tersumpal kain putih kusam
Bau keringat, nafas tua yang masam.

Kuamati, kurasai puisiku.
Tersekap di sudut jiwaku yang sempit dan pengap:
Aku rasai sepercik kebencian di kedua matanya.

Laknat! Kefanaan kata-katanya tajam membelah
Lepas ragaku dari jiwanya.


Bandung, 3 Juli 2015