Malam itu, ia kedinginan. Ia menyelinap, memasuki celah sempit pintu yang tak tertutup rapat, memasuki kamarku. Aku bisa menemukan sisa-sisa sejarah yang pucat di wajah tuanya. Di tengah perjalanannya, ia semakin kusut dan tak terawat.
Ia adalah Waktu. Tak perlu banyak waktu bagiku untuk mengenalinya.
"Siapa?" Ia bertanya, mencoba membuka ruang perkenalan. Ia belum mengenalku.
Kusebut namaku, lalu bertanya, "kapankah waktu kematianmu?" setelah kuyakin ruang perkenalan itu sudah melebar. Ia tersenyum.
Kami bercakap banyak malam itu. Tentang kutuk dan laknat yang jadi mayat di tengah kota.
Tentang kata-kata yang mencari jalan pulang.
Tentang makna yang berkeringat dingin di ujung AK-47.
Tentang kereta yang tak kunjung tiba.
Tentang anaknya yang mati di penantian.
Tentang demam yang menyerangku sejak kemarin.
Tentang hawa dingin.
Tentang duka yang tak henti dipikul.
dan terakhir, Tentang senyum yang selalu muncul di wajahnya.
Aku menuju dapur, kusajikan teh hangat untuk Waktu. Ia tersenyum lebih cerah, namun tidak tertawa. Ia tidak pernah tertawa. Kecerahan mata di tengah kusam wajahnya yang pucat mengatakan padaku: ia sudah lama tidak bercakap selama ini. Ia hanya ingin didengarkan.
****
Pukul dua lewat sebelas dini hari.
Si Tua Waktu diam. Dalam diamnya ia sampaikan senyum perpisahan. Walau belum puas bercakap, aku harus merelakannya. Kamarku sama sekali bukan rumahnya. Ia milik seluruh yang ada. Ketidakberhinggaan alam raya adalah rumahnya. Detik jam mejaku menelan detak jantungnya yang melambat. Larut dalam dingin, ia meninggalkanku sendiri.
Ke manakah senyuman itu? Rupanya senyuman itu tertinggal dan berhasil merasuki detak jantungku, juga ingatanku. Mau tak mau, aku tersenyum, walau hawa dingin, kegamangan akan masa depan dan demamku tidak hentinya menyerangku.
Bandung, 4 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar