Jumat, 06 November 2015

Sisilia Senandung Sang Bapa

Untuk VC

"Sisilia" senandung sang bapa.

Dan ia mati dalam tawanya. Bahagia.

Dengan ingah-ingih mencuri judul dari Komunal.
Bandung, 02.52 WIB

Selasa, 03 November 2015

Apapun Judulnya

Untuk ST.

Kupandang tubuh yang pulas di hadapanku itu. Anarki terpampang di lengannya. Tegas dan keras.

Anjing! Segumpal jiwa berbalut raga di depanku. Ia tidak sedang kelelahan. Hanya saja, ide dan tenaga juga butuh diam, mundur sejenak sebelum menghantam lebih kejam, hingga lebam berdebam.

Ia, yang rajin menggunting dan menempel potongan-potongan hidupnya, menjadi bentuk kehidupan lainnya. Ia, yang melafalkan bait "Tuhan Sudah Mati" dari Also Sprach Zarathustra selepas Al-Fatihah di penghujung tiap rakaat tahajudnya. Ia, yang akan menikammu dengan akustik dan semantik tepat di jantungmu. Matilah. Darahmu akan habis mendidih karenanya.

Anjing!

Hidup, terbentang di antara sudut-sudut ufuk, tak henti mencambuk. Siang penuh perang, berganti malam penuh cinta. Tak henti mendera. Dan ia bukan manusia tanpa luka. Digaraminya bekas-bekas kehidupan agar makin merdu rintihnya. Kau pasti paham, kehidupan tidak boleh berhenti karena luka yang digarami.

Anjing!

Dengarlah lolong anjing di penghujung pesing malammu. Apakah ia sedang memimpikan anjing-anjing bersenandung merdu dalam pulas sesaatnya?

Om.


Bandung, 4.04 WIB

Hujan Dalam (de)Komposisi, 4

Mengapa hujan turun sewarna darah? Di kotaku, pria wanita tua muda bersujud, menagih hujan yang dijanjikan oleh musim. Agaknya dahaga bangsa kali ini cukup parah hingga teh gelas yang biasa dijajakan pengasong di macet Dago tidak mampu membanjurnya lagi. Terlebih, lima hari ini aku tidak melihatnya di perempatan. Barangkali ia ikut bersujud dan menagih. Ia sudah sering dihutangi.

Mengapa hujan turun? Sesekali ia turun, namun hanya sayat tajamnya di wajahku yang diabadikan oleh rintik. Begitu pula asap. Ia turun dari cerobong-cerobong pabrik tukang bikin kefanaan. Kurang pedihkah hidup warga kota dan desa hingga kefanaan harus diproduksi tanpa henti? Para bos, tukang sewa tanah dan kontraktor tidak sadar pekarangan bungalo mereka memerah darah.

Mengapa? Ah, sudahlah. Seorang ayah tergolek di setapak merah darah. Kepalanya digergaji.
Paling tidak, hujan sesekali turun. Sesekali tagihan kami dibayar.

Bandung, 3 November 2015

Senin, 02 November 2015

Sebuah Cerita Tanpa Bentuk Tentang Pikiranku

Perjalanan hidupku adalah perjalanan pikiran. Ya, pikiran. Pikiranku, tanpa mengajak raga dan perbuatanku sudah berjalan jauh. Jurang tergelap di bumi? Puncak-puncak tertinggi? Semua sudah lunas ia datangi, tanpa mengajak siapapun. Ragaku, perbuatanku - aku cemburu.

***

"Rilis itu kebanyakan mikir sampe nggak kerja-kerja anaknya."

Baru tadi seorang teman bercerita tentang komentar mantan dosen pembimbingku tentang aku. Kebetulan teman ini dulu satu bimbingan denganku. Memang banyak alasan yang (bisa dibuat-buat yang) membuatku memutuskan pindah pembimbing dan mengganti topik tugas akhirku. Entah itu tidak cocok dengan topiknya, entah bapak pembimbing yang sulit ditemui, dan lain-lainnya. Namun apa yang Beliau katakan sama sekali tidak salah. Aku sudah hampir menjalankan satu percobaan, namun karena terlalu banyak perhitungan akan semua kendalanya, aku ragu untuk melanjutkannya. Hal ini, beserta puluhan alasan lainnya, akhirnya memicuku untuk menghentikan bimbinganku dengan beliau

catatan: pada akhirnya percobaan ini dijalankan oleh anak bimbingan lain dengan mudahnya.

Apa? Ternyata begitu saja? Akh... keraguan, oh keraguan. Begitu buruknya kacamata yang kau tawarkan untukku memandang masa depan.

Entah sudah berapa orang mengatakan padaku akhir-akhir ini. Kamu terlalu banyak mikir, Lis. Kamu ragu-ragu ya, Lis? Sudahlah, jalani saja dulu. Westalah, lakoni ae, engko sing pengen mbok goleki lak ketemu-ketemu dhewe. Dan entah apa lagi. Nggoleki? Mencari-cari? Sebenarnya apa sih yang ingin dicari oleh keraguanku? Hmmm. Kondisi ideal? Idealisme paling sempurna? Mencarinya saja aku (ehm, lebih tepatnya keraguanku) tidak pernah bisa melakukannya dengan benar. Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan dari pencarian ini? Setan alas.

Seorang teman yang lain pernah berbicara padaku. "Hiduplah dengan penuh tenaga. Penuh tindakan agar kamu tidak mati. Sekali berhenti, habis sudah". Tidak sekali ini segala usahaku terhenti karena keraguanku. Berpindah-pindah interest akibat terlalu memikirkan baik-buruknya, menggalaukan mengapa aku harus melakukan semua ini?, stress menghadapi tetek-bengek baik kecil maupun besar dari apa yang aku jalani, sampai berhenti menjalaninya. Semua berpangkal dari keraguan akibat terlalu banyak berpikir. Jadilah aku tanpa tenaga, tanpa tindakan. Mati sudah.

Yah, bagaimana. Aku bisa menciptakan beribu alasan atas sikap terlalu banyak berpikirku ini (Luar biasa kamu, wahai pikiran yang budiman. Sialan). Didikan sedari kecil. Pengalaman di masa sekolah menengah. Terlalu banyaknya pilihan. Terlalu sedikitnya waktu. Pengalaman buruk lainnya lagi. Terlalu sulitnya memilih. Terlalu lemahnya aku. Akh, sudah.

Aku tidak ingin mengalami penolakan lagi. Aku tidak mau denial. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku sudah terlanjur berada di titik ini. Puluhan, mungkin ratusan, mungkin lebih, pilihan, kiprah, tanggungjawab, dan mimpi menghampar di depan mata. Semuanya takkan kudapatkan bila aku diam saja, tidak berbuat apa-apa.

Bagi sebagian orang masalahku ini tentu bukan masalah besar. Namun bagiku ini masalah besar. Tindakanku sering terjegal permasalahan ini. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana rasanya bertawakkal. Lupa bahwa Sang Maha ada.

I need to move on. Dan sudah terbukti, keraguanku tidak pernah membawaku kemana-mana.

Kata Rene Descartes, cogito ergo sum. Ndasmu a mbah, Aku sudah terlalu banyak berpikir.


Bandung, 2.02 WIB

Rigor Mortis

Sejarah
kata-kata buta
dan tatapmu yang dingin
membekukan: udara, waktu, dan doa
juga: tubuh-tubuh tanpa nyawa.

Ajalku tak ingin upacara menggugah
tubuhku tak perlu mausoleum megah.
Cukup cakram senja merah:
Membakar. Segalanya sudah.

Tubuhku kaku. Terbujur di liku zaman yang beku.

Bandung, 01.18 WIB

Rabu, 14 Oktober 2015

Cermin

dan di hadapan cermin
kau belah wajahmu
pecahan beling menyayat dingin.

dari belahan cermin tidak muncul wajah tuhan. pun wajah setan.

dan sekarang, wajahmu tinggal pekarangan kosong
(mungkin esok) tuhan dan setan tertawa
berpesta pora di atasnya
sementara di cermin cekung wajahku terkungkung
matamu yang kosong itu ternyata cekung.


Aku? Kubelah cermin karena tak kutemukan wajahku padanya.

Banyak meminjam kepada God Bless. Bandung, 00.25 WIB

Sabtu, 10 Oktober 2015

Tanpa Luka

Karena, bagiku puisi tidak sekedar
"larikku abadi untukmu"

bagimu, puisi-puisiku membakar
"aku akan menjelmamu,
mengutukmu menjadi kata.

Membunuhmu tanpa luka."

Bandung, 03.20 WIB

Panen

Pernahkah kautanyakan pada larik-larik sajak:
untuk siapakah diksinya yang gembur dibajak?

Inilah ladang sajakku.

Kusiram air mata, kupupuk duka
agar di akhir musim aku bahagia:
Dari sela larik-lariknya akan kupanen makna.

Bandung, 3.03 WIB

Di Manakah Tuhan Dalam Mimpi-Mimpiku? (Sungguh, aku benci puisi ini dan suasana yang melatarbelakanginya)

Tuhan selalu hadir di rona senja
namun takkan kau temui ia
pada mimpi-mimpi anak muda.

Ikutilah jejak-jejak keramaian!
Segala arah lepas dari genggaman.
Menolak kalah, pada namaNya kau berpegangan.
Tuhan sudah kalah di riuh jalan

dan dengan mimpi-mimpi anak muda, angan-anganmu yang tersesat, Ia bernisan.


Bandung, 2.43 WIB
Larik "Tuhan (sudah) kalah di riuh jalan" diambil dari lirik lagu Silampukau, Malam Jatuh di Surabaya.

Selasa, 06 Oktober 2015

Malam Ungu, Wajah Membiru (2)

Malamku ungu
sedang wajahmu membiru

dan bulan bagi kata hanya wajah dungu
sedang hidup bagi kita bukan lagi sesuatu untuk ditunggu.

Ia menderu dan memburu.

Bandung, 00.11 WIB.

Senin, 05 Oktober 2015

Malam Ungu, Wajah Membiru

Untuk apa kau menulis
apabila kata-kata tidak mengerti
untuk apa kau suruh mereka menangis?

Bandung, 23.55 WIB

Minggu, 12 Juli 2015

Bara Sang Kata

Beribu terima kasih teruntuk Chairil Anwar, Sang Binatang Jalang.

Dalam surat yang gagal kuselesaikan
   (sebuah permohonan maaf untuk kata-kata)
Kutulis penyesalanku. Kerinduanku akan segala yang tak terkejar
Kuratapi hukuman yang menantiku
hingga basah kertasku oleh tangisan dan kegamangan.

Namun suratku tak kunjung selesai.

Bait-bait membakarku hidup-hidup
Tak ada sisa kulitku tak tersentuh sang agni.
Bait-bait membakarku. Tiada ampun.

****

(Dalam abu kutemukan segala yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. Segala
yang tak terkejar. Penyesalan. Suratku. Kata maaf
untuk diri sendiri)

Aku tetap hidup. Bara dalam dada mengganas.
Aku meradang, menerjang
                          membakar
Dalam kertas, pena, blok biner, dan kata-kata:
Akan kurangkum segala yang tak mungkin bagimu.


Malang, 12 Juli 2015

Sabtu, 11 Juli 2015

Di Stasiun Tugu, Yogyakarta

Dan di tiap sisi peron, kata-kata yang tak sempat kutuliskan menyambutku. Menebarkan kain tirai lembab yang mencegah waktu bertukar dan menemukan dirinya yang lain di seberang luar. Aku kedinginan.

Yogyakarta, 6 Juli 2015

Kau Membunuhku Semalam!

Kau membunuhku semalam!

Paling tidak tiga atau empat kali kau melakukannya.
Kau menyuguhiku kata-kata kebanyakan gula
sedang kauminta paksa daging dan darah dan kata-kataku
yang kehabisan nafasnya.

Mulutmu, seperti juga kau sendiri, memang tidak pernah menginginkan (dan juga menyadari akan adanya) kematian apapun.
Tapi membiarkanmu tanpa dosa, apakah adil?
Sedang mayatku tergolek, kata-kata(mu) dan pujian(mu) dalam menghunjam,
lebih tajam dari diabetes.

Ya, kaulah yang membunuhku semalam!
Lima atau enam kali aku berteriak minta tolong - tanpa didengar - sebelum akhirnya mati kehabisan akal sehat.

Kereta Api Malabar Express, 5 Juli 2015

Jumat, 10 Juli 2015

Senyuman Itu

Malam itu, ia kedinginan. Ia menyelinap, memasuki celah sempit pintu yang tak tertutup rapat, memasuki kamarku. Aku bisa menemukan sisa-sisa sejarah yang pucat di wajah tuanya. Di tengah perjalanannya, ia semakin kusut dan tak terawat.

Ia adalah Waktu. Tak perlu banyak waktu bagiku untuk mengenalinya.

"Siapa?" Ia bertanya, mencoba membuka ruang perkenalan. Ia belum mengenalku.
Kusebut namaku, lalu bertanya, "kapankah waktu kematianmu?" setelah kuyakin ruang perkenalan itu sudah melebar. Ia tersenyum.

Kami bercakap banyak malam itu. Tentang kutuk dan laknat yang jadi mayat di tengah kota.
Tentang kata-kata yang mencari jalan pulang.
Tentang makna yang berkeringat dingin di ujung AK-47.
Tentang kereta yang tak kunjung tiba.
Tentang anaknya yang mati di penantian.
Tentang demam yang menyerangku sejak kemarin.
Tentang hawa dingin.
Tentang duka yang tak henti dipikul.
dan terakhir, Tentang senyum yang selalu muncul di wajahnya.

Aku menuju dapur, kusajikan teh hangat untuk Waktu. Ia tersenyum lebih cerah, namun tidak tertawa. Ia tidak pernah tertawa. Kecerahan mata di tengah kusam wajahnya yang pucat mengatakan padaku: ia sudah lama tidak bercakap selama ini. Ia hanya ingin didengarkan.

****

Pukul dua lewat sebelas dini hari.

Si Tua Waktu diam. Dalam diamnya ia sampaikan senyum perpisahan. Walau belum puas bercakap, aku harus merelakannya. Kamarku sama sekali bukan rumahnya. Ia milik seluruh yang ada. Ketidakberhinggaan alam raya adalah rumahnya. Detik jam mejaku menelan detak jantungnya yang melambat. Larut dalam dingin, ia meninggalkanku sendiri.

Ke manakah senyuman itu? Rupanya senyuman itu tertinggal dan berhasil merasuki detak jantungku, juga ingatanku. Mau tak mau, aku tersenyum, walau hawa dingin, kegamangan akan masa depan dan demamku tidak hentinya menyerangku.


Bandung, 4 Juli 2015

Menyekap Kata-Kata

Kupandangi puisiku itu malam.
Puluhan mulutnya tersumpal kain putih kusam
Bau keringat, nafas tua yang masam.

Kuamati, kurasai puisiku.
Tersekap di sudut jiwaku yang sempit dan pengap:
Aku rasai sepercik kebencian di kedua matanya.

Laknat! Kefanaan kata-katanya tajam membelah
Lepas ragaku dari jiwanya.


Bandung, 3 Juli 2015

Jumat, 26 Juni 2015

Pertemuan

Buat Kierkegaard, juga Muhammad.

Di manakah dapat kau temui Tuhan?

Ia bersemayam di altar tempatmu berkorban akal budi
Ia dapat kau temui dalam pemahamanmu bahwa: tidak ada "maha" dalam kata manusia.

Percakapan Dengan Demeter

Bandung, 26 Juni 2015. Menyambut kemarau.

Bercakap dengamu adalah gerimis di ujung penghujan.
Petang itu, kita di beranda berkontemplasi dengan akhir kelembapan -
kau kedinginan. Aku sempat mengira wajahmu adalah cermin.

Aku takkan memberimu secangkir teh. Kedua tanganmu gemetar terlalu hebat.
Aku takkan memelukmu, karena - seperti maut, matahari pasti 'kan menjemputmu.

Cukup kupungut senyummu yang gugur meranggas
kulipat, kusimpan rapi di saku kemejaku.

Jumat, 15 Mei 2015

Puisi Tempias

Kosan Danang, 21.30 WIB

Aku menyeringai.

Di ujung malam aku dikepung dingin. Di seberang hanya warna kelabu
terlalu jauh kujangkau.

Di ujung malam aku dipaksa melompat.
Bahkan kepada dingin, aku sampaikan kecup penghabisan. Hanya sejenak bertemu dan memadu. Di depanku hanya ruang hampa.

Aku adalah gemericik yang membuyarkan hampamu, menjagamu agar terjaga.
Akulah tempias.

Puisi Pelimbahan

Kosan Danang, 21.19 WIB.

dan kau pasti ingat - malam itu
hujan turun seperti belati
dingin, menembus kulitmu - ngilu
menyekapmu - kau pun gila dalam asing. pilu.

Selasa, 05 Mei 2015

Puisiku pun Membeku

Kosan, seperti biasa. 00:37 WIB. Tadinya berjudul "Pintu Itu Terbuka"

pintu itu terbuka
bagi siapa saja
juga bagi pencuri
yang kedinginan
yang mencuri kunci
dan segelas plastik
air hangat.

pintu itu masih terbuka
dan terlambat -
angin dingin mencuri pintu itu.

seisi ruangan membeku
juga air hangat
juga gelas plastik
juga si pencuri.

Karna

kau takkan pernah melupakan
Matahari, ia menghunjamkan
sengatan
di tengkukmu.
kau takkan bisa menafikkan
ayahmu yang terengah
seperti kuda, kereta,
dan lelah yang ia hela.

dan walau kau tukang hela, pada akhirnya
seperti ayahmu, kau tak punya banyak pilihan
cacian
makian
tangisan
umpatan
buangan
pinggiran
bisikan
setan
suratan
tuhan
yang demikian
kau takkan bisa memaafkan.

dan kau blingsatan
di tengah medan palagan

tapi itu bukan
pertama kalinya kau teriakkan:
"jancok jaran,
sak dokar-dokare!"
hidupmu keras tak terperikan.

dan dendammu
akan menemukan kusirnya, busurnya
yang mengantarkannya kepada ujung maut.

Minggu, 26 April 2015

Sintesa Metamorfosa

Kapan hari itu, mungkin tanggal 14 Desember 2014.
np: Foo Fighters - Long Road To Ruin


Satu hal yang aku kira-kira tahu: orang berubah.
Bukan menjadi siapa-siapa, melainkan menjadi dirinya sendiri.

Hanya saja, tidak semua sepakat denganku.
Tidak teman sepermainan
 teman sekelas
 teman yang lupa janji
 teman yang menunggu di taman
 teman penuh gurauan
 curhatan
 makian
 lolongan
 lenguhan
 rintihan
 kejutan
 bangun kesiangan.
Orang sering bangun kesiangan dan
 lupa janji dan lupa perubahan.

Hanya hujan,
  panas,
  awan,
  pemanasan
global. Aku hanya punya sedikit teman
untuk berdiskusi dan
mempuisikan
perubahan.

Minggu, 19 April 2015

Mobil Sekarang Bagus-Bagus

Kineruku, Hegarmanah, 11.36 WIB

Mobil sekarang bagus-bagus
angkutan umum Caheum-Ledeng kalah cepat darinya
lebih-lebih para pejalan kaki
yang cuma bisa memandangnya melesat
mimpi mereka kalah cepat dengan keluarnya iklan mobil bagus baru
di televisi
lengkap dengan selebaran iklan kredit murahnya

mereka cuma bermimpi bisa jalan kaki lebih cepat
kalau perlu sambil melesat.

Mobil sekarang bagus-bagus.
Salah satu kawanku lahir di
jok belakang
salah satu mobil itu
pasti kelahirannya nyaman
supirnya ramah dan hormat
AC mobilnya tidak pernah ngadat
joknya pun cukup bantat
tidak terlalu lunak, tidak juga terlalu keras
dan, jelas, lajunya cepat
cukup cepat untuk mengejar mimpi-mimpinya.
Jelas juga, sebelum, selama dan setelah proses persalinan
ibunya tidak sempat sekarat.

Di manakah mimpi para pejalan kaki lahir?

mimpi-mimpi itu tidak bisa dicuri
mimpi-mimpi itu tersimpan rapat dalam garasi
dilengkapi alarm anti pencuri
aku cuma punya lemari
yang isinya harus dicari (dan dicuri)
sendiri
untuk kemudian dijaga sendiri
agar tidak dicuri.

Mobil sekarang bagus-bagus
pemiliknya paranoid curanmor
karenanya mereka selalu melesat, ngebut
agar mimpi-mimpinya tidak dicuri
dan anak-anaknya tidak diculik.
Mereka selalu ngeri
pada pejalan kaki
yang menatap iri
yang selalu ingin mencuri
rasa percaya diri
mereka.

Mobil sekarang bagus-bagus
para pemiliknya bermimpi
mobil mereka tidak pernah dicuri
sementara aku yang cuma bisa memandangi mobil bagus-bagus
bermimpi
dapat bermimpi
seperti temanku yang lahir di jok belakang tadi.

Rabu, 15 April 2015

Mayat Tanpa Cacat

Kelas Polimer Hayati, 09:30 WIB

Mayat-mayat di dalam kelas
mayat yang sedang mengajar
mayat yang sedang mengejar
mayat yang sedang mendengar
mayat yang mencatat ujar
mayat sedang belajar
mayat yang sedang berpuisi
sembunyi-sembunyi.

Slide kuliah penuh mayat
bau busuknya walau lamat
tercium di setiap kata yang dicatat
dari bingkai jendela, mayat lain bisa lihat
ini tempat
sudah penuh mayat.

Mayat-mayat hidup di dalam kelas
Mayat-mayat hidup di semua tempat
Mereka tanpa cacat.

Rabu, 08 April 2015

"jangan lupa berdoa sebelum makan!"

Duapuluh dua lilin di atas kue tart-mu

kamu sudah tidak sabaran untuk segera memotong
hanya saja, duapuluh dua lilin mengingatkanmu
"jangan lupa berdoa sebelum makan!"
kamupun berdoa
kamupun sabar
karena sebenarnya kesabaran itu selalu manis
walau sebenarnya kamu tidak menyukai whipped cream
semanis apapun ia terasa.

Duapuluh dua lilin di sekujur usiamu
Duapuluh dua tahun dalam genggaman.



Selamat ulang tahun.
Selamat menikmati irisan kue tart-mu yang berikutnya (jangan lupa berdoa sebelum memakannya).

Selasa, 07 April 2015

Larut Malam

Eddie Vedder meraung
dan tetes gerimis ini malam
berwarna hitam.

Gerimis tidak menyadari
malam juga di depan kamarku jatuh merinai
akulah ratapan biduan yang menggerung

tak kunjung lelah.

Jumat, 03 April 2015

di mana

Pencarian memang sering menyesakkan, terlebih apabila apa yang dicari tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kamar kos, 10.30 WIB



dalam ketelanjangannya, seorang ia terjerembab di jalanan, wajahnya jatuh tepat di atas genangan air.

ia sudah cukup lama berkawan dengan jalanan
dan sudah cukup lama jalanan membubuhkan penghinaan
kepada ia.
yang ia dengar: jalanan selalu membisikkan pada ia
“berjalanlah menuju ujung penantian, menuju ujung jalan”
yang ia dengar setelahnya: ia, yang mulai meragukan kearifan jalanan
dan menularkan keraguan itu pada ia.
ia pun menutup telinga, dengan enggan menolak semua kearifan dan semua jalanan di gerbang telinganya.
...juga semua ia.
di mana?

ia di tengah ribuan jutaan milyaran
ia-ia yang lainnya
yang kehilangan tempatnya.
sebagian ia menemukan diri di wajah ia lainnya
sebagian gila – lebih banyak ia yang gagal mengingat nama
mengelilingi ia-ia tanpa nama tanpa wajah
bahkan malam belum menjelang ketika jalanan
berubah menjadi kerumunan tanpa nama tanpa wajah
tanpa makna
jalanan adalah kerumunan tanpa kepastian untuk berpegangan.
di mana tuhan?

dalam ketelanjangannya, ia terjerembab di jalanan
jalanan menelanjanginya dan memaksanya meminum air dari genangan di wajahnya
di wajahnya menggenang air hujan, hujan air mata, air pelimbahan, sungai darah, sungai styx,
pantulan wajahnya tergenang samar, sesamar kehendak jalanan
ketelanjangannya gagal menjadikannya ia yang jujur
bahkan ia tak dapat menemukan mana yang benar
wajah-wajah ia lain di sekitarnya tidak memancarkan kebenaran yang ia mau.
di mana tuhan menyembunyikan wajahnya dan wajah ia?

sebagian orang tidak perlu mencari tuhan
mereka sudah menemukan tuhan di kabut dini hari, di lampu jalanan, di cangkir capucinnonya, di genangan air di tepi jalanan,
atau di wajah-wajah ia di sekitar mereka. bisa saja mereka menemukan tuhan yang berlainan.

(you) on the weird and ungrateful me

di jalan setapak, daun basah daun kering berserak
di jalan setapak, kita berjalan, sesekali tersuruk
sesekali di antara kita ada jarak.
Kita tenggelam di antara daun basah daun kering berserak
kita tenggelam - bahkan pagar di sisi taman tidak dapat kulihat
dadaku penuh daun. Daun basah daun kering, hingga sesak.
Hingga terbatuk.
Kau - saat ini berada tiga meter di depanku - berujar serak:

"Coba kau kunyah dan sesapi. Jalan yang kita lewati sungguhlah manis."

Aku adalah pria yang dibuntuti oleh banyak keluhan
aku takut jika kita berjalan bersama, jika suatu saat kita berjarak
keluhan-keluhan itu akan berganti mengikutimu
dan menguburmu dengan daun kering daun basah.



Untuk H.

Sabtu, 28 Maret 2015

Warna (2)

Sabuga, arak-arakan wisuda.

dan di lapangan tumpah, seperti palet
seperti Dali, jatuh dari langit
semua warna, semua gempita
memagari dunia, memagari batas-batas visual
di luar pagar tidak ada apa-apa lagi
di luar pagar semuanya monokrom
tidak ada apa-apa.
Aku bosan akan mimpiku yang terlalu dipenuhi warna.

suatu hari seorang gadis pernah melompati pagar
di wajahnya tidak ada warna apapun
ia mungkin mencari warna yang tidak pernah ada di dalam pagar
warna yang tidak pernah ada di dunia.
seminggu ia menghilang
seminggu kemudian ia ditemukan bersandar
pada bagian dalam pagar
tanpa nyawa, wajahnya masih tanpa warna
di perutnya terlihat lubang menganga, kemungkinan besar bekas tusukan
dari lubang itu mengalir darah berwarna violet.

Aku lelah menunggu hari ketika hujan tidak lagi memiliki warna
sungguh, memandang terlalu banyak warna sekaligus dapat melukai mata.

Warna (1)

Sabuga, arak-arakan wisuda.

Siang. Warna-warna tidak tahan lagi berbisik.
Berisik.

kuning, merah, biru muda, biru tua,
pedagang siomay, orator, kakek pemain kecapi,
paman pemain ukulele
hitam, ia yang duduk nyaman di jok belakang Toyota Camry,
juru potret, orang-orang yang menunggu, magenta,
orang-orang kehausan, hijau toska, ia yang hampir tertidur di bawah pohon,
penjual balon
memegang dagangannya, balon
berwarna kuning, hijau pupus, biru langit, coklat,
warna pink yang menusuk
mata penjual balon itu berdarah
seperti mata penjaja kerak telor di dekatnya.

Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.

Semua menjauh, takut dihempas parade.
Mereka mencari tempat yang lebih tinggi, juga sunyi
menyelamatkan eksistensi. Menyelamatkan diri.
Yang tidak mampu memanjat berlarian di bawah
bayang-bayang, di mana takkan ada yang akan mengenali mereka
mereka bersembunyi di balik
pohon.

Parade penuh warna
hijau, biru, oranye, kuning, violet, broken white, hitam, hitam, hitam
metalik
seperti merak
merah, merah, merah muda, darah muda,
burung-burung muda beterbangan di sela-sela
mereka.
Xilofon, gramofon, menakut-nakuti si xenofobia.
dan semua terbawa
dan parade membawa
dan parade terbawa
ombak raksasa.

"Kalian akan menghilang!"

***

Keramaian yang menikam, kesunyian yang erat mencekik
cemas yang tandas disamarkan teriakan dan
tawa terpingkal.

Warna-warna tetap ada
dan semua ikut bernyanyi
semua ikut berparade
ikut bermain xilofon
meneriakkan nama-nama
suka-suka mereka
hanya aku yang dininabobokan (dihempas) keramaian
di bawah pohon, aku akhirnya tertidur
dan aku tidak bermimpi indah
aku bermimpi tidur tanpa mimpi
aku bermimpi aku tidak ada.

Rabu, 25 Maret 2015

Sakpenake Udel.

Kamar kos berantakan, 15.15 WIB

Apakah ia tidak mengetahui, bahwa seperti
jidat, pusar bisa juga bertindak semaunya sendiri?
Karena itulah perut di belakangnya mudah membuncit
penuh oleh maunya si pusar
sampai lapar.
Di saat yang sama kenyang
aha, saat ini juga semua yang semau pusar
harus dipenuhi.

Perutku terlalu penuh
sampai-sampai tidak bisa lagi seenak perut.

Senin, 09 Maret 2015

Sak Karepe Lambemu! Pokoke Aku Nulis.

Ruang RMT 2.9, 25 Februari 2015

Persetan polimerisasi!

***

Aku takkan pernah bisa
setua
ilmu polimer itu sendiri.

Langkahku tergesa berkejaran
dikejar reaksi propagasi yang merambat tak berkesudahan
dan sebelum terminasi
                       sempat terjadi
akupun mati
Dibelit untai rantai
                       polimer
Dicekik kusut masai
                       tanda tanya
yang tak pernah selesai.

Untuk kelas Polimer Hayati yang (harus) aku cintai

Minggu, 08 Maret 2015

Yang Mana Yang Tertulis, Itulah Yang Menang!

Kamar kosan, 00.18 WIB. Beberapa lembar A4, pensil, fotokopian, kopi, dan laptop beserta koneksi internetnya.
"Ikatlah ilmu dengan tulisan."*
                                            Ali bin Abi Thalib

Bahasa. Ya, bahasa. Aku persempit menjadi hanya bahasa verbal, namun selanjutnya hanya akan kusebut dengan bahasa.

Dengan bahasa, spesies manusia berhasil menjadi raksasa. Dengan bahasa, spesies ini berhasil menyebut, menamai, menggolongkan, serta yang paling penting menyimpan dan menyampaikan ide. Ide yang hanya gumpalan imajiner dalam kepala akhirnya menemukan definisi yang sungguh tepat untuk diingat dan disampaikan kepada penerimanya. Memang, untuk sekedar menjadi nyata, ide tersebut cukup tinggal dilaksanakan. Namun adanya ide untuk menciptakan bahasa ini adalah sesuatu yang sungguh... impresif, jika aku tidak ingin secara berlebihan menyebutnya sebagai titik kritis sustainabilitas spesies manusia di dunia.

Namun ide untuk menjadikan bahasa menjadi simbol-simbol yang kini lazim disebut sebagai tulisan adalah hal besar lainnya.

Waktu pun pada akhirnya akan mengaburkan ide-ide imajiner di dalam kepala manusia (akupun teringat akan salah satu tulisan singkatku). Bahasa? Mereka memang menyimpan ide tersebut dan menyampaikannya pada penerimanya. Namun tidak boleh dilupakan bahwa pada akhirnya bahasa hanyalah media. Dia bukan ide itu sendiri. Pada akhirnya ide hanya kembali menjadi ide yang dapat menguap dan hilang untuk selamanya. Dan pada akhirnya datanglah simbol-simbol fisik itu. Abjad. Kata-kata. Frasa. Kalimat. Tulisan. Mungkin sedikit berlebihan, namun aku memandang tulisan adalah usaha manusia untuk mengabadikan idenya secara fisik. Bagaimana bahasa tertulis akhirnya ada tidak kuketahui secara pasti, yang jelas kehadiran bahasa tertulis langsung menuliskan sejarah, menutup era pra-sejarah.

Keindahan sastra, catatan sejarah, penemuan sains, bukti kepemilikan, atau bahkan curhatan seseorang di ujung mautnya, tidak terhitung berapa banyak yang akhirnya hanya berupa awan imajiner ide yang menghilang begitu saja. Hanya yang tertulislah yang akan bertahan dan diakui oleh manusia di sekitarnya, bahkan pada akhirnya oleh si pemilik ide itu. Contoh singkatnya, bayangkanlah sengketa tanah di mana salah satu pihak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan tanah tersebut. Yang tertulis pun menjadi bentuk adaptasi lanjut dari ide untuk dapat bertahan di alam pikiran yang sudah makin penuh sesak dengan ide. Paling tidak itulah yang manusia lakukan untuk mengadaptasikan ide-idenya di tengah alam pertentangan.

Bagiku tidak ada alasan untuk memungkiri bahwa bahasa, ya bahasa verbal, dan tulisan adalah karya terbesar manusia, serta bahwa membaca dan menulis** menjadikan manusia itu menjadi manusia.

"Siapa yang menulis, dialah yang menang."
                                                              Saya sendiri.


*) Dari serapannya dalam bahasa Arab, ilmu dapat berarti "memahami. mengerti, atau mengetahui." Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan. Aku membacanya dari sini.
**) Tentunya dengan disertai transfer ide, baik secara sadar maupun tidak

Jumat, 06 Maret 2015

Kehabisan Waktu

Kamar kosan, 22.32 WIB

Jika waktu habis. ke manakah ia pergi?

Apakah waktu habis seperti kentang goreng yang habis tandas kumakan tadi sore? Apakah waktu yang hampir habis terlihat seperti ruang parkir motor Saraga yang makin habis sehingga membuatku kesulitan memarkir motorku kemarin? Apakah aku merasakan waktu yang masih tersisa banyak seperti aku merasakan penuhnya tangki bensin motorku sekeluarku dari pom bensin? Terakhir kali aku ke pom bensin uang dalam dompetku pun habis.

Seperti yang baru-baru ini kudengar, hingga saat ini aku memahami waktu adalah satu-satunya dimensi non spasial yang aku kenali. Di ketiga dimensi spasial, seseorang bebas bergerak maju, mundur, naik, turun, ke kanan, maupun ke kiri. Mundur setelah bergerak adalah hal yang lumrah dan mudah saja dilakukan dalam ketiga dimensi ini. Pergerakan hanya dibatasi secara mutlak oleh gravitasi (bahkan ada pula pendapat yang menyatakan bahwa gravitasi pun mampu menembus dimensi waktu). Namun bagaimana dengan waktu? Sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang yang "kehabisan waktu"?

Sebelum kuteruskan, sebaiknya kusarankan pada pembaca sekalian agar tidak khawatir. Tenang, tulisan ini tidak akan berubah menjadi sebuah essay ilmiah. Aku sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk menuliskannya. Walaupun aku sering mengalami apa yang tadi kusebut sebagai "kehabisan waktu", aku masih belum bisa merasakan kehadiran waktu, paling tidak sebelum ia hampir habis. Dalam paragraf sebelum ini aku hanya mencoba mengutarakan apa yang kupahami tentang waktu secara singkat. Pun tulisan ini akan segera selesai.

Sebaris lirik lagu pernah mengatakan kepadaku, "Don't waste your time or time will waste you". Sebaris lirik ini menambahkan satu teori lagi bagiku mengenai apa yang terjadi ketika waktu habis. Teori ini mengatakan bahwa ketika waktu "dihabiskan", sebenarnya waktu sedang menghabiskan dan menampung dirinya sendiri. Ia menampung dan ditampung dirinya sendiri pada titik yang tak akan pernah bisa dijamah dengan maju, mundur, naik, turun, ke kanan, ataupun ke kiri. Dan setelah waktu "benar-benar habis", ia akan balik menghantam. Tidak ada yang bisa dilakukan karena pada akhirnya waktu "yang dihabiskan" bahkan tidak bisa dijamah.

...atau belum bisa dijamah. Inilah salah satu perandaian terbesar dalam sejarah. Berandai waktu yang lalu dapat kembali dijamah. Berandai waktu dapat di-refill dengan memesan ke pramusaji. Berandai untuk tidak terlalu terlambat sehingga waktu tidak akan habis dipakai orang lain. Berandai waktu dapat kembali berulang, walau harus dibayar dengan sejumlah besar uang...


For my beloved grandparents, who remind me that I cannot bring the sand in the bottom of my hourglass back up.
And also for the next Wednesday that gives me sensation of running-out-of-time. Please, myself, do something about it.